Saat pujangga menuliskan sajak-sajak cinta, mereka mempunyai alasan. Dan jika sekarang ia menghempaskan ego, ia juga mempunyai alasan. Walau sakit mendengar pengakuan wanita yang sangat ia rindukan, Albe bisa apa? Wanita yang ia nikahi masih polos saat itu, masih suci. Jadi hal-hal tentang seksualitas mungkin sangat menjijikan untuknya, jika melihat secara langsung. Apa istrinya tak pernah melihat film dewasa? Albe tidak mencari pembenaran untuk hal yang dilakukannya dengan Laura. Ia di jebak. Bahkan saat itu yang ada di benaknya adalah Naima, tapi siapa yang akan percaya? Otaknya tidak ada CCTV yang bisa merekam semua yang ia pikirkan. Albe hanya bisa menatap gadis pujaannya dengan tatapan sedih. Naima sedang menangis di ujung ranjang, menutup mukanya dengan kedua tangan. Albe beringsut mendekat, meraih kepala istrinya. Menempelkan ke dada bidang pria itu, m
Naima melepaskan pelukan Albe, tentu ia tersanjung dan senang dengan ucapan sang suami. Ia menatap lamat-lamat iris hijau favoritnya. Ada pemujaan, kerinduan juga kesakitan yang sama dengan apa yang ia rasakan. “Apa rasamu masih sama, Baby?” Pertanyaan spontan Albe membuatnya terpaku, Albe selalu ada di hati, pikiran juga di tiap hembusan napas, Naima selalu merapalkan nama suami tercintanya. Ia tidak ragu dengan kata hati, tapi apa ia masih bisa menerima Albe? Setelah pengkhianatan itu, penolakan yang sangat menyakitkan. Juga tuduhan yang sempat terlontar dari bibir yang ia rindukan. “Apa kamu meragukanku, Yang?” Pertanyaan balasan dari Naima tak lantas membuat Albe terkejut. Karena ia sadar, dialah yang meragukan istrinya, tapi malah ketahuan berkhianat. Ha
“Chef, mulai sekarang. Semua manajemen Cafe sesuai arahan saya. Menu, bahan dan sebagainya adalah kewajiban saya. Pak Albe sudah melepaskan Cafe ini. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka. Semua tergantung dari keputusan saya.” Ucapan tegas dan terkesan tak bisa dibantah keluar dari bibir Jaka. Lelaki itu baru saja datang setelah dua hari absen. Kedatangannya tentu disambut Chef Aren dan Chef Adi. Karena Albe yang biasa menjadi tempat mereka mendiskusikan menu baru juga bahan yang akan dipakai tidak dapat mereka temukan atau pun hubungi. Tentu dua Chef itu terkejut, karena pemberitahuan itu mendadak dan terkesan terburu-buru. Biasanya Albe akan mengumpulkan mereka semua pada pertemuan evaluasi. Bagaimanapun, pemilik saham terbesar adalah pria bule tersebut. Sebenarnya kedua Chef itu tidak ingin mempercayai, tapi melihat masalah yang beberapa minggu ini terjadi, juga melihat ketegangan dua pimpinan mereka, memang tak dapat dipungkiri. Keretakan itu terlihat nyata dan yang Chef Aren say
Albe kelimpungan menghadapi istrinya yang terus berlari ke kamar mandi saat lelaki itu mendekati. Ia sudah mandi lagi dan bahkan mengganti sprei juga bed cover di kamar Naima. Lelaki yang saat ini masih dalam raut kepanikan itu sedang gamang. Ia membawa nampan, berada di depan pintu kamar wanita yang sedang mengandung anaknya. Belum ada asupan lagi setelah beberapa kali muntah dan menolak untuk sekedar memakan kue ataupun meminum susu lagi. Ia sudah menghubungi Feriska dokter psikolog yang juga mantan teman kencannya. Entahlah, keputusan yang ia ambil benar atau tidak. Yang pasti, ia tak ingin banyak orang mengetahui kelemahannya. Jika dulu Nindy bisa tahu karena pernah memergoki dirinya mengunjungi Feriska di rumah sakit. Kali ini, ia akan memastikan hanya dia, Feriska, dan Tiara yang tahu trauma yang dialami Naima. Untuk Viran, ia akan memikirkan nanti, lelaki itu hanya tau Naima muntah setelah mereka bercinta. Albe menghembuskan napas kasar, membayangkan ia tak akan bisa dekat deng
Albe tak membalas pelukan wanita yang menjadi terapisnya dulu. Suami Feriska berjalan dengan beberapa paper bag di tangan dan tersenyum ke arah Albe. Lelaki tinggi jangkung itu tersenyum dan menyalami Albe dengan sopan. “Silakan masuk. Maaf, aku merepotkan kalian.” Albe membukakan pintu dan mempersilakan mereka masuk dan duduk. Pria bule itu mengambil tas dan menaruh di ruang keluarga. Hal itu menjadi perhatian Feriska. Sebagai Dokter Kejiwaan, instingnya mengatakan hubungan Albe dan Naima tidak baik-baik saja. “Bagaimana kabarmu, Al? Dan Naima? Kandungannya?” Pertanyaan Feriska yang beruntun dan pengetahuan Dokter yang seumuran dengannya membuat Albe memicingkan mata. Ia belum mengatakan jika Naima mengandung, hanya menceritakan jika istrinya muntah setelah mencium berhalusinasi mencium bau air mani. “Bagimana kamu tahu istriku hamil? Apakah tadi aku mengatakan secara tidak sadar atau kamu sekarang berubah menjadi cenayang?” Tanya Albe curiga, suami Feriska hanya tersenyum. Feris
Kedatangan Dokter Feriska bukan menyelesaikan kegalauan Naima, malah membuatnya semakin tak berdaya. Ia membutuhkan Albe, hatinya menjadi gelisah. Tatapan Feriska memang bersahabat, tapi ini tentang aib sang suami. Ia bukan manusia kejam yang akan membeberkan keburukan pria yang menjadi suaminya walau hanya siri. Kegelisahan Naima tentu bisa Feriska rasakan, ia melirik pergelangan tangan pada jam bermerk yang ia kenakan. “Besok sore aku ke sini lagi ya? Kita ngobrol yang banyak. Sekarang udah malam, kamu istirahat ya, Nai.” Dokter Feriska menarik punggung Naima dan memeluk sekilas lalu keluar dari kamar. Naima tercenung, merebahkan badan lalu menutup mata dengan lengannya. Mengingat semua perjalanan hidup yang sudah ia lalui. Dulu ia sempat menutup diri setelah kehilangan orang tua. Tidak ada dukungan juga pelukan hangat dari keluarga, membuatnya menebalkan dinding hati. Berlari pergi, untuk mengenyahkan sisi melankolis hati. Nyatanya ini terjadi lagi. Harus berjauhan dengan ora
Albe terperanjat, lelaki itu bangun dari ranjang dan turun. Menatap tak percaya keputusan istrinya. Ia tak bisa, ia tak mau berjauhan dengan Naima. Itu sama saja menyiksanya. Bukan ini yang dia mau, bukan cara seperti ini. Pria itu merasa tak sanggup sedetikpun tanpa bisa melihat istrinya. Membayangkan Naima dan semua kesulitan yang akan dialami sang pujaan tanpanya. Tanpa seorang lelaki yang berada di sisi wanita itu. Kepala Albe mendadak nyeri. “Aku tak mau, tidak akan, Baby! Aku tak akan sanggup jauh darimu, cukup kemarin kau tidak di sisiku. Sudah cukup!” ucap Albe tegas, dadanya naik turun menahan emosi. Lelaki itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar yang ukurannya lebih kecil dari kamar mereka di apartemen. “Tapi jika terus seperti ini, kita akan tersakiti, Hunny!” sanggah Naima. Ia tatap sendu suaminya yang sedang melagu pilu, namun emosinya terlihat menderu. Albe menatap istrinya nyalang. “Tidak Nai. Tidak!” Albe berkacak pinggang menggelengkan kepala, tak terbantahka
Naima sudah tertidur saat Tiara dan Viran datang, Albe sedang duduk di bangku kecil taman mini samping dapur. Lelaki kekar itu seperti sedang berpikir, akan bertahan pada egonya atau menjauh untuk sementara. Ia bisa saja dengan idealismenya juga tetap mentahtakan ego untuk terus di samping istri tercinta. Namun cinta dalam hati melarangnya, kasih sayang dalam jiwanya terluka. Melihat penderitaan yang Naima tanggung saat ia berada di dekat wanita yang sedang mengandung itu. Cinta bisa serumit ini, seperti benang warna warni yang terbentang indah, kini bergulung kusut enggan terurai. Albe hanya ingin memintal rasa juga asa menjadi keluarga bahagia, seperti cita-cita yang sudah mereka rencana. Namun semesta memang senang menguji mereka, melambungkan lalu menghempas lepas hingga menghadirkan jutaan luka pada jiwa "Al!” Viran menepuk pundak kokoh Albe, berjalan memutar lalu duduk pada ornamen batu di pinggir kolam kecil, muara air terjun mini yang menghiasi dinding batu buatan. “Besok
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang