Semua Bab PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR: Bab 11 - Bab 20

88 Bab

Part 11

        Dalam waktu sekejap keduanya pun telah sampai di belakang padepokan. Saat itu Diandra, Gayatri, dan Raden Anom sedang menyiapkan makan malam untuk mereka. Berbagai ikan air tawar bakar dan berkuah terhidangkan di atas tikar pandan sebagai lauknya. Aroma makanan yang disiapkan oleh para juru masak cilik itu langsung membuat perut Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita terasa lapar.       “Kalian bertiga benar-benar anak-anak yang pintar,” puji Diajeng Sekar Laras sembari mengambil tempat duduk di atas tikar makan. “Berarti kalian bertiga menangkap ikan di sungai ya tadi?”       “Iya, Biung,” jawab Gayatri. “Dan semua ikan-ikan ini hasil tangkapan Dik Anom. Dia sudah selihat kamu untuk mengejar ikan-ikan di dasar lubuk.”        “Bag
Baca selengkapnya

PART 12

            Ternyata di atas batu besar itu ada empat orang yang sedang duduk dan tiduran sambil ngombrol.      “Siapa mereka, Kang Mas..?” desis Diajeng Sekar Laras.      “Untuk memastikannya, kita dekati saja mereka untuk mendengarkan perbincangan mereka,” Ki Jagadita melangkah mendekati batu besar itu sambil memegang tangan istrinya. Karena orang-orang itu tak bisa melihat mereka karena wilayah sekitar itu hingga padepokannya sudah dilindungi dengan ilmu Halimun Jagat.       “Apakah kauyakin yang membawa lari istri dan anak dari mendiang Adipati Wirajaya itu adalah sosok manusia? Jika dia manusia, lantas di mana ia membawa pergi wanita dan anaknya itu...?” bertanya salah seorang dari keempat laki-laki itu entah kepa
Baca selengkapnya

PART 13

    Hanya sepeminum kopi Diajeng Sekar Laras telah memasuki kota raja. Ibu kota Kerajaan Palingga merupakan sebuah kota yang yang sangat ramai dan luas. Denyut kehidupan masyarakat kotanya berlangsung di hampir setiap sudut kota.       Sebelum melanjutkan perjalanannya menuju istana raja, Diajeng Sekar Laras akan beristirahat dulu barang sesaat sembari membasahi tenggorokannya dengan minuman yang segar dan mengisi perutnya dengan makanan. Tadi di padepokan ia sampai lupa untuk mengisi perutnya dulu, sebagai imbas dari keresahan hatinya akibat memikirkan kakaknya, Ratu Ageng Sekar Arum, yang sedang sakit keras. Tetapi saat ini, ia benar-benar merasakan sangat haus dan lapar.  Maka ia harus menemukan sebuah warung makan dulu.        Tetapi sebelum itu ia tak lupa merubah sedikit penampilannya dengan Ilmu Malih Rupo. Tampilan wajah dan perawakannya l
Baca selengkapnya

PART 14

       Sesampai di depan pintu gerbang utama Istana Kerajaan Palingga, Diajeng Sekar Laras langsung dihadang oleh prajurit pengawal istana dengan saling menyilangkan tombak satu sama lain di tangan mereka secara berlapis.       “Nisanak mau ke mana...!”bertanya salah seorang prajurit pengawal. Lebih tepatnya sebagai sebuah bentakan.        “Saya seorang tabib dari negeri seberang, hendak mencoba mengobati sakitnya Sang Permaisuri. Ijinkah saya untuk masuk,” sahut Diajeng Sekar Laras. Sekarang suaranya sudah berubah menjadi suara seorang wanita berusia baya.       “Apakah Nisanak bisa memberi kami jaminan mampu menyembuhkan Sang Permaisuri...!?”bertanya prajurit pengawal lain dengan wajah tak kalah tak ramahnya.
Baca selengkapnya

PART 15

        Bukan saja permaisuri yang kaget, Prabu Nara dan Patih Wiranata pun kaget dengan pengakuan dari sang tabib misterius itu.       “Apa maksud Ninik mengaku-ngaku sebagai Diajeng Sekar Laras...? Adik ipar saya itu masih muda dan cantik, sedangkan Ninik ini, maaf, sudah tua...?!”bertanya Prabu Nara dengan sorot mata heran bercampur curiga.         “Benar, Ninik,”Patih Wiratama menimpali. “Saya juga bisa marah jika....”         “Diam kau, Dikmas Wiratama...!” potong Diajeng Sekjar Laras. Setelah berkata demikian, Diajeng Sekar Laras memejamkan matanya, mulutnya komat kamit karena sedang merapal sebuah mantra. Tiba-tiba cahaya putih yang disertai asal tipis membungkus tubuhnya. Lalu sesaat kemudian, si ninik-ninik peot lenya
Baca selengkapnya

PART 16

       “Laki-laki yang bernama Ki Jagadita itu pastilah seorang yang berilmu sangat tinggi,”ucap Prabu Nara kepada permaisurinya Ratu Ageng Sekar Arum sembari melangkah masuk ke dalam istananya.        “Benar sekali, Kangmas...!”sahut Permaisuri Ratu Ageng Sekar Arum. “Bagaimana seorang Sekar Laras yang dulu hanya seorang wanita yang lemah lembut kini telah menjelma sebagai seorang sakti mandraguna seperti itu. Bisa jadi, setahun atau dua tahun lagi ia telah menjadi seorang pendekar besar yang amat sulit ditandingi oleh siapa pun lawannya, Kangmas.”        “Kanda setuju, Nimas!” sahut Prabu Nara sembari meletakkan pantatnya di singgasananya.         Saat itu Patih Wiratama memasuki istana dan menghaturkan tabik
Baca selengkapnya

PART 17

        Setelah kehadiran Diajeng Sekar Laras ke istana, maka dengan Baginda Raja Prabu  Nararyawardhana  mengumumkan bahwa pencarian keberadaan Diajeng Sekar Laras dan putranya dinyatakan berakhir, karena dua orang itu telah ditemukan.       Dengan diberhentikannya sayembara berhadiah besar yang sudah diberlakukannya hampir tiga tahun itu, jelas mengecewakan banyak pihak yang selama ini telah bersusah payah mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan hadiah sayembara itu. Mereka adalah kelompok-kelompok jahat yang sangat berambisi untuk keluar jadi pemenang sayembara. Selama mereka mengikuti sayembara, adakalanya mereka harus tega untuk menyingkirkan pesaingnya dari kelompok-kelompok lain. Dan salah satu kelompok yang paling gigih dan bernafsu untuk memenangkan sayembara itu adalah kelompok begal Macan Ireng di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta yang sekaligus lurah dari D
Baca selengkapnya

PART 18

         Dari ruang dalam istana Patih Wiratama muncul bersama bocah laki-laki. Ia adalah putra mahkota Pangeran  Labdajaya. Usia dan wajahnya memiliki kemiripan dengan sepupunya Raden Anom.       “ Angger, sungkem dengan Penan dan Bopo Jagadmu,”perintah Permaisuri Sekar Arum kepada putranya Pangeran Labdajaya. Bocah laki-laki itu langsung menyalami dan menciumi tangan Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita.        “Angger Labdajaya sudah besar sekarang,”ucap Diajeng Sekar Laras sembari mengelus kepala keponakannya. “Waktu Penan datang dulu Angger di mana?”(Penan = bibi/bulik).         “Iya, kemarin Labda di padepokan, Penan. Bagaimana kabar Dimas Anom sekarang?”
Baca selengkapnya

PART 19

         Tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat laki-laki itu segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke kota raja. Jarak dari tempat itu ke kota raja bagi Ki Jagadita dan Diajeng Sekar jagad tak seberapa jauh, namun bagi Ki Seranta, Ki Pokasi, Ki Sumpit, dan Bojot yang tak memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, apalagi Ilmu Saipi Angin Jagat, tentu sangatlah jauh. Saat ini matahari sudah berada di sepertiga bola langit di sebelah barat, kemungkinan besar mereka baru sampai di kota raja menjelang malam hari.        Benar saja, ketika memasuki kota raja, tepat matahari sudah tenggelam di ufuk barat dan malam sedang menyongsong. Sebelum menuju ke istana kerajaan, keempatnya beristirahat dulu di bawah naungan pohon beringin besar di tengah-tengah alun-alun kota.        “Apa kira-kira Baginda Prabu mau
Baca selengkapnya

PART 20

 Pada saat keempatnya menikmati kelegaan itu, tiba-tiba keempatnya terdiam. Telinga mereka mendengar suara tapak kuda yang banyak bersamaan dengan suara ringkikannya. Naga-naganya rombongan berkuda itu akan lewat di jalan yang tak jauh dari tempat mereka berada. Mereka tanggung untuk bersembunyi karena keberadaan mereka telah terlebih dahulu terlihat oleh para penunggang kuda itu. Yang mereka lakukan adalah berpura-pura berteriak dengan mengintai ke sana ke mari seolah-olah mereka sedang berburu binatang.        Benar saja, ketika melihat mereka, rombongan berkuda yang berjumlah sepuluh kuda lebih itu langsung berhenti. Ternyata itu adalah rombongan di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta dan para anak buahnya. Mungkin mereka hendak ke kota raja atau menuju ke tempat lain, karena penampilan mereka seperti para pejabat kerajaan.        “Se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status