Keempat pendekar muda hanya mengangguk dan terdiam.
“Dan malam ini,” lanjut Ki Jagadita, “aku masih menurunkan satu benda wasiat yang bernama Cambuk Halilintar. Karena cambuk ini hanya satu, maka kalian harus mendapatkannya dengan cara diuji. Cambuk ini memiliki ruh, dia akan memilih siapa yang akan menjadi pemiliknya. Ia akan tinggal di tubuh pemiliknya sebelum cambuk itu akan diwariskan kepada sang pelanjutnya. Pesan Bopo, kepada siapa pun akhirnya Cambuk Halilintar ini akan jatuh, maka yang lain tak boleh merasa sakit hati atau sejenis itu. Justru kalian harus saling mendukung. Karena pada dasarnya, ilmu yang kalian miliki sudah terlalu tinggi bagi lawan-lawan kalian.”
“Baiklah, Bopo, siapa pun di antara kami yang dipilih oleh cambuk itu, kami akan ikhlas,” ucap Diandra.
Setelah menghadap Baginda Pradu di balai paseban, hal pertama yang dialukan oleh Patih Wiratama adalah mengirim warta panggilan kepada Patih Adiwilaga dan Lurah Sawo Jajar, Ki Jantaka. Dan hal berikut yang dilakukannya adalah membersihkan angkatan perang darat Kerajaan Palingga dengan menyingkirkan prajurit-prajurit yang direkrut sejak eempat tahun yang lalu, lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru dengan koordinasi ketat dari perwira-perwira yang dikenal sangat setia terhadap Baginda Prabu Nararyawardhana. Ternyata hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah bagi Patih Wiratama. Ada begitu banyak tantangan yang dihadapi. Demikian banyak perwira-perwira yang dulunya dikenal sangat loyal kepada Baginda Prabu Nararyawardhana, kini banyak terendus telah dicemari oleh pengaruhnya Patih Adiwilaga dan Lurah Ki Jantaka alias Gentala Seta. Mereka direcoki oleh sang patih durhaka dan lurah keblinger
Beberapa bulan kemudian, Baginda Prabu Nararyawardhana mengumumkan akan turun tahta dan akan digantikan oleh putra mahkotanya, yaitu Pangeran Labdajaya. Pengumuman itu ada begitu banyak tanggapan dari kalangan rakyat. Ada yang berpendapat, bahwa Baginda Prabu Nararyawardhana terlalu cepat turun tahta mengingat usianya masih terbilang muda, baru berusia lima puluh tahun. Pendapat kedua adalah memuji kebesaran jiwa Baginda Prabu Nararyawardhana yang merasa bahwa ia mungkin merasa sudah tak mampu lagi untuk membendung fitnah-fitnah yang ditebarkan oleh mantan patihnya, Patih Adiwilaga, dan komplotannya sehingga terjadi krisis kepercayaan rakyat yang berujung pada pemberontakan dan perang saudara. Namun sebenarnya untuk hal ini, setelah rakyat mengetahui persisi duduk permasalahnya, bahwa selama ini mereka telah termakan oleh hasutan
Namun saat di mana sang putra mahkota dinobatkan sebagai raja baru Kerajaan Palingga, beribu-ribu rakyat berdatangan dari seantero negeri, tumpah ruah di alun-alun kota raja. Penobatan putra mahkota, Pangeran Labdajaya, menjadi raja tidak hanya dihadiri oleh rakyat Palingga sendiri tetapi juga dihadiri oleh ribuan para utusan dari kerajaan-kerajaan sahabat. Penobatan itu berlangsung khikmat. Setelah Pangeran Labdajaya mengenakan mahkota Kerajaan Palingga, ia bergelar Sri Maharaja Prabu Labdajayawardhana. Dalam menyampaikan pidato pertamanya di hadapan segenap rakyat dan para tamu undangan dari kerajaan-keraan sahabat, ia berkata dengan dengan suaranya yang lantang namun teratur dan berwibawa: “Rakyatku sekalian yang aku cintai. Sejak saat ini aku telah dinobatkan sebagai raja baru kalian setelah secara resmi Ayahanda, Paduka Yan
