Sesampai di depan pintu gerbang utama Istana Kerajaan Palingga, Diajeng Sekar Laras langsung dihadang oleh prajurit pengawal istana dengan saling menyilangkan tombak satu sama lain di tangan mereka secara berlapis.
“Nisanak mau ke mana...!”bertanya salah seorang prajurit pengawal. Lebih tepatnya sebagai sebuah bentakan.
“Saya seorang tabib dari negeri seberang, hendak mencoba mengobati sakitnya Sang Permaisuri. Ijinkah saya untuk masuk,” sahut Diajeng Sekar Laras. Sekarang suaranya sudah berubah menjadi suara seorang wanita berusia baya.
“Apakah Nisanak bisa memberi kami jaminan mampu menyembuhkan Sang Permaisuri...!?”bertanya prajurit pengawal lain dengan wajah tak kalah tak ramahnya.
Bukan saja permaisuri yang kaget, Prabu Nara dan Patih Wiranata pun kaget dengan pengakuan dari sang tabib misterius itu. “Apa maksud Ninik mengaku-ngaku sebagai Diajeng Sekar Laras...? Adik ipar saya itu masih muda dan cantik, sedangkan Ninik ini, maaf, sudah tua...?!”bertanya Prabu Nara dengan sorot mata heran bercampur curiga. “Benar, Ninik,”Patih Wiratama menimpali. “Saya juga bisa marah jika....” “Diam kau, Dikmas Wiratama...!” potong Diajeng Sekjar Laras. Setelah berkata demikian, Diajeng Sekar Laras memejamkan matanya, mulutnya komat kamit karena sedang merapal sebuah mantra. Tiba-tiba cahaya putih yang disertai asal tipis membungkus tubuhnya. Lalu sesaat kemudian, si ninik-ninik peot lenya
“Laki-laki yang bernama Ki Jagadita itu pastilah seorang yang berilmu sangat tinggi,”ucap Prabu Nara kepada permaisurinya Ratu Ageng Sekar Arum sembari melangkah masuk ke dalam istananya. “Benar sekali, Kangmas...!”sahut Permaisuri Ratu Ageng Sekar Arum. “Bagaimana seorang Sekar Laras yang dulu hanya seorang wanita yang lemah lembut kini telah menjelma sebagai seorang sakti mandraguna seperti itu. Bisa jadi, setahun atau dua tahun lagi ia telah menjadi seorang pendekar besar yang amat sulit ditandingi oleh siapa pun lawannya, Kangmas.” “Kanda setuju, Nimas!” sahut Prabu Nara sembari meletakkan pantatnya di singgasananya. Saat itu Patih Wiratama memasuki istana dan menghaturkan tabik
Setelah kehadiran Diajeng Sekar Laras ke istana, maka dengan Baginda Raja Prabu Nararyawardhana mengumumkan bahwa pencarian keberadaan Diajeng Sekar Laras dan putranya dinyatakan berakhir, karena dua orang itu telah ditemukan. Dengan diberhentikannya sayembara berhadiah besar yang sudah diberlakukannya hampir tiga tahun itu, jelas mengecewakan banyak pihak yang selama ini telah bersusah payah mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan hadiah sayembara itu. Mereka adalah kelompok-kelompok jahat yang sangat berambisi untuk keluar jadi pemenang sayembara. Selama mereka mengikuti sayembara, adakalanya mereka harus tega untuk menyingkirkan pesaingnya dari kelompok-kelompok lain. Dan salah satu kelompok yang paling gigih dan bernafsu untuk memenangkan sayembara itu adalah kelompok begal Macan Ireng di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta yang sekaligus lurah dari D
Dari ruang dalam istana Patih Wiratama muncul bersama bocah laki-laki. Ia adalah putra mahkota Pangeran Labdajaya. Usia dan wajahnya memiliki kemiripan dengan sepupunya Raden Anom. “ Angger, sungkem dengan Penan dan Bopo Jagadmu,”perintah Permaisuri Sekar Arum kepada putranya Pangeran Labdajaya. Bocah laki-laki itu langsung menyalami dan menciumi tangan Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita. “Angger Labdajaya sudah besar sekarang,”ucap Diajeng Sekar Laras sembari mengelus kepala keponakannya. “Waktu Penan datang dulu Angger di mana?”(Penan = bibi/bulik). “Iya, kemarin Labda di padepokan, Penan. Bagaimana kabar Dimas Anom sekarang?”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat laki-laki itu segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke kota raja. Jarak dari tempat itu ke kota raja bagi Ki Jagadita dan Diajeng Sekar jagad tak seberapa jauh, namun bagi Ki Seranta, Ki Pokasi, Ki Sumpit, dan Bojot yang tak memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, apalagi Ilmu Saipi Angin Jagat, tentu sangatlah jauh. Saat ini matahari sudah berada di sepertiga bola langit di sebelah barat, kemungkinan besar mereka baru sampai di kota raja menjelang malam hari. Benar saja, ketika memasuki kota raja, tepat matahari sudah tenggelam di ufuk barat dan malam sedang menyongsong. Sebelum menuju ke istana kerajaan, keempatnya beristirahat dulu di bawah naungan pohon beringin besar di tengah-tengah alun-alun kota. “Apa kira-kira Baginda Prabu mau
Pada saat keempatnya menikmati kelegaan itu, tiba-tiba keempatnya terdiam. Telinga mereka mendengar suara tapak kuda yang banyak bersamaan dengan suara ringkikannya. Naga-naganya rombongan berkuda itu akan lewat di jalan yang tak jauh dari tempat mereka berada. Mereka tanggung untuk bersembunyi karena keberadaan mereka telah terlebih dahulu terlihat oleh para penunggang kuda itu. Yang mereka lakukan adalah berpura-pura berteriak dengan mengintai ke sana ke mari seolah-olah mereka sedang berburu binatang. Benar saja, ketika melihat mereka, rombongan berkuda yang berjumlah sepuluh kuda lebih itu langsung berhenti. Ternyata itu adalah rombongan di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta dan para anak buahnya. Mungkin mereka hendak ke kota raja atau menuju ke tempat lain, karena penampilan mereka seperti para pejabat kerajaan. “Se
Tampaknya Prabu Nararyawardhana sudah mulai menyadari bahwa kepercayaan rakyat terhadap dirinya mulai terlihat menurut di mana-mana. Itu dapat ia rasa dan saksikan dalam setahun terakhir ini. Setiap kali ia melakukan kunjungan keliling ke pelosok negerinya, di mana ia hanya disambut oleh rakyatnya dengan sikap agak dingin, dan tak seperti sebelumnya ia disambut dengan sangat meriah dan dieluk-elukan di sepanjang jalan yang dilewatinya. Ia merasa, bahwa dirinya mulai tak dianggap lagi sebagai pemimpin oleh rakyatnya. Apa yang dilakukan dan diharapkan oleh persekongkolan Patih Adiwilaga dan KiJantaka alias Gentala Seta tampaknya sudah mulai menampakkan hasil. Dan hebatnya, ketika ia berkeliling ke setiap pelosok, Patih Adiwilaga dapat merasakan sambutan yang baik rakyat terhadapnya. Tak sedikit ia dielu-elukan oleh segenap rakyat yang dilewatinya. Sembari dalam
Keempat pendekar muda hanya mengangguk dan terdiam. “Dan malam ini,” lanjut Ki Jagadita, “aku masih menurunkan satu benda wasiat yang bernama Cambuk Halilintar. Karena cambuk ini hanya satu, maka kalian harus mendapatkannya dengan cara diuji. Cambuk ini memiliki ruh, dia akan memilih siapa yang akan menjadi pemiliknya. Ia akan tinggal di tubuh pemiliknya sebelum cambuk itu akan diwariskan kepada sang pelanjutnya. Pesan Bopo, kepada siapa pun akhirnya Cambuk Halilintar ini akan jatuh, maka yang lain tak boleh merasa sakit hati atau sejenis itu. Justru kalian harus saling mendukung. Karena pada dasarnya, ilmu yang kalian miliki sudah terlalu tinggi bagi lawan-lawan kalian.” “Baiklah, Bopo, siapa pun di antara kami yang dipilih oleh cambuk itu, kami akan ikhlas,” ucap Diandra.
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.