Home / Romansa / Menantu Tak Diharapkan / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Menantu Tak Diharapkan: Chapter 21 - Chapter 30

86 Chapters

Bab 21

 Siang ini, Cakra pulang dari sekolah dengan keadaan hati gundah gulana. Setelah hampir setahun lamanya, sejak peringatan oleh pak Hendra waktu itu, kali ini ia benar-benar diberhentikan oleh pihak sekolah. Memang selama itu, ia tak bisa berubah lebih baik. Hampir tiap mingu Bu Moko menuntut Cakra dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Hingga ia terpaksa harus lagi-lagi membolos dari tanggung jawabnya di sekolah, sebagai seorang guru. Meskipun beberapa kali ia katakan, tetapi mertuanya yang menghiraukan sama sekali. Tak terasa, perjalanan menuju rumah telah tiba. Pada siang menjelang sore ini, setelah memarkir kendaraan bututnya di garasi, ia duduk lunglai di depan pintu. Ragu, untuk segera masuk rumah. Bagaimana menjelaskan semuanya pada Mega? Itulah yang ia risaukan saat ini. "Mas?" Ia menoleh, tiba-tiba orang yang ada dalam pikiran berada di ambang pintu. "Mega?" Suaranya gugup, ekor matanya mengikuti langkah sang is
Read more

Bab 22

 Kalimat tajam yang diucapkan oleh Bima itu rasanya tetap membekas dalam ingatan Cakra, hingga ia berada di kamar bersama istrinya saat ini. Wajahnya kini mengarah pada jendela kaca dengan pandangan hampa, hingga lamunannya terpecah karena ada notifikasi pesan dari gawai di tangan. [Pak Cakra. Ada rekrutmen CPNS lagi tahun ini, ikut lagi ya, pak?] pesan dari Bu Nur, beserta file PDF terkirim di bawahnya. Cakra menghembuskan nafas kasar, hingga Mega yang berada di pinggir ranjang menatap penuh tanya ke arahnya. Sebenarnya, ini yang ia tunggu. Ada kesempatan lagi untuk ikut berkompetisi, tetapi entah mengapa kali ini semangatnya kurang membaik. Tak seperti tahun lalu. [Saya pikirkan dulu, Bu,] hanya itu balasan yang ia kirimkan untuk Bu Nur, melalui aplikasi hijau dari gawainya. Semenjak bukan lagi menjadi bagian dari keluarga besar SMP itu, hanya Bu Nur lah satu-satunya rekan guru yang masih bersikap baik seperti sebelumnya. 
Read more

Bab 23

 Seperti rencana sebelumnya, hari ini Cakra hendak pergi ke rumah Bu Nur bersama Mega. Guru wanita itu rumahnya di sekitaran alun-alun. Karena hari minggu, mereka bisa berangkat lebih pagi. Tentunya, setelah Cakra usai dari pekerjaan di rumah. Akhir-akhir ini, pekerjaan jadi lebih ringan karena Mega mulai mau membantu. Tak seperti dulu, yang hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Jika  ditanya, jawabannya aneh-aneh, bahkan hingga kini pun Cakra masih belum tau, apa alasan sesungguhnya. Ia memarkir motor bututnya di depan rumah kecil bergaya minimalis. Terlihat rapi dari depan, pagar kecilnya tak mewah, tetapi indah. Rumah itu nampak sepi karena pintunya tertutup rapat. Ketukan pintu yang beberapa kali ia lakukan pun tak ada Jawaban. "Kosong, Mas?" Sapa Mega yang mendahului duduk di kursi kayu berukir unik, Cakra hanya mengangkat kedua bahunya. Ia menyusul sang istri duduk lalu membuka gawai, bermaksud untuk menelepon bu Nur.&nb
Read more

Bab 24

 Jam lima pagi, ia sudah bersiap untuk segera berangkat ke Madiun. Pelaksanaan seleksi tahun ini di adakan di kota itu. Dengan bermodal motor butut dan uang dua ratus ribu rupiah, hari ini Cakra akan kembali bersaing dengan ribuan pendaftar. Ia lipat kemeja putih yang tak baru lagi, warnanya pun telah kekuningan. Dimasukkan kemeja itu dalam tas ranselnya, besarta peralatan dan persyaratan mengikuti tes nanti siang. Mega datang dari balik pintu, mungkin dari luar kamar. Karena tangannya membawa kotak bekal untuk suaminya. Sengaja Cakra yang meminta untuk dibuatkan bekal makan siang. Uang pas-pasan, membuatnya tak berani makan siang di rumah makan saat di sana nanti. "Sudah siap, Mas?" Mega menyerahkan kotak bekalnya, sambil meneliti perlengkapan yang akan di bawa suaminya itu. "Sudah, kok. Doakan suamimu ini, ya. Biar bisa lolos, dan hidup kita akan lebih mudah dari ini," Menyahut Cakra dengan memasukkan kotaknya ke dal
Read more

Bab 25

 Ketika duduk di sebuah ruangan, yang ia yakini sebagai ruang pimpinan rumah makan besar ini, Pak Tejo datang dengan membawa beberapa dokumen tebal. "Apa ini, Pak?" Tanya Cakra, ketika Pak Tejo menyodorkan sebuah map seperti sertifikat, bertuliskan Cakra Adi Sanjaya. Ia mengernyit, karena itu adalah namanya. "Ini semua adalah dokumen pribadi milik Mas Cakra.""Maksudnya?" Mata elang itu melebar, menatap penuh tanya. Ke arah Pak Tejo, dan dokumen yang tergeletak di atas meja itu secara bergantian. Namun, bukannya segera menjawab. Pak Tejo malah senyam-senyum saja tetap santai. "Begini, Mas Cakra. Saya adalah kepercayaan almarhum tuan Sanjaya, Mas tau, kan? Siapa tuan Sanjaya itu?" Cakra berfikir sejenak. Nama itu adalah nama Ayahnya, Ayah yang telah meninggalkannya sejak masih bayi. Ia hanya pernah melihat mendiang Ayahnya dari sebuah foto. Ia pun juga tahu, bahwa Ayahnya adalah seorang pembisnis handal yang dise
Read more

Bab 26

 Tiba di dalam kamarnya, ia langsung merebahkan badan di sebelah mega yang sudah terlelap. Tak lama ia pun ikut terlelap, bersama heningnya malam. Hingga suara-suara teriakan seperti biasa membangunkannya dari tidur pulas. "Bangun, kamu. Dasar menantu miskin, pemalas!" Ia tergeragap, ekor matanya tertuju pada sosok yang masih berbaring di sebelahnya. Nafas bergerak teratur itu, menandakan bahwa Mega masih asyik dengan mimpi indahnya. Pandangnya beralih pada jam dinding, telah menunjukkan angka empat. "Masih jam segini, kenapa sudah ada orang teriak-teriak?" Gerutunya sambil bangkit dari tengah ranjang. Berjalan terantuk menuju pintu, memastikan bahwa suara tadi hanya ada di dalam mimpinya. "Heh!" Mendadak, mata yang masih berat dan  dikucek itu terbuka lebar, ketika ada suara bentakan dari depan wajah. "Iya, buk. Pagi-pagi begini kenapa teriak-teriak? Saya masih ngantuk ini," Ucapnya Malas-malasan.&nb
Read more

Bab 27

 Tak berapa lama, ia kembali dengan membawa seplastik berukuran sedang. Ketika dikeluarkan isinya adalah tiga bungkus besar somay dan dua bungkus es dawet. Juga camilan kering, yang membuat Mega berhasil mengerutkan keningnya. "Banyak sekali makanannya?" Gumam perempuan itu, manik matanya bergerak-gerak. Menatap Cakra dan bungkusan makanan itu secara bergantian. Rasanya baru kali ini, ia keluar dengan di belikan makanan, bahkan hingga sebanyak ini. Sebelumya, jika Cakra mengajak istrinya jalan-jalan keluar tak pernah ada acara membeli makanan atau minuman apapun. Jika kali ini melakukannya, pasti benak Mega bertanya-tanya. "Iya. Sekali-sekali nggak apa-apa, kan?" Cakra menyahut enteng, seperti tak peduli dengan raut wajah penuh tanya dari istrinya itu. "Apa Mas Cakra menggunakan uang hasil pinjaman dari Bu Nur kemarin?" Mega kembali bertanya. Netranya menatap heran ke arah suami yang sudah membuka satu bungkus somay da
Read more

Bab 28

 Tak ingin menunda lagi, ia ketuk pintu kamar itu. Mendadak suara desahan manja di dalam  sana berhenti. "Siapa di dalam?" Ia berseru dan tak ada jawaban sama sekali. Brak! Ia mendobrak pintunya. "Mas Bima?" Serentak, kedua orang yang ada di dalam kamar kosong itu saling berpandangan sebelum akhirnya mendekat. "Apa maumu?" Teriak Bima dengan suara tertahan. "Apa yang kalian lakukan, Mas?" "Kenapa? Apa kamu mau melaporkan kejadian ini?" Bima menantang. Matanya menatap tajam ke arah Cakra yang masih berdiri di ambang pintu. "Perbuatan kalian ini benar-benar tak manusiawi. Kalian tau, kalian ini siapa?" Gumam Cakra. Mata elangnya menatap tanpa kedip, bergantian dari wajah Bima ke wajah perempuan di sebelahnya. Lintang. "Jangan  berani-berani ikut campur kamu!" Bima menghardik, tiba-tiba saja tangan kanannya sudah mencengkeram erat krah baju Cakra.
Read more

Bab 29

 "Minum dulu, gih. Aku mau cek hasil seleksi kemarin. Katanya sudah ada," Pinta Cakra pada sang istri, tak berapa lama. Matanya membulat tak percaya, melihat namanya berada di urutan paling atas. Pada kolom lembaga yang waktu itu di pilih untuk mendaftarkan diri. "Sayang, lihat ini!" Tunjuk Cakra pada sang istri. Mata elang itu turut berbinar, seolah mendapatkan angin segar setelah sekian lama terkurung di dasar jurang gelap dan dalam. "Mas, nilai tertinggi?" Gumam Mega, seketika senyum lebarnya ia pamerkan pada Cakra. "Iya. Semoga di tes kedua nanti aku bisa bertahan, ya. Kalau bisa bertahan, aku akan langsung dinyatakan lulus dan mendapatkan SK pegawai negeri untuk mengajar di SMP itu," Ia berujar. Dan senyum lebar pun kembali nampak dari keduanya. "Wah wah, sepertinya sedang bahagia sekali?" Keduanya menoleh ketika mendengar suara itu. Pak tejo tiba-tiba sudah di sebelah mereka. "Ah, Pak Tejo. Iya ini,
Read more

Bab 30

 Jam lima mereka tiba di depan rumah, dan bu moko telah menyambut kedatangan mereka dengan berkacak pinggang di ambang pintu. "Enak sekali hidup kalian. Sudah numpang, sepanjang hari cuma kelayapan saja. Nggak peduli dengan keadaan rumah yang kotor. Tadi pagi kalian bersih-bersih nggak?" Bu moko menuding, tanpa basa-basi."Maaf, buk. Kita ini kan orang kaya, masa nggak ada art yang mengurus rumah sebesar ini?" "Lancang sekali, kamu?" Wanita itu membentak dengan mata melotot lebar, nyaris keluar dari tempatnya. "Loh, buk. Saya ini bicara serius, masa orang kaya nggak bisa mbayar art sih, yang benar saja?" Cakra mulai berani membantah. Bukan berniat sombong, hanya saja merasa lelah, dengan semua hinaan dan perlakuan tak manusiawi yang didapat sejak ia kecil. "Kami bukan nggak kuat, tapi berhemat!""Sama nggak kuat apa bedanya, buk. Sudahlah, saya ini laki-laki. Capek siang malam di suruh beres-beres rumah t
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status