"Minum dulu, gih. Aku mau cek hasil seleksi kemarin. Katanya sudah ada," Pinta Cakra pada sang istri, tak berapa lama. Matanya membulat tak percaya, melihat namanya berada di urutan paling atas. Pada kolom lembaga yang waktu itu di pilih untuk mendaftarkan diri.
"Sayang, lihat ini!" Tunjuk Cakra pada sang istri. Mata elang itu turut berbinar, seolah mendapatkan angin segar setelah sekian lama terkurung di dasar jurang gelap dan dalam.
"Mas, nilai tertinggi?" Gumam Mega, seketika senyum lebarnya ia pamerkan pada Cakra.
"Iya. Semoga di tes kedua nanti aku bisa bertahan, ya. Kalau bisa bertahan, aku akan langsung dinyatakan lulus dan mendapatkan SK pegawai negeri untuk mengajar di SMP itu," Ia berujar. Dan senyum lebar pun kembali nampak dari keduanya.
"Wah wah, sepertinya sedang bahagia sekali?" Keduanya menoleh ketika mendengar suara itu. Pak tejo tiba-tiba sudah di sebelah mereka.
"Ah, Pak Tejo. Iya ini,
Jam lima mereka tiba di depan rumah, dan bu moko telah menyambut kedatangan mereka dengan berkacak pinggang di ambang pintu."Enak sekali hidup kalian. Sudah numpang, sepanjang hari cuma kelayapan saja. Nggak peduli dengan keadaan rumah yang kotor. Tadi pagi kalian bersih-bersih nggak?" Bu moko menuding, tanpa basa-basi."Maaf, buk. Kita ini kan orang kaya, masa nggak ada art yang mengurus rumah sebesar ini?""Lancang sekali, kamu?" Wanita itu membentak dengan mata melotot lebar, nyaris keluar dari tempatnya."Loh, buk. Saya ini bicara serius, masa orang kaya nggak bisa mbayar art sih, yang benar saja?" Cakra mulai berani membantah. Bukan berniat sombong, hanya saja merasa lelah, dengan semua hinaan dan perlakuan tak manusiawi yang didapat sejak ia kecil."Kami bukan nggak kuat, tapi berhemat!""Sama nggak kuat apa bedanya, buk. Sudahlah, saya ini laki-laki. Capek siang malam di suruh beres-beres rumah t
Semuanya saling tatap dan mengangkat sebelah alis, seperti hendak membuat kesepakatan untuk membuat Cakra merasa jera."Baik. Bawakan kami makanan ringan yang banyak!" Bima menantang."Dengan senang hati," Setelah berkata begitu, ia membalikkan badan dengan menggenggam tangan Mega. Berajalan tegas, tanpa menoleh lagi ke belakang.Mereka yang memperhatikan kepergian dua orang tadi hanya mendengus lirih. Kesal, sekaligus heran. Bagaimana bisa Cakra begitu percaya diri hendak membawakan makanan untuk orang serumah."Tapi, kok. Dia tadi percaya diri banget, ya? Bicara begitu?" Bima yang masih mengamati pintu tempat menghilangnya Cakra dan Mega itu bergumam."Iya. Kayak orang punya uang saja dia itu," Istrinya yang menimpali. Keduanya masih keheranan."Ya sudahlah. Kita tunggu saja nanti, apa dia benar-benar punya uang untuk membeli semua itu," Ucap pak moko menengahi."Tapi, pak. Beb
Tak lama, keduanya telah tiba di rumah dengan dua buah tas kain cukup besar yang entah isinya apa. Namun, ia memberikan salah satunya pada pak moko dan lainnya yang masih asyik di depan TV."Mas Bima, ini oleh-olehnya," Cakra menyerahkan tas itu ke arah Bima, karena lelaki itu yang duduk paling ujung.Bima menerimanya dengan mata membulat lebar, keheranan. Saking herannya, ia bertanya "kamu nyuri?""Mencuri itu perbuatan jahat, mas," Cakra menjawab lirih, tetapi terdengar tegas. Hingga Bima hanya bisa ternganga, dan tak menyadari bahwa sosok di depannya itu langsung berbalik meninggalkan mereka.Bima mengerjap berkali-kali, memastikan bahwa yang baru saja terjadi adalah nyata. Namun, memang benar. Itu nyata. Ia baru menyadari ketika tas kain itu sudah berpindah ke tangan mentari yang tak kalah herannya."Ini makanan ringankan. Dari mana mereka mendapatkan semua ini?" Gumam tari, hingga bu moko turut mendekat pe
"Mau kemana kamu?" Pertanyaan Bima itu berhasil membuat langkah Cakra terhenti. Lalu menoleh, pada sosok sombong tersenyum menyeringai."Bukan urusanmu!" Cakra menjawab ketus, dan malah membuat yang bertanya semakin terkekeh."Tersindir, ya? Bilang saja iri. Hahaha,""Aku mau bersiap-siap. Hari ini aku akan mengurus pemberkasan," Jawab Cakra tegas. Lalu melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Meninggalkan kedua orang yang kini saling berpandangan tak mengerti."Apa dia bilang tadi? Pemberkasan? Berkas apa?" Gumam Bima pada istrinya. Lelaki yang hanya tamatan SMA itu mungkin tidak memahami tahapan seseorang yang hendak menjadi PNS."Apa dia lolos jadi pegawai negeri?" Mentari menimpali. Membuat Bima menoleh ke arah istrinya sambil mengernyit."Lolos pegawai Negeri? Hahaha, mana mungkin orang miskin kayak dia bisa lolos?" Tukas Bima mulai kesal, karena jika benar Cakra akan berhasil men
Hari sudah siang ketika Cakra mengistirahatkan badan di sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan. Ia mengamati sekeliling, yang belum begitu ramai. Hanya ada beberapa orang duduk dengan minuman, di kursi paling pojok. Sepertinya memang belum waktunya para pencari rejeki itu menatap raga yang mulai kelelahan."Mau makan siang, mas?" Sebuah suara dari salah satu pelayan mengembalikan lamunannya."Ah, iya mas," Ucapnya pada pemuda mengenakan seragam itu. Karena di rumah makan hanya menyediakan masakan padang, pelayan pun tak perlu bertanya hendak memesan apa."Tunggu sebentar ya, mas," Pelayan tadi berbalik arah menuju ke belakang. Cakra hanya mengamati punggung menjauh itu, ketika kembali melihat ke arah pintu masuk, ia di kagetkan oleh kedatangan seseorang.Sosok yang baru datang itu pun sama kagetnya dengan Cakra. Namun, orang itu tetap berjalan dan berhenti tepat di depannya."Mas Cakra?" Sosok itu
Ia mendorong motor ke dalam, lalu berjalan menuju pintu rumah yang masih terbuka lebar. Ia melewati ruang tamu sepi, hanya ada suara gelak tawa dari arah ruang TV. Benar sekali, sore itu mereka semua berkumpul di sana."Itu dia si cakra!" Bima berseru. Mengarahkan telunjuknya pada orang yang disebut, membuat yang lain ikut melongok melihatnya."Kemana saja jam segini baru pulang?" Seperti biasa, bu moko selalu melempari pertanyaan yang membuat Cakra serba salah."Kamu nggak mikir dapur masih berantakan? Malah enak-enak kelayapan nggak jelas seharian penuh!" Bentak wanita itu dengan mata melebar kemana-mana.Cakra mendesah lirih, ingin sekali menjawab kalimat tak bersahabat itu. Namun, karena tak ingin ramai, ia menggerakkan kaki, hendak pergi dari hadapan ibu mertua galak."Mau kemana, kamu? Mentang-mentang sudah mau jadi pegawai negeri, berani membantah sekarang, ya?"Jengah. Itulah ya
Pagi-pagi sekali Cakra sudah tebangun, setumpuk kertas menemani duduknya sejak pagi masih buta. Bahkan hingga Mega terbangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Suaminya itu sedikitpun belum beralih dari aktivitasnya. Hal itu tentu saja membuat sang istri keheranan, apa sebenarnya yang di lakukan di depan laptop baru itu?Batin Mega bertanya-tanya, sambil menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Sesekali sudut matanya melirik ke arah Cakra yang sejak tadi masih serius."Mas, dari tadi kok sibuk terus, sedang apa sih?" Mega mendekati Cakra, bertanya dengan hati-hati. Khawatir akan menggangu konsentrasi suaminya."Ini, berkas yang harus dikirim secara online. Tapi, dari tadi Jaringannya kurang bagus. Jadi terhambat terus," Jawab Cakra tanpa menatap lawan bicara. Mega mengangguk maklum, dengan sesekali melirik ke arah layar laptop yang baru dinyalakan pagi itu."Biasanya di sini jaringannya bagus, Mas,"
"Keluar, mas. Ada yang cari," Titah Lintang dari depan pintu kamar."Siapa?" Tanya Cakra, memang tak bisa mendengar siapapun yang datang dari depan rumah sebesar itu."Udah cepat. Keluar aja!" Tukas gadis itu seraya angkat kaki."Ayo, mas. Siapa tau itu dari pihak dealer," Ajak Mega.Tiba di depan mereka di hadang oleh Bima dan mentari, menatap penuh selidik."Siapa yang membeli motor baru?" Teriak Bima dengan menatap tajam menyala. Sementara yang ditatap hanya diam santai, seperti tak pernah terjadi apapun."Mega yang beli," Seloroh Cakra tanpa menatap lawan bicara. Kakinya bergerak melangkah melewati Bima dan istrinya yang masih tercengang dengan jawaban yang didengar tadi."Mega?" Gumam Bima. Memandang hampa ke arah dua sosok punggung keluar rumah itu."Nggak mungkin, mas!" Tambah mentari. Keduanya masih termangu di depan pintu, hingga mereka menoleh karena ada su
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga