Hana keluar dari kamarnya dan langsung menuju kamar Green. Dia sudah memakai seragam. Dan tas ransel sekolah sudah bergantung di pundaknya. Dia lalu mengetuk pintu.
"Green!" panggilnya.
Pak Bian membuka pintu dan keluar dari kamar. "Nona, Tuan Green sedang berganti pakaian."
"Oh, ya sudah. Pak Bian tolong bilang ke dia supaya agak lebih cepat biar sempat sarapan. Aku tunggu di ruang makan."
"Baik, Nona."
Hana pun turun ke lantai bawah menuju ruang makan.
"Pagi, Pa, Ma," sapa Hana pada Anton dan Jihan.
"Pagi juga, Sayang," sahut Jihan. Anton hanya tersenyum menyambut putrinya. Mereka berdua sudah terlebih dahulu memulai sarapan.
Hana duduk dan mulai makan sarapan miliknya.
"Hari ini dia mulai sekolah?" tanya Anton membuka pembicaraan.
"Iya, Pa," jawab Hana singkat.
 
Salah seorang siswi mengangkat tangannya. "Pak, mau tanya, apa dia sudah punya pacar?" tanyanya dengan nada genit mendayu."Huuuu!" Semua bersorak mengejeknya."Woy, tanya Sartika kan bisa! Mesti banget ya nanya sama guru!" sahut temannya."Atau sama orangnya langsung kalau berani!" timpal yang lain. Suasana menjadi riuh.Green mendesah pelan. Entah sudah ke berapa kali dia pindah sekolah. Hal seperti ini sudah biasa, bahkan selalu disertai dengan pertanyaan konyol yang sama. Green mengedarkan pandangannya sebentar. Wajah penuh kagum dengan rasa ingin tahu dari kaum Hawa dan rasa iri serta cemburu dari kaum Adam, bisa terlihat dengan begitu jelas."Sudah, tenang semuanya! Jangan ada yang ribut!" hardik guru wali kelas. "Yang perlu kalian ketahui, Green memiliki penyakit epilepsi dan sedang masa pengobatan. Diharapkan kalian semua, anak didik bapak sekalian, memiliki sikap yang ba
Melihat Hana tidak lagi menentang, Green perlahan kembali menundukkan kepalanya. "Hana, jangan karena demi Sartika, kamu tidak memedulikan kepentingan bersama. Anak baru itu cacat, suasana belajar dan mengajar di kelas kita pasti akan terganggu nantinya." Seseorang kembali menimpali. Hana langsung menoleh padanya dan melemparkan tatapan tidak suka, membuat siswa itu terdiam. Tetapi yang lain kembali riuh, apalagi penjelasan Marcell tadi sepertinya menunjukkan bahwa ia setuju pada mereka. "Sudah, tenang semuanya!" hardik wali kelas kembali. Semua murid kembali hening. "Tidak ada peraturan sekolah yang melarang murid seperti Green untuk bersekolah di sini. Jika ada yang keberatan, silakan pindah dari sekolah ini." Wali kelas itu berucap tegas sekaligus tenang tanpa emosi. Hah? Hampir semua murid terpelongok karena tidak percaya akan apa yang baru saja mereka dengar tadi.
Pada akhirnya, permintaan Sartika tidak dipenuhi oleh guru wali kelas mereka. Hana tampak lesu melihat Green duduk di depan tanpa teman sebangku. Nanti saat Veronika datang, apa yang akan terjadi? Veronika mungkin syok atau mungkin akan mengejek Green habis-habisan."Huh..! Mudah-mudahan saja Veronika benar pindah sekolah," gumam Hana pelan.Marcell melirik Hana dan bisa menyimpulkan jika Hana peduli pada murid baru. Bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman halus. Menurutnya Hana lumayan baik karena peduli pada anak cacat yang hanyalah sepupu sahabatnya.Di depan, Green berkeringat saat ibu guru datang menghampiri dan melihat hasil pekerjaannya. Kening guru itu sedikit mengerut."Mana yang kamu tidak mengerti?" tanya guru itu dengan suara rendah dan lembut.'Aku tidak mengerti semuanya, Bu.' Green menahan napas, dia tidak mungkin berkata begitu, bukan?
