"Tunggu apa lagi? Ayo bersiap!" Cakra berseru, membuyarkan lamunan Lidya. Juga tak terasa, makanannya telah habis. Berpindah ke dalam perut.
"Iya, mas. Kalau begitu aku bersiap dulu. Kita harus segera berangkat sebelum turun hujan," Lidya menyahut penuh semangat. Ia lantas beranjak melewati pintu rumah Cakra.
Pergi ke kosnya untuk bersiap. Begitupun Cakra. Ia segera membersihkan badannya di kamar mandi, dan memakai pakaian terbaru yang dibelinya beberapa hari lalu. Belum sempat ia memakainya.
Tak lupa memasukkan dua stel pakaian ke dalam tas. Karena akan ikut menginap di rumah gadis itu, esok pagi keduanya akan kembali.
Ia telah memikirkan semuanya. Sesuai dengan penjelasan pak Tejo, seorang yang dipercaya oleh keluarga besarnya sejak dulu, mendiang pak sanjaya memiliki toko besar di setiap kecamatan. Juga pabrik triplek yang menjadi lahan pekerjaan untuk masyarakat sekitar.
Ia yakin, di tempat Lidya itup
Mereka bertiga akhirnya mengobrol kesana kemari, hingga hujan benar-benar reda. Hanya menyisakan air di atas tanah yang masih menggenang, juga air yang tertinggal di permukaan dedaunan. Menetes jatuh, seperti embun pagi."Hujannya sudah hilang. Ayo jalan lagi,"Cakra beranjak dari tempat duduk yang digunakan sejak satu jam yang lalu."Benar, sudah reda. Sebaiknya kita segera jalan lagi saja," Salah satu pengendara lain itu menyahut. Keduanya segera naik ke atas motor model lama. Namun, bagi pekerja kasar seperti mereka jadi sangat cocok.Sementara cakra dan Lidya juga berjalan perlahan, mendekati motor mereka yang basah kuyup tersiram air hujan.Perjalanan usai hujan deras tadi, membuat badan jalan jadi basah dan semakin licin. Medan yang berkelok-kelok dan tanjakan, membuat Cakra harus berkonsentrasi penuh dalam kendali stang motornya.Hal itu, tentu saja menimbulkan Lidya terkekeh melihatnya. Padah
Suasana itu terhenti ketika pak RT tiba-tiba datang, tanpa mengucapkan salam."Tamunya mau nginep di sini? Itu tamu apa calon mantu, sih?" Tuding pak RT tanpa basa-basi. Cakra langsung berdiri, mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya."Maaf, pak. Saya kemari, karena ada urusan dengan pihak pabrik," Jawabnya tegas. Membuat yang lain saling memandang tak mengerti. Begitupun Lidya, memang hingga kini belum memahami benar siapa sebenarnya seorang Cakra.Yang gadis itu tau, hanyalah seorang guru pegawai negeri. Mengajar di satu sekolah sama dengannya. Bertempat tinggal di kos yang juga tak jauh darinya. Hanya itu saja."Pabrik?" Tanya pak RT penuh selidik. Dari sorot mata tajamnya itu belum memperlihatkan rasa percaya."Benar, pak. Saya ingin berkunjung ke sana," Jawaban Cakra itu malah membuat pak RT mengerutkan kening, semakin tak percaya saja nampaknya."Pabrik triplek sanjaya, itu? Memangnya ada
Cakra kini benar-benar telah berada di rumah pak RT. Rumah petinggi lingkungan itu memang lebih besar dan megah dari yang lain. Ia diminta tidur di kamar anak sulung yang sedang kuliah di luar kota. Ia terlentang sambil melainkan gawai di tangan, bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Mega tadi.[Kenapa tidak dijawab?][Maaf, mega. Kayaknya minggu ini aku belum bisa. Sekarang aku di nawangan,]tak lama, centang ganda pun berubah warna. Mega telah membacanya, dan tulisan mengetik pun terlihat. Dalam hati, Cakra penasaran dengan jawaban yang akan segera muncul dari mantan istrinya itu. Mantan istri yang hingga kini masih kerap mengganggu tidurnya. Bahkan cintanya, masih melekat kuat di dasar hati.[Ngapain ke sana?]Ia merasa ada kecewa atau apalah, dari balik tulisan bernada pertanyaan itu. Hal itu, semakin menguatkan hatinya, bahwa mega pun hingga kini masih memiliki rasa yang sama. Hanya saja perempuan itu muda
"Langsung pulang sekarang, Mas?" Tanyanya ragu, sambil bergegas memutar kuda besi yang terparkir sendiri."Iya, mas. Kita langsung pulang saja. Sepertinya ini sudah siang, sebentar lagi saya harus kembali ke Pacitan,""Iya, mas. Mari kalau begitu,"Langkah Cakra yang akan menaiki motor itu terhenti karena seseorang yang tadi kembali mendekati. Ia terhenyak, rupanya pak moko belum pergi dari tempat itu."Bapak?""Apa benar? Kamu berteman dengan pak Soni?" Pak moko mencecar dengan tatapan tajam. Seakan masih belum percaya dengan penjelasan tadi. Mungkin saja, pria paruh baya itu penasaran, mengapa seorang Cakra yang selalu direndahkan itu bisa kenal dengan Soni."Benar, pak. Kami teman seperjuangan waktu kuliah dulu. Hanya saja kami berbeda jurusan," Jelas Cakra mengada-ada. Tetap berusaha untuk menutupi jati dirinya dari siapapun, termasuk pak moko dan keluarganya. Kecuali seorang saja, yaitu Mega.
Motor terus melaju, hingga beberapa menit kemudian berhenti di depan pintu pagar tertutup. Ia turun dari motor dan memencet bel. Tak lama, seorang perempuan yang ia taksir sebagai art itu membuka pintu dan memintanya masuk.Setelahnya, ia tertegun atas kedatangan seorang perempuan yang dirindukan. Apalagi ketika menatap mata sayu itu."Mega?" Lirihnya, matanya tak berkedip saat melihat sosok kian mendekat. Hingga akhirnya ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Cakra.Ia melihat, badan itu lebih kurus dibanding dengan waktu itu. Hanya satu yang hingga kini tidak berubah. Wajah cantiknya."Apa kabar?" Tanya Cakra ragu. Netranya pun ragu untuk berlama-lama menatap wajah itu. Ia memilih untuk mengalihkan pandangan."Baik," Mega menjawab singkat. Perempuan itu memilih untuk kembali menundukkan kepala.Hingga beberapa saat mereka berada dalam keheningan. Sampai kebisuannya terpecah ketika ada pe
"Lintang!" Mega memekik. Perempuan itu sampai bangkit dari tempat duduknya."Diam kamu. Sudah, masuk ke kamar sana!" Perintahnya pada sang adik."Mbak sudah kena guna-guna laki-laki itu, kan?""Hati-hati kalau bicara!""Ada apa, ini?" Suasana mendadak hening. Semua mata tertuju pada seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah, melihat tak percaya pada ketiga orang di ruang tamu."Ibuk?" Mega dan adiknya bersamaan memanggil tak percaya pada sosok membelalak. Masih tak percaya dengan yang ia lihat.Bagaimana tidak? Menantu yang dulu sangat mereka benci itu, kini mendadak datang lagi. Apalagi melihat kondisinya kali ini, bukannya semakin terpuruk, tetapi sebaliknya. Itulah yang membuat bu moko menatap tajam ke arah cakra, memperhatikan penampilan dari atas ke bawah. Sama sekali tak menunjukkan kehidupan susahnya.Namun, bu moko segera menepis semua prasangka itu. Ia menggele
"Pak cakra, ternyata sudah ada di sini?" Itu suara Lidya, gadis mengenakan batik itu tiba-tiba menyusul duduk di depan cakra."Iya, lid. Kebetulan kamu kesini, aku mau minta tolong,""Apa?" Lidya bertanya antusias, matanya berbinar."Minta tolong buat nyarikan tas branded sama ponsel terbaru. Buat ibu dan adik perempuan Mega,"Lidya mengerjap, tak lantas menanggapi perkataan cakra barusan. Jauh di dasar hatinya, ada rasa kecewa. Entah perasaan apa? Ia bahkan tak memahami, perasaan aneh yang kerap mengganggu pikiran saat bersama dengan lelaki itu."Barang mahal?" Tanya Lidya sedikit bergumam. Gadis itu pasti paham, apa maksud cakra membelikan barang mahal itu pada mantan ibu mertua dan adik iparnya."Iya. Mereka memberikan syarat itu, kalo aku mau kembali sama mantan istriku," Jawab cakra.Jawaban itu, tentu saja membuat Lidya menggeleng tak percaya. Dalam hati ia merasa kas
"Cakra?" Seru pak moko dan istrinya, ketika melihat siapa yang datang. Apalagi diiringi dengan bisik-bisik para tamu."Itu bukannya mantan suami Mega yang miskin itu, ya? Ngapain dia datang lagi?" Begitulah suara yang terdengar dari beberapa orang."Maaf, pak. Buk. Saya kemari untuk mengantarkan ini," Ucapnya sambil menyerahkan bungkusan pada bu moko.Ia tersenyum miring, tak sabar melihat raut wajah suami istri itu ketika melihat apa isinya."Tas?" Suara bu moko bergumam lirih. Namun, cakra bisa mendengarnya dengan jelas. Terlihat wanita berdandan menor itu menatap suaminya dengan mata membulat.Diangkatnya tas itu dari dalam bungkus, lalu dipegang tinggi. Diamatinya dengan teliti, mungkin memastikan, barang itu asli atau palsu.Hingga tanpa sadar, beberapa orang kerabatnya mendekat. Juga dengan wajah tercengang."Kamu beli tas mahal itu?" Salah satu bertanya, membuat bu moko te
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga