Sebelum menjawab, Cakra melepaskan nafas berat. Sangat berat dari biasanya.
"Bapak tetap pada pendiriannya," Ia menjawab lesu. Seketika membuat netra Mega membulat penuh.
"Meminta kita tetap berpisah?" Tebaknya. Cakra lagi-lagi lesu dalam mengangguk. Setelahnya, tak terdengar lagi Mega bersuara. Suaranya telah berganti menjadi isakan tertahan, hingga dadanya bergerak tak beraturan.
"Istriku. Boleh aku minta sesuatu untuk terakhir kalinya?"
"Apa itu?"
"Tubuh ini. Untuk yang terakhir," Cakra menjawab dengan membingkai wajah sang istri. Hingga tanpa terasa, ada butiran hangat meluncur bebas di pipinya.
Sementara Mega, sekilas menatap nanar wajah suaminya. Ia lantas melengos dengan diiringi air mata mengalir pula.
"Mega," Lirih Cakra, menghadapkan kepadanya wajah basah itu. Membersihkan air matanya, meski terus-menerus mengalir semakin deras.
"Aku benci kata-kata t
Siang menjelang sore, selepas pulang dari sekolah. Cakra berada di kos-kosan sempit, tak jauh dari sekolah. Tempat itu ia pilih agar memudahkannya berjalan hingga ke sana. Sudah hampir lima belas menit, ia menatap hampa pada sebungkus nasi yang ia beli di pinggir jalan tadi. Juga sebotol air mineral. Belum tersentuh.Kehilangan. Sesakit inikah rasanya? Padahal semalam ia masih merasakan hangat tubuh sang istri, kini semua itu tinggal kenangan yang semakin diingat, semakin tercipta rasa nyeri.Tak ada siapapun yang mengetahui ia berada di tempat ini. Termasuk Mega, ataupun pak Tejo yang selalu menanyakan kabarnya. Saat ini, tak ada alat apapun untuk berkomunikasi. Hanya sebuah kartu sim yang tadi pagi ia lepaskan dari ponsel barunya.Ponsel baru? Iya. Beberapa bulan lalu, ia membeli dua benda pipih keluaran terbaru untuk dirinya sendiri dan istrinya kala itu. Cakra memalingkan wajah dari makanan dan minuman itu, ia memilih menyalak
Ia masuk, menyusul Lidya yang telah duduk di bangku, di depan pasangan muda sedang menikmati makanannya. Betapa kagetnya ia, ketika melihat siapa yang sedang makan di depannya itu."Kalian?" Pekiknya menatap kaget. Hingga membuat dia orang yang disapa itu mendongak, lantas saling mengernyit. Menatap Cakra dan teman wanitanya secara bergantian."Jadi kamu, rupanya? Bagus sekali ulahmu. Baru tadi pagi bercerai dengan Mega, sekarang sudah jalan bersama perempuan lain. Laki-laki macam apa kamu, ini?" Lelaki yang sedang menikmati bebek goreng itu mendengus, menghentikan aktifitasnya dalam menyuapi mulut."Mas, Bima. Tolong jangan salah paham dulu. Saya .... ""Apa? Semuanya sudah sangat jelas, kan?kami, melihat dengan mata kepala sendiri. Kamu jalan berdua dengan perempuan lain!" Bima menghardik, memotong ucapan Cakra sambil mengangkat telunjuknya ke arah Lidya, yang menunjukkan wajah ternganga.Cakra belum bisa men
Ia menoleh, bu Lidya memanggilnya dengan memasang wajah serius. Sepertinya, gadis itu pun hendak bertanya hal serius. Membuat detak jantung Cakra mendadak berpacu. Muncul rasa takut terlebih dahulu, padahal belum tau sosok di depan itu akan berbicara apa."Yang semalam itu siapa? Yang bilang bahwa bapak baru saja bercerai?"Sebuah ketakutan itu terjadi, sebelum Cakra berhasil menyimpulkan kegelisahannya. Bu Lidya benar-benar bertanya tentang kejadian semalam di warung tenda. Awalnya Cakra berfikir bahwa gadis itu telah melupakannya."Jadi sebenarnya bapak selama ini sudah menikah? Kenapa tidak pernah mengatakannya?" Cecar perempuan muda itu, netra lentiknya menatap ke arah Cakra tanpa berkedip.Mata indah berpoles riasan sederhana itu, sesekali menyipit, memperhatikan Cakra yang masih acuh. Tak segera menanggapi pertanyaannya tadi, lelaki itu hanya sibuk menjejali mulutnya hingga kedua pipinya menggembung.
Siang itu, Cakra baru pulang dengan membawa motor matic yang ia beli beberapa waktu lalu. Suasana yang panas, membuatnya merasa kehausan hingga mampir sebentar di depan penjual es dawet tak jauh dari tempat kosnya.Hidup di kos itu sangat mudah, asalkan ada uang, makanan dan minuman segala rupa sudah terhidang di pinggir jalan. Bagi para pekerja yang sibuk dikejar waktu, mungkin akan lebih baik setiap hari membeli makanan. Namun, berbeda bagi para pelajar.Apalagi mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Harus pintar membagi uang, juga pintar memilih tempat paling murah untuk mengisi perut.Hanya sebentar saja Cakra menghabiskan es dawetnya. Setelah membayar, ia kembali menyalakan motornya. Tangan yang hendak memutar gas tertunda, karena melihat seorang anak remaja berjalan kaki sendirian. Di lihat dari seragam yang dikenakan anak itu, nampak bahwa ia baru pulang dari sekolah sama dengan tempat kerja Cakra.Nurani
Aktifitas makan Cakra terhenti, ia melirik ke arah benda pipih yang tergeletak di dekat kotak nasi. Wajahnya mengernyit, ketika melihat nomor baru memenuhi layar, sedang melakukan panggilan WhatsApp."Lidya, aku Terima telepon dulu, ya," Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar rumah. Setengah tak percaya dengan panggilan masuk itu."Halo, Mega?" Ia menyapa pada seseorang di seberang telepon. Memang belum tertera namanya, tetapi ia hafal benar nomor itu."Halo?" Sapanya lagi. Untuk ke sekian kalinya, belum juga terdengar suara dari sana."Mega? Ini benar kamu, bukan?" Ia memekik lirih, tak sabar karena lawan bicara di seberang telepon tak mau merespon."Iya, mas," Jawaban lirih di sana, membuat Cakra tercengang tak percaya.Siksaan rindu yang semakin lama kian memudar itu, kini mendadak muncul setelah mendengar suaranya. Suara indah, yang hingga kini masih membekas dalam ingatan."Maa
Setelah puas memandangi keadaan luar, Cakra menutup pintu dan duduk di sofa tunggal depan TV. Sesekali netranya mengamati gawai di tangan, hendak mengirimkan pesan pada nomor Mega. Namun, hingga kini belum juga mengetik apapun.[Mega. Maafkan aku, jadi bersikap acuh. Aku, ingin bertemu denganmu. Boleh?]Lama ia mengamati pesan itu hingga benar-benar terkirim pada pemilik nomor yang dituju. Hanya saja, di bawah profil gambar perempuan dari arah belakang itu tidak tertulis tanda online. Hingga beberapa saat lamanya, tanda centang dua itu masih saja berwarna keabuan.Satu menit. Dua menit. Lima menit, dan tiga puluh menit berlalu. Tanpa ada tanda-tanda Mega membaca pesan itu. Gelisah, mulai menyergap benak Cakra yang masih memelototi layar enam inchi itu. Sesekali melirik ke arah TV, acara telah berganti dengan berita gosip para artis Ibukota.Jengah, ia mendengus pelan, karena pesan pada Mega tak kunjung dilihat. Kemana
Hari telah petang, ketika ia masuk ke dalam rumah. Ia baru menyadari bahwa di warung tadi, tak sempat memakan apapun. Dan kini perut kosongnya mulai meraung.Akhirnya, hanya dengan sebungkus Mie instan Cakra mengisi perutnya untuk bekal tidur semalam. Ia terperangah, ketika menyadari ada beberapa panggilan WhatsApp dari Mega. Beberapa saat lalu. Juga sebuah pesan.[Buat apa mas ingin ketemu saya? Bukankah mas Cakra sudah punya teman wanita lagi?]Deg!Mata elang itu membulat, lalu mendesah berat dan mengalihkan pandangannya dari layar kecil itu."Apa mungkin Bima bercerita pada keluarganya, tentang pertemuannya denganku waktu itu?" Gumamnya seorang diri. Tak ada siapapun yang menjawab, selain sayup-sayup suara kendaraan berlalu-lalang di jalanan depan sana.Matanya kembali menatap pada layar gawai yang telah berubah gelap, memegang erat benda itu, dengan rasa ragu yang entah apa sebabnya.Ak
Pagi ini, ia tak ingin pergi kemanapun. Kebetulan sabtu pagi ini sedang agak mendung. Untuk keluar mencari sayur pun terasa enggan. Ia hanya merebus mie instan dan telur dadar untuk sarapannya."Apa hari ini aku temui mega saja, ya?" Gumamnya sambil memasukkan sekeping Mie ke dalam panci mendidih."Iya. Sebaiknya aku ke sana saja!" Tak lama, pendengarannya menangkap suara ketukan dari arah pintu."Selamat pagi, Mas," Lidya trsenyum sumringah sambil menenteng rantang susun."Lidya?" Cakra tak percaya, gadis itu akan selalu datang menjelang jam makan. Bahkan jika hari sedang libur seperti ini, Lidya rela datang tiga kali sehari ke tempat kos Cakra. Hanya untuk mengantarkan makanan.Berkali-kali, Cakra meminta pada gadis itu untuk tidak selalu seperti ini. Berkali-kali pula Lidya mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Membantu sesama menurutnya, lebih menyenangkan."Mas Cakra belum makan, kan?" Tany
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga