"Pak cakra, ternyata sudah ada di sini?" Itu suara Lidya, gadis mengenakan batik itu tiba-tiba menyusul duduk di depan cakra.
"Iya, lid. Kebetulan kamu kesini, aku mau minta tolong,"
"Apa?" Lidya bertanya antusias, matanya berbinar.
"Minta tolong buat nyarikan tas branded sama ponsel terbaru. Buat ibu dan adik perempuan Mega,"
Lidya mengerjap, tak lantas menanggapi perkataan cakra barusan. Jauh di dasar hatinya, ada rasa kecewa. Entah perasaan apa? Ia bahkan tak memahami, perasaan aneh yang kerap mengganggu pikiran saat bersama dengan lelaki itu.
"Barang mahal?" Tanya Lidya sedikit bergumam. Gadis itu pasti paham, apa maksud cakra membelikan barang mahal itu pada mantan ibu mertua dan adik iparnya.
"Iya. Mereka memberikan syarat itu, kalo aku mau kembali sama mantan istriku," Jawab cakra.
Jawaban itu, tentu saja membuat Lidya menggeleng tak percaya. Dalam hati ia merasa kas
"Cakra?" Seru pak moko dan istrinya, ketika melihat siapa yang datang. Apalagi diiringi dengan bisik-bisik para tamu."Itu bukannya mantan suami Mega yang miskin itu, ya? Ngapain dia datang lagi?" Begitulah suara yang terdengar dari beberapa orang."Maaf, pak. Buk. Saya kemari untuk mengantarkan ini," Ucapnya sambil menyerahkan bungkusan pada bu moko.Ia tersenyum miring, tak sabar melihat raut wajah suami istri itu ketika melihat apa isinya."Tas?" Suara bu moko bergumam lirih. Namun, cakra bisa mendengarnya dengan jelas. Terlihat wanita berdandan menor itu menatap suaminya dengan mata membulat.Diangkatnya tas itu dari dalam bungkus, lalu dipegang tinggi. Diamatinya dengan teliti, mungkin memastikan, barang itu asli atau palsu.Hingga tanpa sadar, beberapa orang kerabatnya mendekat. Juga dengan wajah tercengang."Kamu beli tas mahal itu?" Salah satu bertanya, membuat bu moko te
Tak menunggu lama, ia telah tiba di rumah makan miliknya. Dengan beberapa menu makanan dan minuman terhidang di atas meja. Melahap makanan, hingga tangannya berhenti karena gawai berdering. Nama Lidya nampak memenuhi layar cerahnya."Iya, Lidya?""Mas cakra di mana?""Aku makan di luar. Ada apa?""Buruan pulang, ya. Bapak di kos. Mau ketemu sama mas cakra, katanya," Suara dari ujung telepon itu sukses membuatnya membelalak."Bapak?" Tanyanya lagi. Masih belum percaya dengan yang didengar dari Lidya di sana."Iya, mas. Bapak. Mau ketemu sama mas, katanya," Suara Lidya lagi, kali ini lebih diperjelas dari sebelumnya."Eh. Iya, bentar dulu, ya. Aku, masih makan ini," Ia menjawab dengan suara kikuk.Dalam hati heran sendiri, untuk apa pak Damar itu datang ke kota? Apakah hanya untuk bertemu dengannya?"Ada apa, ya? Jangan-jangan .... " Ia menggeleng cepat, menepis pikir
Suara pak Damar seperti petir dan kilat, menyambar di tengah hari yang panas. Suaranya memekakkan telinga, juga membuat hati terasa kecil sekali. Anehnya, berhadapan dengan pria miskin itu, cakra tak mampu berkutik. Ia hanya bisa tersenyum getir. Senyum pahit yang sangat dipaksakan."Bapak titip ini, nak cakra." Tiba-tiba pria itu menaruh sesuatu dalam genggaman tangan cakra. Terasa keras benda padat, dengan permukaan halus.Liontin, ia membelalak ketika melihatnya, "apa ini, pak?" Tanyanya tak mengerti."Ini titipan dari ibuk, nak. Benda milik ibu satu-satunya, ia ingin memberikan ini pada laki-laki yang cocok melindungi Putri kesayangannya,"Deg!Cakra kaget? Tentu saja. Meski telah memiliki firasat tersebut, tetapi ia tak percaya jika kenyataannya akan seperti ini. Ia harus menerima sebuah benda berharga dari orangtua Lidya.Sementara di sisi lain, ia telah menerima syarat yang diajukan oleh pak moko.
Hari masih pagi. Masih berada di ujung jarum jam yang mengarah pada anhka enam. Ia sengaja duduk dulu di depan TV, sambil menyalakannya dan melihat asal."Mas!"Wajahnya menoleh, seperti suara Lidya berada di depan pintu rumahnya. Memang benar, gadis itu masuk tanpa diminta. Menaruh rantang susun di atas meja, tanpa duduk terlebih dahulu."Mas. Bapak ingin kejelasan segera," Ungkap Lidya tanpa basa-basi.Namun, cakra masih bergeming di tempatnya. Ia memasang wajah datar, enggan untuk menjawab. Hingga beberapa menit, hingga gadis itu jengah dan berhembus kesal."Mas!"Kali ini, baru cakra mau mengarahkan wajahnya pada Lidya yang nampak menahan marah."Kok malah diam, sih?""Memang aku harus apa?" Cakra menyerobot dengan suara cepat. Tatapan elangnya tajam berkilat-kilat. Kali ini Lidya yang bungkam, mungkin ada rasa takut dalam hatinya."Kenapa tiba-tiba bapakm
Saat tiba di ruang tamu berdesain mewah, ia seorang diri. Tak ada siapapun disana, karena hanya seorang asisten rumah tangga yang menyuruhnya masuk. Entah dimana pemilik rumah besar itu.Cakra masih mondar-mandir di depan kursi, enggan untuk segera duduk tenang di sana."Selamat malam, mas cakra,"Ia menoleh, ada seseorang datang dari balik pintu keluar. Seorang pria Berwajah rupawan, di tunjang dengan penampilan yang bagus dan mewah."Kamu?" Cakra bergumam. Ia teringat sesuatu."Benar sekali. Kita kemarin sudah ketemu di toko itu, kan?" Pria yang sepertinya masih lajang itu menjawab. Gayanya tak ada beda dengan waktu itu, ketika cakra melihatnya di toko Aksesoris.Pria berpenampilan mewah itu tersenyum miring, ketika cakra memperhatikannya dari atas ke bawah. Ada rasa canggung dan segan sebenarnya, melihat wajah rupawan dengan penampilan menarik itu menjadi saingannya.Namun, ia
"Kok besarnya bisa sama, ya?" Bu moko bergumam. Tangannya dengan cepat membuka kotakan itu satu persatu.Lalu mengeluarkan isinya, seperangkat perhiasan mewah nan mahal keluar berkilauan dari kotakan milik Prahara. Bu moko tersenyum bangga. Lalu mengeluarkan isi dari kotakan yang satunya lagi.Katanya membulat, karena yang keluar dari situ juga seperangkat perhiasan mewah dan mahal. Keduanya berukuran sama, hanya berbeda jenis dan merk saja.Pak moko mengarahkan wajah pada cakra, "dari mana kamu dapatkan ini?" Tanyanya penuh selidik. Seperti waktu itu, ketika cakra memberikan tas mahal untuk bu moko. Nyaris tak ada yang percaya, bila itu seorang guru miskin yang memberikannya."Saya membelinya, pak," Ia menjawab santai. Semakin membuat yang bertanya itu mendelik tak percaya. Benarkah, ia membelinya dengan uang sendiri? Padahal jika barang itu asli, pasti puluhan juta harganya."Mana mungkin kamu bisa beli
"Mas cakra. Sepertinya anda sedang banyak pikiran?" Pak tejo datang menyapa, membangunkan lamunan cakra yang telah terbentuk sejak tadi. Ia menegakkan badannya, menatap lekat ke arah sosok yang datang. Lalu mengangguk mantap, seperti baru saja mendapatkan sebuah ide."Pak. Carikan saya hadiah apapun dengan harga termahal," Ucapnya kemudian. Membuat pak tejo tercengang tak percaya."Untuk siapa, Mas?""Pak moko. Aku harus bisa mendapatkan mega kembali kepadaku," Ucapnya dengan sorot mata menatap lurus ke depan, tangan pun mengepal di atas meja."Oh. Baiklah. Tapi, kalau saya boleh tau, mengapa harus ada hadiah?" Tanya pak tejo lagi."Seperti seorang bapak pada umumnya, ingin mencarikan suami mapan untuk anak perempuannya. Saya harus bersaing dengan prahara, pengusaha muda yang kaya raya katanya. Jika membawa hadiah paling mahal, maka pak moko akan menerimanya,""Hahaha,""Pak tejo kok malah t
"Sekarang buktikan. Bayar semuanya!" Prahara memerintah. Cakra yang baru saja menandaskan air mineral sebotol kecil, mengacungkan jempolnya. Lantas melambai ke arah salah satu pelayan."Hitung semuanya!" Titahnya."Tapi, pak. Apa bapak juga harus membayarnya?" Pelayan itu bertanya ragu dengan membungkukkan badan. Membuat Prahara mengernyit tak mengerti."Tentu saja. Akupun harus membayarnya. Ini." Ia mengeluarkan Kartu dari dalam dompet dan memberikan pada pelayan."Tanyakan sandinya pada pak tejo,""Baik, pak." Pelayan itu sebelum pergi membungkukkan badannya ke arah cakra. Membuat Prahara semakin tak mengerti. Ada sedikit dugaan dalam hati, mengenai siapa sebenarnya sosok tenang di depannya itu.Namun, ia segera menipisnya jauh-jauh. Tak ingin melihat kenyataan, bahwa Cakra begitu dihormati di rumah makan mewah itu. Sadar diperhatikan sejak tadi, ia menoleh dengan mata memicing.
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga