Semua Bab Suami Tak Sempurna: Bab 51 - Bab 60

241 Bab

Episode 51. Tertunda

Green sedang menikmati kue stroberi yang baru saja disajikan oleh pelayan Silvi. Kue itu masih hangat dan benar-benar lezat, apalagi potongan-potongan buah stroberinya terasa segar ketika Green mengunyahnya. Green melirik pada pengawal itu yang hanya duduk diam menatap ke arah yang lain. Walaupun Green tidak menyukai pengawal itu, tetapi ia tetap menawarkannya untuk menyicipi kue stroberi yang dibuatkan khusus untuknya. Dan seperti kemarin, pengawal itu menolak tetapi kali ini dengan nada yang lebih sopan. Green memakan dan memakannya lagi. Dia suka kue stroberi ini. Puding buah kemarin juga disukainya. Sepertinya semua makanan dia sukai asalkan rasanya enak. Pengawal itu diam-diam meliriknya dan menghela napas perlahan. Sebenarnya dia adalah pekerja yang bisa diandalkan oleh Anton. Kejadian kemarin juga sebenarnya dia melakukan tugasnya dengan cukup baik sesuai keinginan Tuan Anton, tetapi di mata Nona Hana, dia malah disebut pengawal tak b
Baca selengkapnya

Episode 52. Hasrat Lelaki

"Hmm, sepertinya besok memang tidak bisa, Green. Aku akan membuat janji temu dengan dokter itu segera. Mungkin kalau dua hari lagi sudah bisa," ucap Hana. Andai saja tidak ada presentase, dia pasti akan permisi untuk tidak sekolah besok. Dia sudah berjanji pada ayah dan ibunya agar lebih mendahulukan prestasi sekolah dan Marcell di atas Green. Itu sebabnya ia tidak bisa melewatkan presentase besok. Selain masalah nilai, Marcell tentu kecewa jika besok dia tidak hadir.   "Baiklah. Tidak apa-apa," jawab Green tersenyum. Mereka pun pulang ke rumah. Pelayan Ema langsung menghampiri Hana.   "Nona, tadi ada barang yang datang. Kami menaruhnya di kamar Nona."   "Oh, ya sudah. Terima kasih, Ema." Hana menoleh pada Green. "Kamu mandi dulu di kamarmu, setelah mandi, datang ke kamarku. Barang yang datang itu milikmu, Green."   "Baiklah, aku mandi dulu." Hana dan Green pun berpisah. Sementara Pak Bian mengekori
Baca selengkapnya

Episode 53. Veronika

"Apa?" Hana tampak kaget. "Aku memberikannya untukmu." Green kembali mengulangi kata-katanya dengan tenang. "Ini..ini kan peninggalan dari mama kamu. Kalung ini sangat berharga untukmu. Kenapa kamu malah mau memberikannya padaku?" Hana masih tidak menyangka Green dengan entengnya ingin memberikan benda yang sangat mahal ini untuknya, ditambah itu adalah peninggalan dari ibunya sendiri. Apa tidak salah? Green diam. Ingatannya samar-samar tentang kalung itu. Kalau tidak salah saat dia masih kecil seseorang menaruh kalung itu di lehernya dan memintanya untuk menyimpan baik-baik kalung itu karena kalung itu adalah peninggalan satu-satunya dari mendiang ibunya. Jika mengingat itu, Green hanya bisa menghela napas pelan. Dia sungguh tidak paham. Ibunya masih hidup tetapi 'orang itu' mengatakan bahwa kalung itu adalah peninggalan dari 'mendiang ibunya', seolah ibunya sudah mati. Green tidak mengetahui fakta
Baca selengkapnya

Episode 54. Materi Pelajaran

Malam ini Green tidur di kamar yang berbeda. Jika harus menjawab secara jujur, walaupun kamar ini bagus, dan ranjangnya lebih nyaman daripada sofa besar di kamar Hana, tetapi Green lebih suka tidur di kamar Hana. Dia ingin selalu bersama Hana. Jika Hana ada di sampingnya, dia selalu merasa lebih baik. Hana sekarang sedang apa ya? Apa dia sedang belajar? Green tersenyum kecil saat mengingat ekspresi gembira Hana karena kalung yang ia berikan. Sudah bertahun-tahun dia menyimpan kalung itu tetapi dia sama sekali tidak merasa sayang memberikan itu pada Hana. Ia justru senang memberikannya. Hana berkata, ia akan menjaga kalung itu baik-baik. Beberapa waktu kemudian, Green menoleh ke arah pengawal yang sedang berbaring di ranjang single bed, di seberang ranjang miliknya. Pengawal itu belum tidur. Dia sibuk dengan ponsel miliknya. Green memutuskan memejamkan mata dan perlahan tertidur lelap. Melihat Green benar-benar sudah terlelap, pengawal itu la
Baca selengkapnya

Episode 55. Emosi Yang Berbeda

Green semakin menunduk mendengar ucapan Hana. Bagi Green, soal yang diberikan Hana padanya benar-benar sulit. Jadi yang bisa ia lakukan adalah menjawabnya dengan asal. Siapa sangka dia hanya benar lima dari lima puluh soal?   Hana menatap Green dan memutuskan untuk mengetesnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mudah dan sederhana saja tentang materi yang ia berikan. Green memiliki penyakit syaraf, hal ini membuat Hana mencoba untuk mengerti. Tetapi sepanjang ia bertanya, Green hanya terpelongok. Dia benar-benar tidak paham, seolah-olah baru masuk ke dunia baru yang tidak ia kenal.   Saat Hana mencoba menjelaskan ulasannya, Green hanya membisu. Wajahnya seolah mengatakan, 'kamu sedang bicara apa?'.   Hana kembali tidak habis pikir. Apa Green memang bodoh? Ia memutuskan kembali bertanya, kali ini pertanyaannya simpel, di luar materi, dan sangat mudah. "Green, jika nilai tertinggi adalah 100, kira-kira kamu yang cuma
Baca selengkapnya

Episode 56. Tercengang

"Sudah berapa menit?" tanya Hana pada Pengawal itu ketika ia berjongkok menghadap Green. Di bawah kepala Green sudah ada sebuah bantal kecil. Pengawal itu yang langsung menaruhnya begitu mendapati Green kejang-kejang.   "Baru saja, Nona."   Hana mengatupkan mulutnya saat matanya memandangi Green sedang menggelepar di hadapannya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selama Green mengalami kejang beberapa menit ini.   Kejang yang dialami Green berangsur berkurang dan berhenti. Seperti biasa Hana langsung memosisikan tubuh Green ke samping, dan perlahan Green kembali sadar. Hana mengusap lembut mulut Green dengan tisu.   "Apa kamu sudah bisa bangun?" tanya Hana setelah beberapa waktu. Green hanya menganggukkan kepalanya pelan. Dia merasa linglung. Selalu seperti itu jika mengalami kejang. Hana berpikir, apa epilepsi memengaruhi kecerdasan seseorang? Hana belum tahu jawabannya, tetapi setidaknya saat berbi
Baca selengkapnya

Episode 57. Gundah

"Cepat atau lambat, Marcell juga akan tahu kan?" Hana menatap wajah ayahnya dengan penuh percaya diri. "Menutup rapat akan apa yang sudah terjadi bukanlah tindakan yang tepat. Lebih baik Marcell tahu sedikit demi sedikit dariku, daripada nanti aku memberitahunya sekaligus. Aku sudah merancang semuanya dalam pikiranku, Papa dan Mama tidak usah terlalu cemas," jelas Hana.   Kening Anton dan Jihan tetap mengerut. Apa mereka bisa memercayakan hal ini pada putri mereka sepenuhnya? Hana terlalu baik dan dia terkadang bersikap impulsif. Orang tuanya tidak bisa tidak cemas.   "Hana, apa kamu yakin?" tanya Anton. "Tahu-tahu tanpa kamu sengaja kamu sudah memberi tahu semua pada Marcell padahal dia sendiri belum jatuh cinta padamu. Yang ada ia akan berkata bahwa apa yang kamu alami bukan urusannya. Karena tidak ada rasa, ia akan mudah memutuskan untuk menjauh darimu karena tahu kau sudah menikah. Kamu tentu sudah paham akan hal itu."  
Baca selengkapnya

Episode 58. Harapan

"Oh," ucap Green sebagai tanggapan. Tetapi hatinya masih menampik apa yang ada di dalam pikirannya. Yang bernama Williams ada banyak, yang bernama Marcell juga banyak. Dia terus mengulang dalam hatinya, berupaya menenangkan kegusarannya. Green benar-benar berharap bahwa Marcell yang sering dibicarakan keluarga Winata bukanlah Marcell adiknya. Hana mengawasi Green yang raut wajahnya tampak tak tenang. "Ada apa, Green?" "Tidak apa-apa." "Jangan gugup. Dokter Danny adalah dokter yang hebat. Aku yakin dia akan bisa membantumu untuk sembuh!" Hana sengaja berucap dengan nada yang meyakinkan. Rasa antusias, besar pengaruhnya atas kesembuhan seseorang. Itulah yang diketahui Hana. Jika seseorang selalu pesimis, bahkan jika obat yang diberikan padanya tepat pun dia akan tetap mengalami kesulitan untuk sembuh. Green memaksakan senyumnya. "Terima kasih, Hana. Aku benar-benar berharap untuk sembuh." 
Baca selengkapnya

Episode 59. Ujian

Wajah Green berbinar-binar sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Dia benar-benar berharap agar pengobatan kali ini berhasil. Hana terus memperhatikannya. Ia juga berharap hal yang sama. Sesampainya di rumah, Hana menjelaskan kembali peraturan minum obat itu. "Green, obat-obat ini harus kamu minum secara teratur. Kalau tidak, kesembuhanmu bisa gagal. Dalam menjalani terapi obat, kedisiplinan adalah keharusan. Yang ini diminum tiga kali dalam sehari, sementara yang ini, dua kali. Dan yang satu ini hanya malam sebelum kamu tidur. Apa kamu yakin bisa rutin nantinya meminum obat ini?" Hana memastikan dengan wajah serius. "Aku..Aku akan meminumnya teratur." Green tampak gugup. Ia menelan ludahnya. Mendengar kata gagal membuatnya tak percaya diri. Bagaimana jika ia lupa meminumnya? Hana mendesah. Melihat Green sepertinya gugup, Hana jadi ragu. "Sudahlah, biar semua obat ini aku saja yang pegang. Aku yang ak
Baca selengkapnya

Episode 60. Ricuh

Green mengumpulkan hasil tugasnya ketika petugas itu mengatakan bahwa waktunya telah habis. "Seseorang menunggu untuk menjemputmu di luar," ucap petugas itu. "Terima kasih, Pak." Green pamit undur diri dan melangkah ke luar ruangan. Ia mendapati Pak Bian berdiri tegak di sana. "Apa Bapak sudah lama menungguku?" tanya Green merasa tidak enak. "Lama atau tidak, ini sudah menjadi tugas saya, Tuan Green." Pak Bian menjawab dengan nada tenang. Green mengangguk. Sebenarnya dia masih belum terbiasa dijaga khusus seperti ini. "Pak, saya mau ke toilet terlebih dahulu sebelum pulang." "Baiklah, saya antar." Pak Bian mengantar Green menuju area toilet khusus siswa. Saat ia berjalan dengan pengawal itu menuju toilet, ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Green tidak menaruh perhatian pada orang-orang itu. Ia merasa rendah diri sehingga tidak mampu mengangkat wa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
25
DMCA.com Protection Status