Beranda / Romansa / PERTAMA UNTUK NAIMA / Bab 131 - Bab 140

Semua Bab PERTAMA UNTUK NAIMA: Bab 131 - Bab 140

208 Bab

Chapt 130. Aku hamil!

Jika hanya mata yang berderai karena airmata, ia tak mengapa. Tapi hatinya pun kini berderai, berlumuran darah kekecewaan. Benci? Ia tak merasakan benci, bahkan cintanya masih bersemi. Tapi kekecewaan yang menyelimuti hati terurai hingga palung terdalam. Naima tak mau memungkiri, semua yang terjadi. Seminggu lari dari pusat dunianya tidaklah mudah, ada selosong kosong yang minta diisi. Namun ia tak mengerti keengganan hati. Saat kunjungan tadi, dokter sudah memeriksa dan semua sudah seperti semula. Bahkan memar pada genitalnya pun sudah membaik. Tiara sempat melotot pada Naima, saat pemeriksaan di poli kandungan tadi. Naima hanya meringis, tak mampu berkata. Ia menyembunyikan banyak hal, hanya mengatakan Albe belum siap dengan kehamilannya. Maka ia memutuskan untuk dirawat saja.  “Lo serius mau balik ke sana?” tanya Tiara, ia menggendong tas carrier yang
Baca selengkapnya

Chapt 131. Hati yang berduri

Mungkin inilah saatnya setiap tawa menjadi lara, dan setiap kesatuan menjadi porak poranda. Harusnya ia paham maksud dari kata yang terucap sejak awal setelah pernikahan kilat mereka, bahkan tak pernah ada kesepakatan untuk setiap hal intim yang mereka lakukan jika membuahkan hasil. Bahkan dari awal, pil kontrasepsi sudah menjadi hal pertama yang menjadi pembahasan. Jadi, sebutan kekasih akan selalu tersemat, dan harusnya ia tak terlena karena ia bukanlah segalanya. Walaupun sah di mata agama, tapi bagi pasangannya itu hanyalah ikrar semata. Kekasih tak berhak menuntut hak lebih. Apakah ia sebagai seorang istri ada hak untuk menuntut? Siapa yang akan tahu, hasil penyatuan diri akan menjadi bagian dari kisah mereka. Walaupun itu bukan sebuah aib, itu adalah bentuk konsekuensi. Ah, takdir bisa sangat menyulitkan. Tapi bisa juga sangat membahagiakan pada saat bersamaan. Albe meraih boxernya, ia bingung dan marah, melihat Naima yang terpekur di pinggiran ranjang, perutnya membunci
Baca selengkapnya

Chapt 131. Dipecat

"Bisa antar aku ke stasiun, Ra?" pinta Naima. Tiara menatap Naima dengan prihatin. "Ya udah, ayo!" tanpa banyak bertanya, Tiara menyetujui. Untuk saat ini ia hanya akan mengangguk pada apapun yang Naima mau, tak akan bertanya dan banyak bicara. Selama mengenal Naima. Perempuan itu tak pernah mengungkapkan kesedihannya berlebihan, jarang marah dan selalu menyimpan luka sendiri. "Nai! Seruan Viran membuat dua orang perempuan yang sudah siap di atas motor menengok. Naima terkejut, karena ia tak melihat viran tadi. "Kamu mau kemana?" tanya Viran dengan nada yang Naima baru dengar sekarang, tidak ada -lo gue- ala pemuda Jakarta memanggilnya. "Gak kemana-mana, Bang. Tolong temuin Albe dulu ya, please. Nai mau ketempat saudara dulu. Ada yang harus Nai urus," ucap Naima, berharap Viran tidak cerewet kali ini. Viran mendesah lelah, menatap Tiara yang ada di belakang kemudi, sudah memakai helm. "Ya, udah. Hati-hati, ya? Kalau butuh apa-apa kabarin Aban
Baca selengkapnya

Chapt 133. Kenangan pahit

Naima memeluk Tiara dengan erat, sungguh terasa berat sahabatnya itu untuk melepaskan“Jangan sampai ponsel lo mati, pokoknya harus sering ngabarin. Lo gak boleh kecapean, kalo bulek kamu jahatin kamu, kamu lawan ya?” titah Tiara, kelopak gadis itu sudah mengembun. Tiara jarang sekali memperlihatkan perasaannya, tapi penerimaan Naima di saat ia terpuruk membuat Tiara sangat menyayangi wanita hamil itu.“Siap Ibuk!” jawab Naima mengelus punggung Tiara yang mulai bergetar menahan tangisan. Naima melepaskan pelukannya, meminta tas carrier yang masih berada di punggung Tiara. Mengingat awal kedatangannya ke kota ini, ia menggunakan tas itu, hanya baju yang berbeda. Rasa sesak akan meninggalkan Jakarta dan semua kenangan juga sang suami, membuat Naima tak bisa membendung air mata yang terus menganak sungai.“Jangan bilang apapun pada suamiku ya, Ra? Aku ingin tenang dulu. Dan dia juga ... kita butuh jeda,” ucap Naima, menghirup napas dalam lalu mengembuskan perlahan.“Kalaupun dia memaks
Baca selengkapnya

Chapt 134. Berbalut Nelangsa

Dalam kelam yang menyelimuti malam, ada pinta yang tak mampu menyapa. Ia adalah semburat warna merah muda yang tertutupi oleh lara. Jiwanya yang nelangsa ingin menghadirkan asa yang sudah terbang entah kemana.  Dalam rindu yang diam-diam merasuki kalbu, tapi tak ada harap menanti temu. Ia sembilu yang menggores di kalbu. Dan tak tahu malu memporak-porandakkan waktu. Kalam cinta yang harusnya mengalun sendu, menjadi jeritan luka yang menghadirkan nelangsa. Ah, betapa setianya kesedihan, ia datang tak saja sendiri bahkan komplotannya pun juga melingkupi. Airmata, lara, nelangsa, dan nestapa mengapa kau juga menyapa. Tak cukupkah satu saja. Supaya akan gampang menghapusnya. Desahan dengan getaran terdengar samar, dari bibir yang tak mampu mengucap kata di temani mata yang memerah pedih. Juga kegalauan yang mena
Baca selengkapnya

Chapt 135. Cerita dari Semesta

  Semesta sedang membuat cerita, tak seperti kisah Rama dan Shinta yang berakhir bahagia. Kisah Naima masih samar-samar. Telaga yang ada di depan mata adalah nestapa, tanpa ada semburat bahagia. Ia yang sebatang kara, hanya bisa berpasrah pada sang pembuat cerita. Dalangnya adalah Tuhan yang maha kuasa dan lakonnya adalah ia dan suami tercinta. Ah, apakah masih layak disebut suami? Mengasingkan diri di tempat kelahirannya, berharap resah segera enyah. Namun nyatanya gelisah lah yang kembali bertahta dan tak juga sirna. Dalam jarak yang membentang, wajah itu tetap tersemat, senyum itu tetap terbayang di pelupuk mata, dekap itu tetap terasa hangat membelenggu jiwa. Walau hanya lara yang terasa, saat ia membuka mata.   Fajar pagi menari-nari bersuka cita menyambut sang mentari yang mulai menyinari hari. Tetesan embun pagi yang suci harus r
Baca selengkapnya

Chapt 136. Derita

“Viran! Aku tak bisa seperti ini, menunggu dan semua tidak pasti!” geram Albe mondar-mandir meremas tangannya bergantian. Jelas pria itu sedang kelimpungan, rasa bersalah dan rasa khawatir menjadi satu. “Terus, mau lo apa? Jadwal sidang isbat sudah hampir deadline,” jawab Viran sekenanya, jarinya memutar-mutar pena di atas meja, sementara dua kakinya juga tersilang bertumpu di meja yang sama. “Kita harus mencari Naima, aku tidak bisa tenang. Bagaimana keadaanya, di mana ia tidur, apa yang dia makan … Aku bisa gila memikirkan itu semua!” rutuk Albe dalam kegelisahan yang menyelimuti jiwanya. Wajah itu tak semulus biasa, cambang menghiasi rahang kokohnya, sorot cemerlang menjadi sayu dan penuh duka. Ditinggalkan belahan jiwa ternyata sangat menyiksa tidak hanya jiwa tapi juga raga. Namun, ia juga harus memenuhi keinginan istri tercinta yang tak pernah terungkap dengan kata. Pernikahan mereka sah negara, dan dia sedang mengupayakannya. “Lo mau cari sendiri apa orang gue aja? Bakalan su
Baca selengkapnya

Chapt 137. Sebatang Kara

Setiap kisah yang telah berakhir pasti akan menjadi kenangan, suka dan duka yang telah dilalui bersama akan tetap abadi di palung hati. Memasukkan setiap kepingan memori bersama almarhum orang tua dan mendiang kakaknya ke dalam box plastik besar yang sengaja Naima beli selepas mengurus jual beli rumahnya ke petugas PPATK di kecamatan tadi. Uang hasil penjualan rumah juga sudah masuk ke rekening seluruhnya, Naima berencana mengambil cash untuk memberi bulek dan paklek besok. Ia ingin egois, tapi setelah berziarah ke makam keluarganya tadi pagi, hatinya tak mengizinkan. Walau bagaimanapun mereka sudah turut berjuang sampai Naima lulus sekolah. Tidak banyak, tapi mereka tetap berjasa. Barang-barang yang penting akan Naima bawa, besok ia akan mengunjungi rumah baru yang sudah ia incar. Memang jauh dari kota kelahirannya sekarang, tapi Naima sudah membulatkan tekad. Akan meninggalkan semua kenangan buruk, ia sanggup dan mampu hidup sendiri. Ia meminta waktu seminggu untuk mengosongkan
Baca selengkapnya

Chapt 138. Tetap Waras

Entah apa sebutannya, kearogansian Albe tentu melukai Naima, sahabatnya menjadi tumbal karena keegoisannya. Tapi seharusnya tidak perlu sampai memecat Tiara, wanita hamil itu masih tergugu di pelukan Tiara. Tiara jadi merasa bersalah, sudah mengatakan ihwal kedatangannya yang tiba-tiba. Padahal ia sudah mengatakan tidak akan menyusul perempuan hamil itu ke Semarang. Ia sudah berjanji akan memantau keadaan di Jakarta. Tadinya, Tiara berencana menjemput saat Naima sudah benar-benar bisa menuntaskan kegalauan dan juga kesedihannya. Ia pikir sahabatnya hanya akan beristirahat, dan menyelesaikan permasalahan rumah warisan dari mendiang orang tua Naima. Tidak menyangka jika ternyata, niatan wanita itu lebih gila dari sekedar melamar seorang pria untuk menikahinya dulu. Menjual rumah warisan, berniat kabur dan tak akan memberitahukan keberadaannya setelah pindah dari Semarang. Sungguh Tiara saja tidak pernah berpikir seperti yang sedang Naima lakukan dan sisanya sudah wanita rapuh ini niat
Baca selengkapnya

Chapt 139. Kepiluan Hati

       Pagi itu setelah menyelesaikan pengepakan barang-barang yang Naima anggap penting. Mereka segera ke kantor Bank, ia ingin segera menyelesaikan pembayaran rumah di Magelang. Memilih lokasi yang dekat dengan komplek sekolah, karena ia berniat membuka warung untuk menyambung hidup.  Tak mungkin mengharapkan suaminya, mengelus perut yang sudah mulai menyembul, mencari kekuatan untuk hatinya yang masih merindukan Albe.       "Ra, nanti ke tempat bulek dulu ya, habis itu baru kita ke rental Anugerah. Aku udah mesen mobil sekalian supir di sana. Kita Nanti ke rumah barunya biar gak usah capek-capek." Mereka ada di parkir kantor Bank, Naima mengenakan helm segera. Mereka harus bergegas, tak enak mendiami rumah yang sudah terjual. Tiara hanya mengangguk, tersenyum miris dalam hati. Seharusnya Naima tak berkeras hati ingin membesarkan buah hatiny
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1213141516
...
21
DMCA.com Protection Status