Naima pikir meluapkan amarah bisa meredamkan segala sesak dan kemelut yang menyelubungi jiwa. Namun, kelemahannya yang tidak bisa menolak setiap permintaan Albe bahkan membuatnya terus meratapi nelangsa. Dia hanya ingin memperjelas semua, menginginkan segalanya terang benderang. Jika pun Albe mempunyai anak lain, Naima akan mencoba menerima. Kesakitan pasti akan menghinggapi hatinya, tapi tidak akan sebanding dengan sakit hati seorang anak yang tak diakui bahkan di tinggalkan orangtuanya. Dilema yang dia rasa sempat membuat wanita hamil itu merana. Rasa takut ditinggalkan dan diabaikan, sudah seperti anak kecil yang manja. Naima tersadar, dia tak boleh kekanakan. Anak itu sudah menjadi anak tirinya, karena sekarang dia adalah istri Albe. “Al!” Naima keluar kamar, dia barusaja selesai mandi. Setelah kegiatan sore tadi, Dia tertidur dan terbangun sudah malam. Naima merutuki tubuhnya dan juga hatinya yang tak bisa menolak Albe. Mengitari meja makan berisi 8 kursi, lalu menyeberangi ar
“Ya, Al. Aku tidak percaya pada mantanmu itu. Dulu ia sempat membuatku cemburu di awal pernikahan kita. Tunggu ….” Naima menjeda, mengingat kembali masalah setelah Albe kembali ke Amerika. Dia menatap Albe lurus-lurus. “Kenapa kau tidak tahu, jika Chloe meminta kompensasi untuk anak itu pada Moma ataupun Dad? Apa benar kamu tak menemuinya saat itu, Yang?” sambungnya. Naima mengalungkan tangannya pada leher Albe. “Kau tahu kan, Baby? Trauma yang aku alami, karena aku merasa sudah membunuh bayi itu dan merasa sudah membantingnya. Karena Chloe mengatakan hal yang menyakitkan tentang keluargaku. Bahkan dia tidak merasa bersalah sudah berkhianat. Aku tidak berpikir untuk menemuinya, walaupun aku tahu dia sengaja melakukan itu untuk memancingku,” tutur Albe panjang lebar. Mengusap lengan Naima yang terbuka, tapi pandangannya menerawang. “Kamu tahu, Baby. Siapa yang mempunyai ide itu?” tanya Albe memusatkan irisnya pada iris sang istri yang masih menatapnya dengan cermat. Naima menggigit bi
Albe dan Naima menghentikan makan malam yang belum usai itu. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Viran datang tak lama setelah mengabari perbuatan Ambu Marta. “Bang, maksudnya gimana?” tanya naima pada abang angkatnya itu. “Ya, kalau Albe terbukti bersalah dan menyalahgunakan izin yang sudah di berikan imigrasi hukumannya bisa denda dan deportasi. “Tapi semua usaha yang aku jalankan bukankah sudah di perbaharui? Dengan penggabungan semua usaha kita?” sela Albe, ia mengelus lengan sang istri yang mencengkeram erat tangannya. “Aku belum tahu, Ambu melaporkan karena apa. Besok pagi-pagi sekali kita harus bergerak, aku sudah menghubungi kawanku yang menjadi komisaris di imigrasi.” Viran mengeluarkan map. “Kita bahas di ruang kerjaku.” Albe memberi isyarat pada Viran untuk membawa map itu ke ruang kerjanya. Lalu memusatkan perhatian pada Naima yang masih belum melepaskan cengkeramannya pada lengan Albe. “Beristirahatlah, Baby. Jika masih lapar pesanlah apa maumu, pesan ke
Naima memandangi kartu keluarga yang sudah terdaftar di catatan sipil sejak hampir dua bulan yang lalu. Berarti setelah ia pergi dari rumah ini dan pulang ke Semarang. KTP-nya pun sudah berbeda, beralamat di apartemen suaminya itu. Dia pikir, Albe tak akan pernah serius dengan rencana yang tak pernah diungkapkan padanya. Naima masih ingat, saat Albe mengatakan untuk mengumumkan hubungan mereka hanya sebagai kekasih, bahkan di beberapa acara yang sempat mereka datangi pun Albe sering memperkenalkan dirinya hanya seorang kekasih saja. Ah itu masa lalunya, sekarang status yang ia sandang sudah naik level menjadi istri sesungguhnya. Naima senang, tentu saja. Makan malam romantasi yang direncanakan memang sekedar wacana, pesta ulang tahunnya juga hanya dalam impian semata. Tapi Naima bahagia, ia tak lagi ragu akan eksistensinya di hidup suami tercinta. Saat itu sudah hampir tengah malam, setelah bercengkerama dengan sahabatnya yang sekarang beristirahat di kamar tamu. Dan sang abang angk
Naima berada di sebuah ruang bersama seorang wanita dengan pakaian syar’i dan penampilan yang wow. Dengan mekap paripurna untuk umur paruh baya yang membuat wanita hamil itu hanya menyunggingkan senyum sungkannya. Bukan karena menjadi rendah hati, bukan. Tapi hanya menyayangkan, semua yang dikenakan wanita itu berasal dari yang tidak halal. Memaksakan kehendak dengan mengorbankan orang lain, Naima menggeleng pelan. “Nih, Nai!” Tiara meletakkan cup minuman asli dari kota di mana saat ini Naima berada -Es Goyobot- Ya, mereka ada di Bandung. Sebetulnya Albe melarangnya untuk ikut, tapi dengan pertimbangan bahwa ia dibutuhkan sebagai saksi juga bukti. Bahwa Alberico sang suami adalah memang benar sudah mempunyai keluarga, bukan dengan status kontrak ataupun rekayasa lainnya. “Makasih, Ra,” ucap Naima dengan senyum. Mereka berada di kantor imigrasi, demi memenuhi panggilan atas laporan Ambu Marta, ibu kandung Jaka. “Ehemm ….“ Deheman yang keras dari Ambu Marta membuat Naima dan Tiara
“Bagimana keadaan istri saya dan calon anak saya, Dok?” tanya Albe dengan gugup. Tubuhnya gemetar, dia tak akan memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu yang buruk. Karena itu berarti, dia sudah mencelakakan mereka. “Tenang, Pak. Isteri Bapak dan calon anak Anda baik-baik saja. Benturannya memang cukup keras membuat anak anda terkejut lalu terjadilah kontraksi palsu. Ibu bisa beristriahat dan sebisa mungkin jauhkan dari stress.” Dokter lelaki yang menangani Naima setelah mereka tiba di rumah sakit menenangkan Albe yang terlihat panik dan kacau. Naima memang tidak pingsan, karena sedikit benturan dari tubuh besar Albe dan terkejut juga kelelahan yang menjadi pemicu terjadinya pendarahan ringan itu. “Sudah, Al. Naima juga lagi tidur, lagi istirahat ‘kan. Temenin gih, gue cari makan dulu.” Tiara menepuk lengan keras Albe. ‘Gila pantes sampe di bilang benturan, badan keras kek tembok’ Batin Tiara, ia menggeleng. Albe masih berbincang dengan dokter saat itu. Mereka berada di rumah sakit
Alberico tahu banyak pahlawan wanita di dunia, juga banyak pula tokoh hero dengan gender seperti Naima isterinya, mulai dari yang nyata maupun hasil imajinasi pengagasnya. Sebut saja, Wonder Woman, Mrs. Incredible, Cat Woman, Xena dan masih banyak lagi. Mereka mempunyai kekuatan super dan kelebihan masing-masing. Dan ia semakin tahu juga menyadari jika seorang wanita di dunia ini lebih kuat dari mereka si superhero dunia khayalan tadi, saat tertekan dan dalam emosi yang membumbung tinggi. Berdecak mengingat bagaimana Ambu Marta mendorongnya yang bertubuh besar. Dia tahu pertahannya tak akan goyah hanya dengan dorongan biasa, dengan latihan yang dia jalani hampir setiap hari. Ia bisa menahan beban berpuluh-puluh pound. Tapi apa karena kekuatan seorang ibu atau dia yang sedang tak fokus, hingga tenaga wanita paruh baya itu, seperti Hulk setelah minum obat kuat. Albe mengecupi punggung tangan Naima, wanita itu sudah bangun. Dan sedang tersenyum manis padanya. Albe yang sudah ribuan k
Naima menatap lekat iris hijau suaminya, tangannya terulur merangkum rahang kokoh dengan bakal jambang yang menjadikan pria itu lebih sexy dan tampan dimatanya. Jika dalam bahasa jawa ia yang seorang istri di sebut -garwo- atau sigaring nyowo yang artinya belahan jiwa. Bahkan istri adalah tulang rusuk suami yang terpisah, bukan? Lantas, Naima bisa apa, selain menuruti kemauan juga perintah sang penjaga hati. Bukankah memang seharusnya ia selalu berada di manapun sang suami berada. Menjadi penawar untuk setiap duka, menjadi mengusap peluh setelah lelah bekerja, hanya terus berada di samping sang suami sebagai bukti pengabdian diri. Naima mungkin sempat bersikeras, dan ketakutan jika adik iparnya tak terkendali. Atau ia hanya ketakutan saat mengetahui fakta yang nanti akan ia dapatkan di sana, tentang masa lalu Albe? Ia hanya harus memantapkan hati, bahwa ia bukan pengecut. Naima tersenyum simpul, tapi sampai ke ujung mata. “Okay.” Itu saja, singkat. Namun membuat Albe merekahkan se
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang