Semua Bab Suami Tak Sempurna: Bab 61 - Bab 70

241 Bab

Episode 61. Suami Seperti Green?

Kening Hana mengerut mendengarnya. Bagaimanapun Hana langsung menghubungkan lelaki yang dimaksud dengan Green. Pasti dia itu Green! "Nggak usah lebay, deh. Mana ada di sekolah kita yang paling cakep selain Marcell!" celetuk seorang siswi yang duduk di sudut sambil bertolak pinggang. Kali ini isi kelas jauh lebih ricuh. Marcell hanya menghela napas pelan, merasa bosan akan pujian yang selalu saja ia dengar dengan berbagai macam cara. "Ish, siapa bilang dia siswa di sekolah kita? Kemungkinan dia itu guru PPL. Ya Tuhan, buatlah dia mengajar di kelas kami!" Siswi itu melipat tangan dan tampak kesurupan. "Ihhh.. Kok guru PPL sih? Mukanya itu masih muda kayak kita. Aku yakin dia itu murid baru," sela siswi yang satu lagi. Sartika melirik Hana. Ia bisa menebak jika lelaki tampan itu adalah Green, suami dari Hana. Hana sudah menceritakan segalanya pada Sartika tentang kejadian yang sebenarnya akan apa yang i
Baca selengkapnya

Episode 62. Obat-Obat Itu..

"Sartika, apa maksudmu kamu mengakui Green sebagai sepupumu? Aku kan cuma memintamu untuk membantuku menjaganya saja. Kamu nggak perlu sampai sejauh itu." Hana bertanya dengan suara pelan. Saat ini ia dan Sartika duduk di sebuah bangku panjang, di taman sekolahnya.   "Kamu nggak takut teman sekelas kita pada curiga nantinya lihat kita selalu memperhatikannya terus? Dengan menyebutnya sepupuku, tidak akan ada yang curiga kalau kita sangat akrab dengannya. Lagian, bisa saja kan teman-teman sekelas kita lebih berlaku baik padanya karena tahu dia itu sepupuku." Sartika menjelaskan sambil menjilat es krim miliknya.   "Iya, aku tahu itu. Tapi apa kamu nggak...merasa malu mengakui dia sebagai keluargamu?" tanya Hana ragu-ragu. "Aku bukan bermaksud menilaimu rendah, tapi aku ingin kamu menjawabnya."   "Aku tidak malu. Untuk apa malu? Siapa manusia yang tidak pernah sakit?" jawabnya tenang. Tentu saja Sartika ada rasa malu tapi d
Baca selengkapnya

Episode 63. Pengaruh Ryan

Pelayan Silvi mengerutkan kening menyaksikan perbuatan Ryan, tetapi ia hanya bisa menutup mulut lalu pergi ke dapur mengambil peralatan untuk membersihkan beling kaca yang berserakan di lantai. Sementara itu, Pak Bian mengekori Ryan karena ada yang hendak ia katakan pada pemuda itu. Green menatap nanar dua butir obat yang saat ini berada di atas karpet. Dia berjongkok dan mengambilnya dengan tangan gemetar. Selalu seperti ini, ia selalu dibully dengan berbagai cara. Obat ini sangat mahal dan begitu berharga bagi Green. Obat ini seperti nyawanya sendiri. Jika ia tidak meminumnya, proses pengobatannya bisa gagal, bukan? Perasaan Green dirundung ketakutan sehingga tidak mampu berpikir rasional. Ditatapnya obat itu masih utuh dan tampak terlihat masih bersih. Ia mengusap-usap obat itu, berupaya membersihkan bekas pijakan Ryan tadi. Lalu ia pergi ke dapur mengambil air hangat dan meminum obatnya. "Tuan?" Mata Silvi melebar saat tanpa sengaja meli
Baca selengkapnya

Episode 64. Hana Marah

Sepulang dari bimbingan belajar, Hana masuk ke dalam rumah dengan wajah ketat. Sebenarnya dia masih kesal pada Ryan, dan ingin melampiaskan emosi padanya. Hana yang melihat Silvi sedang lewat, langsung memanggilnya. "Silvi!" "Nona Hana?" Silvi langsung menghampiri Hana dengan wajah tak tenang. "Silvi, apa Green jadi meminum obatnya? Apa Ryan memulangkan obatnya?" Hana langsung memberondong dua pertanyaan pada Silvi. "Itu..." Silvi tampak gugup. "Itu apa?" Hana mendesak. "Maaf, Nona Hana. Tuan Ryan...Saat Tuan Green hendak mengambil obat itu dari tangan Tuan Ryan, Tuan Ryan malah menjatuhkan obat itu ke lantai dan menginjaknya sekilas." "Apa? Kenapa kamu nggak melapor padaku? Apa harus kutanya-tanya dulu?" Hana mulai kembali marah. "Maaf, Nona." Silvi menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Hana mend
Baca selengkapnya

Episode 65. Hana Marah 2

Green menelan ludahnya, mencoba memberanikan diri untuk menjawabnya. "Hana.. Itu...Obat itu..bukankah obat itu memang harus diminum? Kalau tidak, pengobatanku bisa gagal kan?" Ia berucap polos. Kening Hana mengerut semakin dalam saat mendengar itu. Apa itu bisa disebut alasan? Sebenarnya apa sih yang ada di dalam otak Green? "Kamu memang tidak boleh bolos minum obat. Tetapi bukan berarti kamu meminum yang sudah kotor! Persediaan obat kan masih banyak. Tinggal diambil dari kamarku, lalu diminum. Kalau obat habis, tinggal minta ke Dokter Danny. Obat yang terbuang masih bisa diganti dengan obat yang sama oleh dokter. Itu bukan masalah! Apa kamu tidak tahu hal itu?" Hana berucap panjang lebar. "Sekarang masalahmu ada di mana, Green? Kenapa kamu malah meminum obat yang kotor!?" Hana kembali menanyakan hal yang sama. Ia sama sekali tidak puas akan jawaban Green. Green terdiam. Kepalanya menunduk. Dia masih tidak mengerti. Buka
Baca selengkapnya

Episode 66. Ide yang Kejam?

Saat makan malam berlangsung, Green tidak hadir. Biasanya saat Hana berada di rumah, ia selalu mengajak Green makan jika waktu makan telah tiba. Ia akan menggenggam tangannya dan membawanya ke ruang makan. Tetapi saat ini Hana sedang marah, mana mungkin ia mendatangi Green dan mengajaknya makan malam, seolah-olah tidak terjadi apa-apa hari ini? Kening Hana mengerut, rasa kesal masih menggelayuti hatinya. Apa Green dengan keras kepala terus menunggu sampai ia mengajaknya makan? Ini sudah lewat lima belas menit dari jam makan malam. Apa Green tidak bisa berinisiatif datang ke sini sendiri untuk makan malam? Pak Bian juga! Apa dia tidak mengingatkan Green untuk makan? Benar-benar tidak becus! Hana menghembuskan napas sedikit kasar lalu berdiri. "Hana? Kamu mau ke mana? Makanan di piringmu kan belum habis?" Jihan berucap dengan nada bingung. "Aku mau memanggil Green, Ma. Ini sudah jam makan. Dia harus minum obat juga, kan?"
Baca selengkapnya

Episode 67. Harga Diri

"Hana," ucap Green lirih. Ia berupaya duduk walaupun badannya terasa lemas.Hana mendesah, lalu berjalan kembali menghampiri Green dan duduk di tepi ranjang sambil menatap Green."Aku benar-benar minta maaf, Hana." Wajah Green tampak sendu. Matanya menatap punggung tangan Hana. Sebenarnya ia ingin sekali meraih tangan mungil itu dan menggenggamnya erat. Tapi ia takut Hana marah. Sedangkan dalam keadaan biasa saja, Green sebenarnya kurang berani melakukan hal itu. Walaupun sesekali tetap mencobanya."Green, ini bukan masalah kamu harus minta maaf padaku. Sebenarnya kamu paham tidak, kenapa aku bisa semarah tadi?" Kali ini Hana berbicara lembut dengan suara rendah.Green tampak berpikir. "Itu karena aku makan obat yang sudah kotor.""Lalu?" Hana bertanya."Umm.." Green menatap Hana. "Kalau aku makan sesuatu yang kotor, nanti perutku bisa sakit. Apalagi itu bekas injakan. Kamu marah demi kebaikanku." Green menjawab dengan yakin. Awalnya hati Gr
Baca selengkapnya

Episode 68. Pesan Obrolan

Mata Hana melebar ketika merasakan benda kenyal di bibirnya. Green menciumnya! Ia menatap mata Green yang tertutup. Karena selama beberapa kali ia yang terlebih dahulu mencium Green, kesannya memang jadi berbeda saat Green yang memulainya duluan. Hana sekilas teringat ketika Green mengecupnya pertama kali di acara pernikahan mereka waktu itu. Sebelum Green melepas kecupannya, Hana pun segera membalas ciuman itu. Mata Green seketika terbuka dan keningnya mengerut saat merasakan sesuatu di mulutnya. Ia mulai merasa cemas. Ia ingin melepaskan diri, tetapi Hana dengan sigap mencengkeram tengkuknya. Green ketakutan saat ia mulai merasakan sensasi menggelitik di tubuhnya. "Mmmhhh...! Mmmhhh!" Green mengerang panik. Dengan cepat ia mendorong Hana. Puk! Cengkeraman Hana terlepas. "Hana! A-apa yang kau lakukan?!" Green meraung dengan gugup. Ia menarik napasnya. Tadi itu apa??!&nbs
Baca selengkapnya

Episode 69. Demi Masa Depan

Ini adalah hari Minggu. Sudah beberapa hari ini Green tidak pernah kumat. Sepertinya obat yang diberikan Dokter Danny, cukup cocok untuk Green. Hana merasa lega, begitu pula dengan Green. Dia merasa sangat gembira. Dia berharap selamanya dia tidak akan kambuh. Pasti menyenangkan sekali rasanya jika dia tidak perlu bergantung lagi pada orang lain. Sepulang ibadah, Hana mengajak Green makan mie kuah seafood di restoran langganannya. Mereka duduk berdampingan di sofa resto panjang, di sudut ruangan, dekat jendela kaca besar. Green bersandar di punggung sofa sambil menatap sekitar ruangan. Tempat itu bagus dan jarak satu meja dengan meja yang lainnya cukup jauh, sehingga berhasil menciptakan kelenggangan walaupun hampir semua meja di restoran itu telah berisi. Ada musik yang mengalun lembut, yang sengaja dinyalakan untuk menciptakan suasana menyenangkan dan tenang di sana. "Apa kamu suka tempat ini, Green?" tanya Hana sambil menyandarkan kepalan
Baca selengkapnya

Episode 70. Pergi Sekolah

Hana keluar dari kamarnya dan langsung menuju kamar Green. Dia sudah memakai seragam. Dan tas ransel sekolah sudah bergantung di pundaknya. Dia lalu mengetuk pintu. "Green!" panggilnya. Pak Bian membuka pintu dan keluar dari kamar. "Nona, Tuan Green sedang berganti pakaian." "Oh, ya sudah. Pak Bian tolong bilang ke dia supaya agak lebih cepat biar sempat sarapan. Aku tunggu di ruang makan." "Baik, Nona." Hana pun turun ke lantai bawah menuju ruang makan. "Pagi, Pa, Ma," sapa Hana pada Anton dan Jihan. "Pagi juga, Sayang," sahut Jihan. Anton hanya tersenyum menyambut putrinya. Mereka berdua sudah terlebih dahulu memulai sarapan. Hana duduk dan mulai makan sarapan miliknya. "Hari ini dia mulai sekolah?" tanya Anton membuka pembicaraan. "Iya, Pa," jawab Hana singkat. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
25
DMCA.com Protection Status