Sudah beberapa hari Green bersekolah di Williams High School 21. Dan beberapa hari itu sudah cukup untuk menghabiskan kesabaran teman kelompok belajar Green. Saat ini kelas mereka sedang belajar kelompok. Dan tentu saja, Green tidak bisa memberikan sumbangsih apa pun dalam mengerjakan soal di kelompoknya.
"Veronika tidak ada dan si goblok satu ini sama sekali tidak membantu!" keluh seorang siswa di kelompok mereka. Yang lain menatap tidak suka pada Green. Veronika adalah ketua kelompok mereka. Dia lebih pintar dari mereka semua, sayangnya sudah hampir dua minggu Veronika tidak masuk sekolah, itu sebabnya mereka semakin kesal akan keberadaan Green yang jauh lebih bodoh dari mereka semua di kelompok itu.
Green memilih menunduk saja, karena si goblok yang dimaksud adalah dirinya.
"Hei goblok! Lihat aku!" ucap siswa satu lagi.
Green mengangkat wajahnya perlahan menatap siswa itu.
"Ka
Melihat sosok Hana berdiri di dekat kelompoknya, Green melangkah ragu. Tetapi Hana tidak mengatakan apa-apa, dia malah berbalik ke bangku belakang tempat kelompoknya berada. Anggota kelompok Veronika langung tersenyum senang karena Hana telah memilih mundur. Green pun melanjutkan langkahnya dan duduk di bangkunya.Sementara itu, Hana terus mengumpat dalam hati karena sebenarnya dia benar-benar tidak ikhlas untuk mundur. Dia ingin menuntaskannya sekarang tetapi demi menghindari tindakan yang berlebihan terpaksa dia harus menunggu sampai guru datang dan menjelaskan keberatannya."Ini pesanan kalian. Dan ini semua uang kembaliannya," ucap Green sambil merogoh uang di kantong celananya dan menaruh semua uang itu ke atas meja. Mereka pun segera mengambil pesanan masing-masing, lalu membagi uang kembalian itu."Sisa uang kembalianku kurang. Mana lima puluh ribu lagi?" ucap seorang siswa sambil mengulurkan tangannya meminta pad
"Green, kalau kamu memang mampu, kenapa kamu tidak bisa menjelaskan soal lima puluh ribu itu? Kamu hanya mengatakan tidak tahu soal hilangnya uang itu, jadi Marcell punya dasar mengatakannya.""Aku memang tidak tahu soal uang itu. Tapi, kenapa dia sampai harus mengatakan bahwa aku tidak mampu untuk melakukan hal sepele itu? Dia telah menjelekkanku!" Green meraung pelan.Menjelekkan katanya? Apa itu tidak berlebihan? Kening Hana mengerut."Untuk apa dia menjelekkanmu? Marcell bukan orang yang seperti itu. Dia mengatakan itu karena dia melihat sendiri kamu tidak bisa berkata apa-apa soal uang yang hilang. Lagian tujuannya baik, Green. Supaya mereka tidak menyuruhmu lagi untuk membelikan mereka jajan ke kantin." Hana berupaya menjelaskannya dengan lembut agar Green mengerti."Pokoknya, dia telah menjelekkanku. Kenapa kamu malah membelanya?" Green berucap lirih dan wajahnya mulai muram. Hana adalah perem
Hana melepas pertautan bibir mereka begitu kehabisan napas. Mereka berdua perlu meraup oksigen saat ini. Hana dan Green saling memandang dengan napas yang belum teratur."Green, kamu sudah lebih berani ya," ucap Hana setengah berbisik, setelah napasnya lebih tenang. "Dan juga cepat mahir," tambahnya kemudian dengan nada menggoda."Ti-tidak." Green berucap cepat. Dia sungguh malu mendengar ucapan Hana barusan. "A-aku mau tidur, Hana," ucapnya gugup karena jantungnya berdebar tak karuan. Dia langsung segera berbaring.Melihat sikap Green, Hana langsung terkekeh. "Baiklah, selamat tidur, Green." Hana menyelimuti Green, lalu mengecup keningnya. Saat ia melangkah menuju pintu, Green tiba-tiba memanggilnya."Hana.."Hana langsung menoleh. "Ada apa, Green?"Green tampak ragu, tapi kemudian ia berkata, "Tidak, tidak ada.""Baiklah, selamat malam,
'Ayo, Hana, katakan kalau kamu bersedia!' seru Hana mengusir keraguannya di dalam hati."Marcell, kamu....sudah tahu, kan, ada yang melarangku untuk mendekatimu? Aku, aku butuh waktu untuk benar-benar siap menghadapi itu jika menjadi pacarmu," jawab Hana gugup. Akhirnya dia malah dikalahkan oleh keraguannya yang mendadak muncul begitu saja.Marcell yang semula sudah kesal menjadi terdiam mendengar alasan masuk akal itu. Karena tadi diliputi rasa cemburu, dia lupa tentang halangan yang membuat Hana pasif dalam mendekatinya. Hana bahkan sampai celaka. Tentu Hana sangat takut dan butuh waktu untuk mempersiapkan mental.Marcell mendesah dan tampak berpikir. Masalah ini hanya bisa diselesaikan jika dia mengadakan sebuah acara seperti yang diminta kakek dan papanya. Secara halus dia akan memperkenalkan Hana, lalu keluarganya akan menilainya. Sungguh merepotkan!Masalahnya dia sibuk untuk beberapa waktu ke
Green mengusap kepala Hana dengan lembut, berulang-ulang, membuat Hana mendengkur halus di dadanya. Hana tertidur begitu saja. Tetapi baru lima belas menit mereka telah sampai ke tempat tujuan. "Lho, Pak. Kita kenapa berhenti di sini?" Green baru memperhatikan jalan, dari tadi pikirannya tertuju pada Hana. "Kata Nona Hana memang ke sini, Tuan. Sebaiknya Tuan bangunkan Nona Hana sekarang," ucap supir itu. "Tapi Hana masih tidur nyenyak. Kepalanya tadi lagi sakit. Kita tunggu sebentar lagi ya, Pak." Supir itu tidak keberatan sama sekali. Lima belas menit kemudian, Green perlahan membangunkan Hana. "Hana?" panggilnya sambil mengguncang lembut pundaknya. Hana langsung terbangun. "Hm? Green, kita sudah sampai?" Hana langsung celingak-celinguk kebingungan, dan langsung melihat jam yang melingkar di tangannya. "Iya, kita sudah samp
Anton dan Jihan belakangan tahu apa yang telah dilakukan Hana atas masalah yang dibuat oleh Ryan saat Nyonya besar Erina Winata meminta mereka untuk memperingati Hana agar tidak bersikap berlebihan pada Ryan. "Apa perlu kamu sekeras itu pada Ryan?" tanya Jihan pada Hana. Mereka saat ini bersama-sama duduk di ruang keluarga. Green dan Anton hanya diam mendengarkan. "Kalau aku keras, aku akan membawanya ke kantor polisi. Dan kita pasti akan menang karena keluarga kita lebih kuat daripada keluarga Mahendra," ucap Hana dengan tegas. "Kalau seperti itu, kamu sama saja melawan bibi kandungmu sendiri." Kali ini Anton yang berbicara. "Aku tahu seluruh keluarga akan menghalangi, itu sebabnya aku hanya melarangnya kemari sampai Green dinyatakan sembuh dan tidak perlu meminum obat lagi," jawab Hana. Jihan mendesah. "Baiklah, Mama hanya memberi pendapat. Itu akan menjadi urusanmu d
Senyuman kecil terukir di bibir Marcell. Kemarin saat menonton bersama Hana, Marcell menimbang-nimbang untuk mengajak Hana ke tempat latihan. Dan ketika ia memutuskan untuk mengajaknya, Hana terlihat sangat antusias. Bahkan di tempat latihan, Hana mudah berbaur dengan teman-temannya, juga dengan iseng ikut latihan bersama Marcell.Marcell semakin meyakini bahwa Hana tidak hanya sekedar gadis yang cantik dan cerdas, tetapi Hana juga termasuk gadis yang menyenangkan menurutnya. Dari sejak lahir hingga usianya yang akan mendekati 19 tahun, Hanalah satu-satunya perempuan yang bisa mencuri perhatiannya."Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Sally memecah lamunannya. Ibu kandungnya itu melihat Marcell tersenyum sambil memakan sarapan. Itu terlihat ganjil karena Marcell cukup pelit untuk tersenyum."Um, ada yang ingin kukatakan pada kakek." Marcell menatap Reyhans yang sedang menikmati sup tomatnya."Katakan sa
Pelajaran masih terus berlangsung. Veronika diam-diam melirik pada Green. Dia masih tidak mengerti, kenapa suami Hana bersekolah di sini?"Apa Hana tidak takut ketahuan oleh Marcell?" tanyanya dalam hati.Veronika benar-benar bingung untuk situasi saat ini. Dia pun segera menyesali keputusannya di waktu lalu, ketika ia mengatakan pada ayahnya bahwa ia tidak peduli lagi soal Marcell dan Hana. Itu semua karena dia lama-lama menjadi sangat kesal setelah merenungi sikap dingin Marcell padanya selama ini! Saat ayahnya membujuknya pun dia tetap berkeras pada keputusannya.Alex Milan waktu itu berkata, "Sayang, Perlu kamu tahu, harta hanyalah nomor dua bagi Papa. Nomor satu adalah kamu dan mama-mu! Papa sudah berbuat sejauh ini sampai berani mengancam Tuan Winata, ini semua demi menyenangkanmu. Kamu sendiri yang bilang pada Papa bahwa kamu sangat menyukai Marcell, dan Papa rasa Marcell memang yang terbaik untukmu. Tapi sekarang