Home / Romansa / Menantu Tak Diharapkan / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Menantu Tak Diharapkan: Chapter 71 - Chapter 80

86 Chapters

Bab 71

 Hari masih pagi. Masih berada di ujung jarum jam yang mengarah pada anhka enam. Ia sengaja duduk dulu di depan TV, sambil menyalakannya dan melihat asal. "Mas!" Wajahnya menoleh, seperti suara Lidya berada di depan pintu rumahnya. Memang benar, gadis itu masuk tanpa diminta. Menaruh rantang susun di atas meja, tanpa duduk terlebih dahulu. "Mas. Bapak ingin kejelasan segera," Ungkap Lidya tanpa basa-basi. Namun, cakra masih bergeming di tempatnya. Ia memasang wajah datar, enggan untuk menjawab. Hingga beberapa menit, hingga gadis itu jengah dan berhembus kesal. "Mas!"Kali ini, baru cakra mau mengarahkan wajahnya pada Lidya yang nampak menahan marah. "Kok malah diam, sih?" "Memang aku harus apa?" Cakra menyerobot dengan suara cepat. Tatapan elangnya tajam berkilat-kilat. Kali ini Lidya yang bungkam, mungkin ada rasa takut dalam hatinya. "Kenapa tiba-tiba bapakm
Read more

Bab, 72

 Saat tiba di ruang tamu berdesain mewah, ia seorang diri. Tak ada siapapun disana, karena  hanya seorang asisten rumah tangga yang menyuruhnya masuk. Entah dimana pemilik rumah besar itu. Cakra masih mondar-mandir di depan kursi, enggan untuk segera duduk tenang di sana. "Selamat malam, mas cakra,"Ia menoleh, ada seseorang datang dari balik pintu keluar. Seorang pria Berwajah rupawan, di tunjang dengan penampilan yang bagus dan mewah. "Kamu?" Cakra bergumam. Ia teringat sesuatu. "Benar sekali. Kita kemarin sudah ketemu di toko itu, kan?" Pria yang sepertinya masih lajang itu menjawab. Gayanya tak ada beda dengan waktu itu, ketika cakra melihatnya di toko Aksesoris. Pria berpenampilan mewah itu tersenyum miring, ketika cakra memperhatikannya dari atas ke bawah. Ada rasa canggung dan segan sebenarnya, melihat wajah rupawan dengan penampilan menarik itu menjadi saingannya. Namun, ia
Read more

Bab 73

 "Kok besarnya bisa sama, ya?" Bu moko bergumam. Tangannya dengan cepat membuka kotakan itu satu persatu. Lalu mengeluarkan isinya, seperangkat perhiasan mewah nan mahal keluar berkilauan dari kotakan milik Prahara. Bu moko tersenyum bangga. Lalu mengeluarkan isi dari kotakan yang satunya lagi. Katanya membulat, karena yang keluar dari situ juga seperangkat perhiasan mewah dan mahal. Keduanya berukuran sama, hanya berbeda jenis dan merk saja. Pak moko mengarahkan wajah pada cakra, "dari mana kamu dapatkan ini?" Tanyanya penuh selidik. Seperti waktu itu, ketika cakra memberikan tas mahal untuk bu moko. Nyaris tak ada yang percaya, bila itu seorang guru miskin yang memberikannya. "Saya membelinya, pak," Ia menjawab santai. Semakin membuat yang bertanya itu mendelik tak percaya. Benarkah, ia membelinya dengan uang sendiri? Padahal jika barang itu asli, pasti puluhan juta harganya. "Mana mungkin kamu bisa beli
Read more

Bab 74

 "Mas cakra. Sepertinya anda sedang banyak pikiran?" Pak tejo datang menyapa, membangunkan lamunan cakra yang telah terbentuk sejak tadi. Ia menegakkan badannya, menatap lekat ke arah sosok yang datang. Lalu mengangguk mantap, seperti baru saja mendapatkan sebuah ide. "Pak. Carikan saya hadiah apapun dengan harga termahal," Ucapnya kemudian. Membuat pak tejo tercengang tak percaya. "Untuk siapa, Mas?""Pak moko. Aku harus bisa mendapatkan mega kembali kepadaku," Ucapnya dengan sorot mata menatap lurus ke depan, tangan pun mengepal di atas meja. "Oh. Baiklah. Tapi, kalau saya boleh tau, mengapa harus ada hadiah?" Tanya pak tejo lagi. "Seperti seorang bapak pada umumnya, ingin mencarikan suami mapan untuk anak perempuannya. Saya harus bersaing dengan prahara, pengusaha muda yang kaya raya katanya. Jika membawa hadiah paling mahal, maka pak moko akan menerimanya,""Hahaha," "Pak tejo kok malah t
Read more

Bab 75

 "Sekarang buktikan. Bayar semuanya!" Prahara memerintah. Cakra yang baru saja menandaskan air mineral sebotol kecil, mengacungkan jempolnya. Lantas melambai ke arah salah satu pelayan. "Hitung semuanya!" Titahnya. "Tapi, pak. Apa bapak juga harus membayarnya?" Pelayan itu bertanya ragu dengan membungkukkan badan. Membuat Prahara mengernyit tak mengerti. "Tentu saja. Akupun harus membayarnya. Ini."  Ia mengeluarkan Kartu dari dalam dompet dan memberikan pada pelayan. "Tanyakan sandinya pada pak tejo,""Baik, pak." Pelayan itu sebelum pergi membungkukkan badannya ke arah cakra. Membuat Prahara semakin tak mengerti. Ada sedikit dugaan dalam hati, mengenai siapa sebenarnya sosok tenang di depannya itu. Namun, ia segera menipisnya jauh-jauh. Tak ingin melihat kenyataan, bahwa Cakra begitu dihormati di rumah makan mewah itu. Sadar diperhatikan sejak tadi, ia menoleh dengan mata memicing. 
Read more

Bab 76

"Lidya?" Ia bergumam, melihat kedatangan gadis yang sudah beberapa hari ini tak pernah bertemu seperti biasanya. Sejak ia minta maaf waktu itu, entah bersembunyi di mana dia. "Boleh, aku masuk?" Tanya Lidya tak seperti biasanya, cakra hanya mengangguk. Mempersilahkan tamunya masuk. "Ada apa?" Ia bertanya ketika keduanya telah duduk. "Liontin dari bapak kemarin, masih di sini, kan?" Tanya Lidya tanpa melihat ke arah cakra yang duduk di sebelahnya. "Oh, iya. Aku lupa, kemarin bapakmu langsung pergi begitu saja. Jadi aku lupa," Cakra menyahut dengan tersadar dari kelalaiannya. "Aku simpan di kamar, takutnya hilang. Aku ambil bentar, ya," Lidya mengangguk samar untuk menanggapi kalimat cakra barusan. Cakra segera berlalu, karena merasa tak nyaman dengan pakaiannya. Ia terlebih dahulu membersihkan badan di kamar mandi, sebelum kembali menemui lidya di ruang tamu sempit. Tak lupa, ia membawa barang berharga yang diberikan pak Damar beberapa hari lalu. "Maaf agak lama," Ucapnya ketik
Read more

Bab 77

Sepulang dari sekolah, terlebih dahulu cakra mampir di rumah makan. Untuk makan siang, juga memastikan undangan yang harus didatangi nanti malam. Suasana jam dua siang di rumah makan itu masih cukup ramai, oleh pengunjung. Anak-anak dan mahasiswa yang baru saja pulang dari tempatnya belajar, banyak sekali dari mereka yang sering makan siang di tempat itu. Apalagi masyarakat luas, lebih banyak lagi. Ia memilih untuk memarkir motor di tempat paling pojok, agar mudah mengeluarkannya ketika hendak pulang nanti. Di tempat parkir itu, deretan motor cukup banyak. Juga ada beberapa mobil berkelas terdiam di sana, pertanda siang ini pun pengunjung sedang banyak. Siang ini, tempat favoritnya yang berada di pojokan itu sedang terisi dua orang. Karena memang kursi yang berjumlah dua buah, dengan meja kecil berbentuk lingkaran. Ia langsung masuk ke ruangan pak Tejo, yang masih belum ada di tempat. Entah kemana. "Maaf, pak. Pak Tejo sedang keluar sebentar tadi," Ucap seorang pelayan memberitahu
Read more

Bab 78

Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga
Read more

Bab 79

[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Read more

Bab 80

Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status