Di suatu daerah yang masuk dalam wilayah Kerajaan Medang terdapat sebuah wilayah kelurahan yang bernama Uluwatu yang dipimpinan oleh Ki Lurah yang bernama Wilulang. Wilulang merupakan adik dari sang wiyasa yang memimpin wilayah watek (sejenis wilayah kecamatan sekarang), yang wilayahnya membawahi juga wilayah kelurahan yang dipimpin oleh Wilulang. Sangat banyak kebijakan Ki Lurah Wilulang menyimpang jauh dari kebijakan dari Sri Baginda yang sangat adil dan bijaksana. Lurah Wilulang tak ubahnya harimau berbulu domba, yang hanya tampak tenang dan berwibawa dan pandai menyembunyikan kuku-kuku yang tajam dan mematikan. Akibat kebijakannya yang lalim, rakyatnya mengalami penderitaan dan ketidakadilan. Kesengraan serta kemelaratan terjadi merata di mana-mana di desanya. Rakyatnya baginya tak ubah sebagai sapi perahan yang dapat seenaknya mereka peras dan rampas hartanya. Penarikan pajak pun ber
“Perjalanan hidup manusia itu sudah digariskan oleh Sang Hyang Maha Agung, Ki Masura, termasuk kita akan bertemu sendiri,” ucap Raden Anom. “Ohya, apa Ki Masura pernah berguru ilmu silat?” “Dulu, ketika saya merantau ke Blambangan, saya pernah berguru, Pendekar, tapi berhenti di tengah jalan ketika saya harus kembali ke Uluwatu dan menikah.” “Berarti Ki Masura sudah cukup trampil memainkan jurus-jurus, walau belum sampai tuntas belajarnya?” “Begitulan, Pendekar Anom. Tapi ilmu belum tuntas itu belum terlalu bisa menolong saya dari penzoliman Ki Lurah Wilulang dan para kaki tangannya, sampai saya tak mampu menyelamatkan istri dan anak saya dari kebiadaban mereka,” ucap Ki Masura.&nbs
Lalu kepada Raden Anom dia bertanya, “Bagaimana pendapat Pendekar Anom dengan penampilan saya tadi?” Raden Anom tersenyum. “Ya, ya, ya, sebuah langkah awal yang sangat bagus. Terbukti puluhan anak buahnya Ki Lurah Wilulang itu bertekuk lutut, kan?” Ki Masura tersenyum bungah, tapi tidak sombong. “Saya benar-benar merasa saya masih sedang mimpi. Tadi saya dibelenggu dan dizolimi hanya oleh beberapa orang, tapi sekarang....luar biasa! Terima kasih, Pendekar.. !” “Ya, sama-sama...” Ketiga laki-laki penggarap sawah datang mendekat dan menghaturkan terima kasih berkali-kali kepada Ki Masura dengan sikap sedikit membungkuk.&nbs
Ditantang demikian oleh Ki Masura yang seorang diri, tanpa perlu ditawar lagi, ratusan kaki tangannya Ki Lurah Wilulang itu langsung bergerak mengepung dengan golok terhunus dan tombak pendek di tangan mereka. Jika Ki Masura masih seperti beberapa hari sebelumnya, hanyalah laki-laki desa biasa, tentu dengan cepat tubuhnya akan dicincang hingga menjadi bagian-bagian yang kecil-kecil oleh ratusan srigala berwujud manusia itu. Namun sosok Ki Masura sekarang adalah Ki Masura yang benar-benar sudah berbeda sangat jauh. Ia kini telah menjelma menjadi seorang pendekar yang sakti mandraguna. Ki Masura langsung menjemput gelombang serangan itu dengan berkelebat ke depan dengan gerakan yang sangat cepat sembari menebaskan golok panjangnya dengan tebasan yang terarah dan mematikan. Jerit kematian pun langsung terdengar mengiris hati di malam yang diterangi oleh sinar rembulan itu. Laki-
Seluruh kaum lelaki Dusun Kidul sudah berkumpul dan menunggu di halaman rumahnya Ki Masura. Setelah kokok ayam pertama berakhir baru mereka berangkat menuju Dusun Lor di bawah pimpinan Ki Masura dan Raden Anom. Cahaya bulan yang hampir purnama membantu perjalanan mereka sehingga mereka tidak perlu menggunakan obor sebagai alat penerangan. Jarak antara Dusun Kidul dengan Dusun Lor tak terlalu jauh, hanya butuh waktu perjalanan sekitar sepeminum teh mereka telah berada di luar dari dusun itu. Untuk menunggu waktu yang ditentukan untuk masuk, mereka berkumpul di persawahan yang berdekatan dengan Dusun. “Jemali, Kentung, dan Kelik...,”panggil Raden Anom. “Iya, Pendekar...!”sahut ketiganya nyaris bersamaan.&
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.