Beranda / Romansa / PERTAMA UNTUK NAIMA / Bab 141 - Bab 150

Semua Bab PERTAMA UNTUK NAIMA: Bab 141 - Bab 150

208 Bab

Chapt 140. Egois

Kesedihan masih bisa ia tampung, sebanyak apapun yang sudah menghampiri. Ia tetap kuat berdiri, masih akan tetap bisa bertahan. Pun dengan kerinduan, tanpa ia katakan, tanpa ia tuliskan dan ungkapkan. Rindu itu tetap membelenggu, bertahta dengan pongahnya, menancap dengan begitu kuat. Hanya rasa yang menyakitkan, membuatnya sesak dan engap. Wanita itu memang terlihat biasa saja, tak nampak hancur, walau jujur ia lebur. Remasan di jarinya menjadi bentuk penguatan untuk hati yang nyaris mati. Dari dalam mobil ini, ia seperti berlari, ingin pergi. Tapi nyatanya ia tak kemana-mana. Masih tersesat pada rasa yang sama. Rindu. “Aku kangen, Ra.” Pipinya bagai seluncuran bagi bulir-bulir bening dari kelenjar airmata. Cicitan suara yang nyaris hanya seperti bisikan tapi masih terdengar jelas, pada jarak yang hanya beberapa centi. "Mau nelpon? Pake private number aja, setidaknya bisa ngobatin rindu lo, suami lo juga lega kalo lo baik-baik aja. Ringankan beban dia,
Baca selengkapnya

Chapt 141. Ruang Rindu

“Naima!” Panggilan itu memang sederhana, tapi bagi sang empunya merasa tergores lebih dalam. Ia belum ingin bertemu dengan orang itu. Tidak sekarang, besok ataupun lusa. Kebaikannya memang mengantarkan Naima pada sang pemilik cinta. Namun, ketidak dewasaan sikap lelaki itu menghanguskan semua. Pekerjaan, kebahagiaan bahkan masa depan dia dan anaknya. Dengan otomatis Naima memegang perut dan berdiri tegak. Sikap defensifnya sudah menunjukkan kewaspadaan. “Bapak ngapain ke sini? Dan, dari mana bapak tahu alamat saya?” Naima berpegangan pada pagar, Tiara hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia semakin tak mengerti dengan alur masalah yang terjadi. “Maafin saya, Nai! Saya benar-benar gak ada maksud buat bikin semua menjadi seperti ini. Saya hanya ingin melindungi kamu, saya tau bagaimana Albe. Kita sudah lama hidup bareng,” tutur Jaka mencoba mendekat. Terlihat sorot kesedihan di sana, “Kalian bersahabat, Pak. Sahabat tidak seperti ini. Saya tidak pernah memberikan harapan pa
Baca selengkapnya

Chapt 142. Jejak

Ketukan dari pintu pagar membuat Naima yang sedang melipat mukena terjengit. Jam di dinding ruang tamu masih menunjukkan pukul tiga dini hari, Tiara masih enggan beranjak dari kasur lipat di ruang tengah, mereka memang tidur di sana malam tadi. “Kira-kira siapa Nai? Kok horor banget sih jam segini ada yang mainin pager,” tanya Tiara, merapatkan selimut dan mengeratkan pelukan pada guling. Melarikan diri memang tidak enak, semuanya serba terburu-buru. Demi menghindari Jaka, mereka meminta Pak Samijo untuk pindah lebih cepat. Harusnya mereka akan pindah hari minggu, tapi urung. Takut Jaka datang lagi. Beberapa hari menurut Jaka itu tidak bisa di prediksi. Setelah menyelesaikan beberapa dokumen dengan pak RT juga tanda tangan Akta Jual Beli, Naima memutuskan segera pindah. Subuh adalah waktu yang tepat menurutnya, di samping tetangga belum beraktivitas. Orang juga tak akan kepo dan bertanya-tanya. Tapi mereka melupakan kesepakatan itu dengan Pak Samijo, membuat keduanya ketakutan. “A
Baca selengkapnya

Chapt 143. Rumah Untuk Kembali

Rumah adalah tujuan hatinya untuk pulang, juga tempat ia akan memberikan kenyamanan juga kebahagiaan. Dan ia sedang menuju kesana, rumah baru, untuk ia, sang buah hati dan juga sahabat. Mereka akan memulai kehidupan baru, menyongsong mimpi dan masa depan bersama. Itulah cita-citanya. "Akhirnya selesai!" Naima merebahkan badan pada ranjang besar di kamar utama yang baru saja ia pasang sprei dan bed cover baru. Kedua tangannya yang terentang mengelus permukaan sprei yang dingin, dengan gerakan naik turun, rasanya memang beda dengan yang ada di rumah suaminya? Apakah ia masih menjadi istri Albe? Naima menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, kilasan kebersamaan mereka seperti sorotan proyektor. Rasa lelah tiba-tiba menghampiri, matanya kian redup, sebentar lagi pasti akan terlelap, untuk saat ini hanya bisa membayangkan raja hatinya itu mendekap dengan erat dan membisikkan kata cinta seperti dulu. "Nai, mau makan apa?" Tiara membuka pintu berwarna putih d
Baca selengkapnya

Chapt 144. Seberkas Cahaya

Rindu yang tersemat laksana jarum yang terpatri membuat berdarah-darah pada hati yang tertancap, ia bagai kesumat pada kewarasan. Menggila dan meleburkan sukacita pada jiwa, baru tadi asa itu menyala. Namun sekarang padam tak bernyawa. Dengan brutal dan teriakan putus asa Albe meninju tembok di ruang tamu mantan tempat tinggal Naima. Membuat semua mata terpana, Viran berlari memeluk perut kokoh itu, menarik dengan sekuat tenaga dan menghempaskan ke sofa. “Lo jangan gila di sini! Jangan bikin keributan!” geram Viran dengan pelototan dan gemeretakan pada gerahamnya. Siapa saja pasti akan merasakan yang Albe rasakan, kekhawatiran, kerinduan juga keputusasaan. Bahkan setelah kesakitan istrinya, ia belum sempat memanjakan, perlindungan yang dulu ia tawarkan tak ia berikan. Tentu ia merasa gagal. “Jadi, Pak Dirman tidak tahu? Kemana Naima pergi tadi subuh?” tanya Jaka memecah kesunyian yang semakin mencekam. Pak Dirman terlihat tenang, berbeda dengan Pak Subagjo, Camat itu terlihat gelisa
Baca selengkapnya

Chapt 145. Kangen

“Gila lo, Babon!” Umpatan Viran menjadi suara pemecah ketegangan di dalam mobil keluaran Amerika itu. Mobil yang terlihat seperti mobil tentara tersebut melaju dengan ugal-ugalan di jalan pegunungan dari Semarang menuju Magelang. “Gue belom kawin, kampret! Bisa pelan gak, sih!!” Seruan lelaki blasteran Pakistan itu hanya dianggap angin lalu oleh Albe. Viran tak akan setakut itu jika yang mereka lewati adalah jalan toll. Saat ini mereka melewati jalan provinsi yang cukup lebar, tapi motor, bus bahkan truk besar pengangkut kayu dan pasir sebagai lawan mereka. Albe tak mempedulikan suara dan teriakan sumbang Viran, yang ada dipikirannya sekarang adalah menuju titik yang tertera di map. Jantungnya seperti akan meledak, membuncah oleh satu keinginan. Naima ... Naima ... Naima dan Naima. Mereka sudah memasuki kota saat ini. Banyak motor yang menghalangi mobilnya membuat Albe menggeram marah, mereka sudah melewati tiga lampu merah dalam jarak yang belum terlalu jauh. “S
Baca selengkapnya

Chapt 146. Jijik

Albe kembali mendekati ranjang, tapi Naima masih terpenjam. Melabuhkan kecupan di kening Naima lagi sebelum bangkit, menuju ujung kamar yang ia rasa kamar mandi. Mungkin menyegarkan diri akan lebih baik. Sembari menunggu perempuan itu bangun dari tidurnya. Sementara Viran yang ternyata malah masuk ke warung soto yang tak jauh dari mobil Albe parkir. Persetan dengan Albe yang terbiasa puasa, kalo dia 'kan tidak. Maka dari itu, Viran memutuskan mengisi perut terlebih dulu sebelum babon bule sahabatnya menyeret pergi. Jika misi kali ini gagal lagi. Viran baru menghabiskan mangkok pertama sebelum berniat menambah lagi saat mengenali gadis dengan rambut coklat terang masuk. Ia menggagalkan acara menambah mangkok kedua, demi tidak kehilangan jejak lagi. Albe harus mentraktir dia makanan yang mahal setelah ini. Viran bersumpah akan membuat Albe pingsan melihat tagihan makanannya nanti. "Mbak, perkedel 5, sate usus 5, sate puyuhnya juga 5 ya. Semua di bungkus. Gak usah
Baca selengkapnya

Chapt 147. Melawan Rasa

Saat pujangga menuliskan sajak-sajak cinta, mereka mempunyai alasan. Dan jika sekarang ia menghempaskan ego, ia juga mempunyai alasan. Walau sakit mendengar pengakuan wanita yang sangat ia rindukan, Albe bisa apa? Wanita yang ia nikahi masih polos saat itu, masih suci. Jadi hal-hal tentang seksualitas mungkin sangat menjijikan untuknya, jika melihat secara langsung. Apa istrinya tak pernah melihat film dewasa? Albe tidak mencari pembenaran untuk hal yang dilakukannya dengan Laura. Ia di jebak. Bahkan saat itu yang ada di benaknya adalah Naima, tapi siapa yang akan percaya? Otaknya tidak ada CCTV yang bisa merekam semua yang ia pikirkan. Albe hanya bisa menatap gadis pujaannya dengan tatapan sedih. Naima sedang menangis di ujung ranjang, menutup mukanya dengan kedua tangan. Albe beringsut mendekat, meraih kepala istrinya. Menempelkan ke dada bidang pria itu, m
Baca selengkapnya

Chapt 148. Dirundung Lara

  Naima melepaskan pelukan Albe, tentu ia tersanjung dan senang dengan ucapan sang suami. Ia menatap lamat-lamat iris hijau favoritnya. Ada pemujaan, kerinduan juga kesakitan yang sama dengan apa yang ia rasakan. “Apa rasamu masih sama, Baby?” Pertanyaan spontan Albe membuatnya terpaku, Albe selalu ada di hati, pikiran juga di tiap hembusan napas, Naima selalu merapalkan nama suami tercintanya. Ia tidak ragu dengan kata hati, tapi apa ia masih bisa menerima Albe? Setelah pengkhianatan itu, penolakan yang sangat menyakitkan. Juga tuduhan yang sempat terlontar dari bibir yang ia rindukan. “Apa kamu meragukanku, Yang?” Pertanyaan balasan dari Naima tak lantas membuat Albe terkejut. Karena ia sadar, dialah yang meragukan istrinya, tapi malah ketahuan berkhianat. Ha
Baca selengkapnya

Chapt 149. Parfum Mahal

“Chef, mulai sekarang. Semua manajemen Cafe sesuai arahan saya. Menu, bahan dan sebagainya adalah kewajiban saya. Pak Albe sudah melepaskan Cafe ini. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka. Semua tergantung dari keputusan saya.” Ucapan tegas dan terkesan tak bisa dibantah keluar dari bibir Jaka. Lelaki itu baru saja datang setelah dua hari absen. Kedatangannya tentu disambut Chef Aren dan Chef Adi. Karena Albe yang biasa menjadi tempat mereka mendiskusikan menu baru juga bahan yang akan dipakai tidak dapat mereka temukan atau pun hubungi. Tentu dua Chef itu terkejut, karena pemberitahuan itu mendadak dan terkesan terburu-buru. Biasanya Albe akan mengumpulkan mereka semua pada pertemuan evaluasi. Bagaimanapun, pemilik saham terbesar adalah pria bule tersebut. Sebenarnya kedua Chef itu tidak ingin mempercayai, tapi melihat masalah yang beberapa minggu ini terjadi, juga melihat ketegangan dua pimpinan mereka, memang tak dapat dipungkiri. Keretakan itu terlihat nyata dan yang Chef Aren say
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
21
DMCA.com Protection Status