Saat makan, Hana merasa tidak nyaman di dalam hati. Bukan karena Marcell yang sedari tadi hanya diam menyantap makanannya, tetapi karena Green. Tadi pagi Green mendapat penolakan keras dari semua murid, bahkan dilabeli sebagai orang cacat. Akan lebih baik jika sekarang ia berada di samping Green dan menghiburnya. Tetapi, lihatlah, sekarang dia malah makan bersama Marcell.Sebenarnya Hana tidak perlu merasa bersalah, bukan? Tetapi entah kenapa dia merasa tidak nyaman."Ada apa?" Marcell bertanya pada Hana yang berwajah agak muram."Ah! Tidak apa-apa." Hana memasang senyum manis.Marcell berpikir, sejak malam acara perluncuran film, Hana telah berubah. Sampai sekarang pun Hana masih belum kembali bersikap seperti semula, di mana dia selalu menempel pada Marcell. Hana tampak seperti terus menjaga jarak darinya. Walaupun Hana tampak menyambutnya jika dia mendekat, tetapi untuk seorang perempuan yang sela
"Aku buru-buru, Green. Marcell sudah menunggu di bawah.""Marcell?" ucap Green pelan, raut cemburu terlihat jelas di wajahnya saat ini, sayangnya Hana tidak memiliki waktu untuk melihatnya.Tanpa menanggapi, Hana langsung meninggalkannya. Green diam di tempat, memandang punggung Hana yang sedang menuruni tangga dengan bergegas.Di bawah, Jihan memberikan acungan jempol pada Hana. "Kamu cantik sekali!" bisiknya bersemangat. "Cepatlah ke ruang depan, Marcell akan bosan kalau menunggu lebih lama."Hana mengangguk pada ibunya lalu pergi ke ruang depan. Di sana ia mendapati Marcell dan ayahnya sedang bercakap-cakap. Marcell menatap Hana yang terlihat lebih lembut dengan riasan tipis, dan gaun semi formal berwarna merah muda. Menurut Marcell itu cukup cantik, tetapi tentu ia tidak akan memujinya. Dia hanya akan menyimpannya di dalam hati. Lalu Marcell dan Hana pamit berangkat."Jaga pu
Begitu Marcell dan Hana memasuki ruangan itu, bunyi riuh pun terdengar seperti sedang merayakan tahun baru. Mereka memecahkan balon dan itu membuat bising."Selamat, Marcell!" ucap mereka ceria dan bersemangat."Selamat, ya!"Wajah Marcell merengut sedangkan Hana merasa takjub pada dekorasi ruangan yang terlihat ramai dan lucu."Kekanakan sekali!" ketus Marcell."Hei Marcell, kamu kan memang masih kecil!" Semua tertawa."Ini perayaan untukmu?" Hana bertanya pada Marcell.Seseorang menyahut dengan bangga. "Iya, ini perayaan untuk Marcell. Dia memenangkan pertandingan balap mobil yang digelar oleh Y*maha di Singapore Sabtu lalu."Itu adalah pertandingan resmi! Mata Hana melebar. Apa ini? Kenapa dia baru tahu? Begitu banyak penjelasan tentang Marcell di internet kenapa tidak ada yang menyebutkan tentang hal penting seper
Green melihat layar dan mendapati panggilannya telah dimatikan."Pak Bian, ini ponselnya. Terima kasih," ucap Green dengan suara lemah. Pak Bian menerima ponsel itu tanpa berkata-kata. Ia mengamati Green saat ini terlihat lebih sedih setelah bertelepon."Apa Nona Hana akan segera pulang, Tuan?" Pak Bian bertanya.Green menggeleng. "Aku tidak tahu, Pak. Aku harus tidur sekarang juga. Kalau tidak, Hana akan semakin marah," jelasnya dengan suara parau putus asa.Akan semakin marah? Pak Bian pun tahu apa yang membuat Green lebih bersedih setelah bertelepon, itu karena nona-nya memarahinya."Apa tadi Nona Hana marah pada Tuan?" Pak Bian mencoba memastikan."Iya, dia marah..""Tentu saja Nona marah. Itu karena Tuan mengganggu kencan Nona Hana dan Tuan Marcell. Itu sebabnya tadi saya agak enggan meminjamkan ponsel saya pada Tuan," lugas Pak Bian
Sudah beberapa hari Green bersekolah di Williams High School 21. Dan beberapa hari itu sudah cukup untuk menghabiskan kesabaran teman kelompok belajar Green. Saat ini kelas mereka sedang belajar kelompok. Dan tentu saja, Green tidak bisa memberikan sumbangsih apa pun dalam mengerjakan soal di kelompoknya."Veronika tidak ada dan si goblok satu ini sama sekali tidak membantu!" keluh seorang siswa di kelompok mereka. Yang lain menatap tidak suka pada Green. Veronika adalah ketua kelompok mereka. Dia lebih pintar dari mereka semua, sayangnya sudah hampir dua minggu Veronika tidak masuk sekolah, itu sebabnya mereka semakin kesal akan keberadaan Green yang jauh lebih bodoh dari mereka semua di kelompok itu.Green memilih menunduk saja, karena si goblok yang dimaksud adalah dirinya."Hei goblok! Lihat aku!" ucap siswa satu lagi.Green mengangkat wajahnya perlahan menatap siswa itu."Ka