Home / Romansa / Menantu Tak Diharapkan / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Menantu Tak Diharapkan: Chapter 51 - Chapter 60

86 Chapters

Bab 51

 Sebelum menjawab, Cakra melepaskan nafas  berat. Sangat berat dari biasanya. "Bapak tetap pada pendiriannya," Ia menjawab lesu. Seketika membuat netra Mega membulat penuh. "Meminta kita tetap berpisah?" Tebaknya. Cakra lagi-lagi lesu dalam mengangguk. Setelahnya, tak terdengar lagi Mega bersuara. Suaranya telah berganti menjadi isakan tertahan, hingga dadanya bergerak tak beraturan. "Istriku. Boleh aku minta sesuatu untuk terakhir kalinya?" "Apa itu?" "Tubuh ini. Untuk yang terakhir," Cakra menjawab dengan membingkai wajah sang istri. Hingga tanpa terasa, ada butiran hangat meluncur bebas di pipinya. Sementara Mega, sekilas menatap nanar wajah suaminya. Ia lantas melengos dengan diiringi air mata mengalir pula. "Mega," Lirih Cakra, menghadapkan kepadanya wajah basah itu. Membersihkan air matanya, meski terus-menerus mengalir semakin deras. "Aku benci kata-kata t
Read more

Bab 52

 Siang menjelang sore, selepas pulang dari sekolah. Cakra berada di kos-kosan sempit, tak jauh dari sekolah. Tempat itu ia pilih agar memudahkannya berjalan hingga ke sana. Sudah hampir lima belas menit, ia menatap hampa pada sebungkus nasi yang ia beli di pinggir jalan tadi. Juga sebotol air mineral. Belum tersentuh. Kehilangan. Sesakit inikah rasanya? Padahal semalam ia masih merasakan hangat tubuh sang istri, kini semua itu tinggal kenangan yang semakin diingat, semakin tercipta rasa nyeri. Tak ada siapapun yang mengetahui ia berada di tempat ini. Termasuk Mega, ataupun pak Tejo yang selalu menanyakan kabarnya. Saat ini, tak ada alat apapun untuk berkomunikasi. Hanya sebuah kartu sim yang tadi pagi ia lepaskan dari ponsel barunya. Ponsel baru? Iya. Beberapa bulan lalu, ia membeli dua benda pipih keluaran terbaru untuk dirinya sendiri dan istrinya kala itu. Cakra memalingkan wajah dari makanan dan minuman itu, ia memilih menyalak
Read more

Bab 53

 Ia masuk, menyusul Lidya yang telah duduk di bangku, di depan pasangan muda sedang menikmati makanannya. Betapa kagetnya ia, ketika melihat siapa yang sedang makan di depannya itu. "Kalian?" Pekiknya menatap kaget. Hingga membuat dia orang yang disapa itu mendongak, lantas saling mengernyit. Menatap Cakra dan teman wanitanya secara bergantian. "Jadi kamu, rupanya? Bagus sekali ulahmu. Baru tadi pagi bercerai dengan Mega, sekarang sudah jalan bersama perempuan lain. Laki-laki macam apa kamu, ini?" Lelaki yang sedang menikmati bebek goreng itu mendengus, menghentikan aktifitasnya dalam menyuapi mulut. "Mas, Bima. Tolong jangan salah paham dulu. Saya .... ""Apa? Semuanya sudah sangat jelas, kan?kami, melihat dengan mata kepala sendiri. Kamu jalan berdua dengan perempuan lain!" Bima menghardik, memotong ucapan Cakra sambil mengangkat telunjuknya ke arah Lidya, yang menunjukkan wajah ternganga. Cakra belum bisa men
Read more

Bab 54

 Ia menoleh, bu Lidya memanggilnya dengan memasang wajah serius. Sepertinya, gadis itu pun hendak bertanya hal serius. Membuat detak jantung Cakra mendadak berpacu. Muncul rasa takut terlebih dahulu, padahal belum tau sosok di depan itu akan berbicara apa. "Yang semalam itu siapa? Yang bilang bahwa bapak baru saja bercerai?" Sebuah ketakutan itu terjadi, sebelum Cakra berhasil menyimpulkan kegelisahannya. Bu Lidya benar-benar bertanya tentang kejadian semalam di warung tenda. Awalnya Cakra berfikir bahwa gadis itu telah melupakannya. "Jadi sebenarnya bapak selama ini sudah menikah? Kenapa tidak pernah mengatakannya?" Cecar perempuan muda itu, netra lentiknya menatap ke arah Cakra tanpa berkedip. Mata indah berpoles riasan sederhana itu, sesekali menyipit, memperhatikan Cakra yang masih acuh. Tak segera menanggapi pertanyaannya tadi, lelaki itu hanya sibuk menjejali mulutnya hingga kedua pipinya menggembung. 
Read more

Bab 55

 Siang itu, Cakra baru pulang dengan membawa motor matic yang ia beli beberapa waktu lalu. Suasana yang panas, membuatnya merasa kehausan hingga mampir sebentar di depan penjual es dawet tak jauh dari tempat kosnya. Hidup di kos itu sangat mudah, asalkan ada uang, makanan dan minuman segala rupa sudah terhidang di pinggir jalan. Bagi para pekerja yang sibuk dikejar waktu, mungkin akan lebih baik setiap hari membeli makanan. Namun, berbeda bagi para pelajar. Apalagi mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Harus pintar membagi uang, juga pintar memilih tempat paling murah untuk mengisi perut. Hanya sebentar saja Cakra menghabiskan es dawetnya. Setelah membayar, ia kembali menyalakan motornya. Tangan yang hendak memutar gas tertunda, karena melihat seorang anak remaja berjalan kaki sendirian. Di lihat dari seragam yang dikenakan anak itu, nampak bahwa ia baru pulang dari sekolah sama dengan tempat kerja Cakra. Nurani
Read more

Bab 56

 Aktifitas makan Cakra terhenti, ia melirik ke arah benda pipih yang tergeletak di dekat kotak nasi. Wajahnya mengernyit, ketika melihat nomor baru memenuhi layar, sedang melakukan panggilan WhatsApp. "Lidya, aku Terima telepon dulu, ya," Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar rumah. Setengah tak percaya dengan panggilan masuk itu. "Halo, Mega?" Ia menyapa pada seseorang di seberang telepon. Memang belum tertera namanya, tetapi ia hafal benar nomor itu. "Halo?" Sapanya lagi. Untuk ke sekian kalinya, belum juga terdengar suara dari sana. "Mega? Ini benar kamu, bukan?" Ia memekik lirih, tak sabar karena lawan bicara di seberang telepon tak mau merespon. "Iya, mas," Jawaban lirih di sana, membuat Cakra tercengang tak percaya. Siksaan rindu yang semakin lama kian memudar itu, kini mendadak muncul setelah mendengar suaranya. Suara indah, yang hingga kini masih membekas dalam ingatan."Maa
Read more

Bab 57

 Setelah puas memandangi keadaan luar, Cakra menutup pintu dan duduk di sofa tunggal depan TV. Sesekali netranya mengamati gawai di tangan, hendak mengirimkan pesan pada nomor Mega. Namun, hingga kini belum juga mengetik apapun. [Mega. Maafkan aku, jadi bersikap acuh. Aku, ingin bertemu denganmu. Boleh?] Lama ia mengamati pesan itu hingga benar-benar terkirim pada pemilik nomor yang dituju. Hanya saja, di bawah profil gambar perempuan dari arah belakang itu tidak tertulis tanda online. Hingga beberapa saat lamanya, tanda centang dua itu masih saja berwarna keabuan. Satu menit. Dua menit. Lima menit, dan tiga puluh menit berlalu. Tanpa ada tanda-tanda Mega membaca pesan itu. Gelisah, mulai menyergap benak Cakra yang masih memelototi layar enam inchi itu. Sesekali melirik ke arah TV, acara telah berganti dengan berita gosip para artis Ibukota. Jengah, ia mendengus pelan, karena pesan pada Mega tak kunjung dilihat. Kemana
Read more

Bab 58

 Hari telah petang, ketika ia masuk ke dalam rumah. Ia baru menyadari bahwa di warung tadi, tak sempat memakan apapun. Dan kini perut kosongnya mulai meraung. Akhirnya, hanya dengan sebungkus Mie instan Cakra mengisi perutnya untuk bekal tidur semalam. Ia terperangah, ketika menyadari ada beberapa panggilan WhatsApp dari Mega. Beberapa saat lalu. Juga sebuah pesan. [Buat apa mas ingin ketemu saya? Bukankah mas Cakra sudah punya teman wanita lagi?]Deg!Mata elang itu membulat, lalu mendesah berat dan mengalihkan pandangannya dari layar kecil itu. "Apa mungkin Bima bercerita pada keluarganya, tentang pertemuannya denganku waktu itu?" Gumamnya seorang diri. Tak ada siapapun yang menjawab, selain sayup-sayup suara kendaraan berlalu-lalang di jalanan depan sana. Matanya kembali menatap pada layar gawai yang telah berubah gelap, memegang erat benda itu, dengan rasa ragu yang entah apa sebabnya. Ak
Read more

Bab 59

 Pagi ini, ia tak ingin pergi kemanapun. Kebetulan sabtu pagi ini sedang agak mendung. Untuk keluar mencari sayur pun terasa enggan. Ia hanya merebus mie instan dan telur dadar untuk sarapannya. "Apa hari ini aku temui mega saja, ya?" Gumamnya sambil memasukkan sekeping Mie ke dalam panci mendidih. "Iya. Sebaiknya aku ke sana saja!" Tak lama, pendengarannya menangkap suara ketukan dari arah pintu. "Selamat pagi, Mas," Lidya trsenyum sumringah sambil menenteng rantang susun. "Lidya?" Cakra tak percaya, gadis itu akan selalu datang menjelang jam makan. Bahkan jika hari sedang libur seperti ini, Lidya rela datang tiga kali sehari ke tempat kos Cakra. Hanya untuk mengantarkan makanan. Berkali-kali, Cakra meminta pada gadis itu untuk tidak selalu seperti ini. Berkali-kali pula Lidya mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Membantu sesama menurutnya, lebih menyenangkan. "Mas Cakra belum makan, kan?" Tany
Read more

Bab 60

 "Tunggu apa lagi? Ayo bersiap!" Cakra berseru, membuyarkan lamunan Lidya. Juga tak terasa, makanannya telah habis. Berpindah ke dalam perut. "Iya, mas. Kalau begitu aku bersiap dulu. Kita harus segera berangkat sebelum turun hujan," Lidya menyahut penuh semangat. Ia lantas beranjak melewati pintu rumah Cakra. Pergi ke kosnya untuk bersiap. Begitupun Cakra. Ia segera membersihkan badannya di kamar mandi, dan memakai pakaian terbaru yang dibelinya beberapa hari lalu. Belum sempat ia memakainya. Tak lupa memasukkan dua stel pakaian ke dalam tas. Karena akan ikut menginap di rumah gadis itu, esok pagi keduanya akan kembali. Ia telah memikirkan semuanya. Sesuai dengan penjelasan pak Tejo, seorang yang dipercaya oleh keluarga besarnya sejak dulu, mendiang pak sanjaya memiliki toko besar di setiap kecamatan. Juga pabrik triplek yang menjadi lahan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Ia yakin, di tempat Lidya itup
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status