"Cepat atau lambat, Marcell juga akan tahu kan?" Hana menatap wajah ayahnya dengan penuh percaya diri. "Menutup rapat akan apa yang sudah terjadi bukanlah tindakan yang tepat. Lebih baik Marcell tahu sedikit demi sedikit dariku, daripada nanti aku memberitahunya sekaligus. Aku sudah merancang semuanya dalam pikiranku, Papa dan Mama tidak usah terlalu cemas," jelas Hana.
Kening Anton dan Jihan tetap mengerut. Apa mereka bisa memercayakan hal ini pada putri mereka sepenuhnya? Hana terlalu baik dan dia terkadang bersikap impulsif. Orang tuanya tidak bisa tidak cemas.
"Hana, apa kamu yakin?" tanya Anton. "Tahu-tahu tanpa kamu sengaja kamu sudah memberi tahu semua pada Marcell padahal dia sendiri belum jatuh cinta padamu. Yang ada ia akan berkata bahwa apa yang kamu alami bukan urusannya. Karena tidak ada rasa, ia akan mudah memutuskan untuk menjauh darimu karena tahu kau sudah menikah. Kamu tentu sudah paham akan hal itu."
"Oh," ucap Green sebagai tanggapan. Tetapi hatinya masih menampik apa yang ada di dalam pikirannya. Yang bernama Williams ada banyak, yang bernama Marcell juga banyak. Dia terus mengulang dalam hatinya, berupaya menenangkan kegusarannya. Green benar-benar berharap bahwa Marcell yang sering dibicarakan keluarga Winata bukanlah Marcell adiknya.Hana mengawasi Green yang raut wajahnya tampak tak tenang. "Ada apa, Green?""Tidak apa-apa.""Jangan gugup. Dokter Danny adalah dokter yang hebat. Aku yakin dia akan bisa membantumu untuk sembuh!" Hana sengaja berucap dengan nada yang meyakinkan. Rasa antusias, besar pengaruhnya atas kesembuhan seseorang. Itulah yang diketahui Hana. Jika seseorang selalu pesimis, bahkan jika obat yang diberikan padanya tepat pun dia akan tetap mengalami kesulitan untuk sembuh.Green memaksakan senyumnya. "Terima kasih, Hana. Aku benar-benar berharap untuk sembuh."
Wajah Green berbinar-binar sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Dia benar-benar berharap agar pengobatan kali ini berhasil. Hana terus memperhatikannya. Ia juga berharap hal yang sama.Sesampainya di rumah, Hana menjelaskan kembali peraturan minum obat itu."Green, obat-obat ini harus kamu minum secara teratur. Kalau tidak, kesembuhanmu bisa gagal. Dalam menjalani terapi obat, kedisiplinan adalah keharusan. Yang ini diminum tiga kali dalam sehari, sementara yang ini, dua kali. Dan yang satu ini hanya malam sebelum kamu tidur. Apa kamu yakin bisa rutin nantinya meminum obat ini?" Hana memastikan dengan wajah serius."Aku..Aku akan meminumnya teratur." Green tampak gugup. Ia menelan ludahnya. Mendengar kata gagal membuatnya tak percaya diri. Bagaimana jika ia lupa meminumnya?Hana mendesah. Melihat Green sepertinya gugup, Hana jadi ragu. "Sudahlah, biar semua obat ini aku saja yang pegang. Aku yang ak
Green mengumpulkan hasil tugasnya ketika petugas itu mengatakan bahwa waktunya telah habis."Seseorang menunggu untuk menjemputmu di luar," ucap petugas itu."Terima kasih, Pak." Green pamit undur diri dan melangkah ke luar ruangan. Ia mendapati Pak Bian berdiri tegak di sana."Apa Bapak sudah lama menungguku?" tanya Green merasa tidak enak."Lama atau tidak, ini sudah menjadi tugas saya, Tuan Green." Pak Bian menjawab dengan nada tenang.Green mengangguk. Sebenarnya dia masih belum terbiasa dijaga khusus seperti ini. "Pak, saya mau ke toilet terlebih dahulu sebelum pulang.""Baiklah, saya antar." Pak Bian mengantar Green menuju area toilet khusus siswa. Saat ia berjalan dengan pengawal itu menuju toilet, ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Green tidak menaruh perhatian pada orang-orang itu. Ia merasa rendah diri sehingga tidak mampu mengangkat wa
Kening Hana mengerut mendengarnya. Bagaimanapun Hana langsung menghubungkan lelaki yang dimaksud dengan Green. Pasti dia itu Green!"Nggak usah lebay, deh. Mana ada di sekolah kita yang paling cakep selain Marcell!" celetuk seorang siswi yang duduk di sudut sambil bertolak pinggang. Kali ini isi kelas jauh lebih ricuh. Marcell hanya menghela napas pelan, merasa bosan akan pujian yang selalu saja ia dengar dengan berbagai macam cara."Ish, siapa bilang dia siswa di sekolah kita? Kemungkinan dia itu guru PPL. Ya Tuhan, buatlah dia mengajar di kelas kami!" Siswi itu melipat tangan dan tampak kesurupan."Ihhh.. Kok guru PPL sih? Mukanya itu masih muda kayak kita. Aku yakin dia itu murid baru," sela siswi yang satu lagi.Sartika melirik Hana. Ia bisa menebak jika lelaki tampan itu adalah Green, suami dari Hana. Hana sudah menceritakan segalanya pada Sartika tentang kejadian yang sebenarnya akan apa yang i
"Sartika, apa maksudmu kamu mengakui Green sebagai sepupumu? Aku kan cuma memintamu untuk membantuku menjaganya saja. Kamu nggak perlu sampai sejauh itu." Hana bertanya dengan suara pelan. Saat ini ia dan Sartika duduk di sebuah bangku panjang, di taman sekolahnya. "Kamu nggak takut teman sekelas kita pada curiga nantinya lihat kita selalu memperhatikannya terus? Dengan menyebutnya sepupuku, tidak akan ada yang curiga kalau kita sangat akrab dengannya. Lagian, bisa saja kan teman-teman sekelas kita lebih berlaku baik padanya karena tahu dia itu sepupuku." Sartika menjelaskan sambil menjilat es krim miliknya. "Iya, aku tahu itu. Tapi apa kamu nggak...merasa malu mengakui dia sebagai keluargamu?" tanya Hana ragu-ragu. "Aku bukan bermaksud menilaimu rendah, tapi aku ingin kamu menjawabnya." "Aku tidak malu. Untuk apa malu? Siapa manusia yang tidak pernah sakit?" jawabnya tenang. Tentu saja Sartika ada rasa malu tapi d
Pelayan Silvi mengerutkan kening menyaksikan perbuatan Ryan, tetapi ia hanya bisa menutup mulut lalu pergi ke dapur mengambil peralatan untuk membersihkan beling kaca yang berserakan di lantai. Sementara itu, Pak Bian mengekori Ryan karena ada yang hendak ia katakan pada pemuda itu.Green menatap nanar dua butir obat yang saat ini berada di atas karpet. Dia berjongkok dan mengambilnya dengan tangan gemetar. Selalu seperti ini, ia selalu dibully dengan berbagai cara. Obat ini sangat mahal dan begitu berharga bagi Green. Obat ini seperti nyawanya sendiri. Jika ia tidak meminumnya, proses pengobatannya bisa gagal, bukan? Perasaan Green dirundung ketakutan sehingga tidak mampu berpikir rasional. Ditatapnya obat itu masih utuh dan tampak terlihat masih bersih. Ia mengusap-usap obat itu, berupaya membersihkan bekas pijakan Ryan tadi. Lalu ia pergi ke dapur mengambil air hangat dan meminum obatnya."Tuan?" Mata Silvi melebar saat tanpa sengaja meli
Sepulang dari bimbingan belajar, Hana masuk ke dalam rumah dengan wajah ketat. Sebenarnya dia masih kesal pada Ryan, dan ingin melampiaskan emosi padanya. Hana yang melihat Silvi sedang lewat, langsung memanggilnya."Silvi!""Nona Hana?" Silvi langsung menghampiri Hana dengan wajah tak tenang."Silvi, apa Green jadi meminum obatnya? Apa Ryan memulangkan obatnya?" Hana langsung memberondong dua pertanyaan pada Silvi."Itu..." Silvi tampak gugup."Itu apa?" Hana mendesak."Maaf, Nona Hana. Tuan Ryan...Saat Tuan Green hendak mengambil obat itu dari tangan Tuan Ryan, Tuan Ryan malah menjatuhkan obat itu ke lantai dan menginjaknya sekilas.""Apa? Kenapa kamu nggak melapor padaku? Apa harus kutanya-tanya dulu?" Hana mulai kembali marah."Maaf, Nona." Silvi menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca.Hana mend
Green menelan ludahnya, mencoba memberanikan diri untuk menjawabnya. "Hana.. Itu...Obat itu..bukankah obat itu memang harus diminum? Kalau tidak, pengobatanku bisa gagal kan?" Ia berucap polos.Kening Hana mengerut semakin dalam saat mendengar itu. Apa itu bisa disebut alasan? Sebenarnya apa sih yang ada di dalam otak Green?"Kamu memang tidak boleh bolos minum obat. Tetapi bukan berarti kamu meminum yang sudah kotor! Persediaan obat kan masih banyak. Tinggal diambil dari kamarku, lalu diminum. Kalau obat habis, tinggal minta ke Dokter Danny. Obat yang terbuang masih bisa diganti dengan obat yang sama oleh dokter. Itu bukan masalah! Apa kamu tidak tahu hal itu?" Hana berucap panjang lebar. "Sekarang masalahmu ada di mana, Green? Kenapa kamu malah meminum obat yang kotor!?" Hana kembali menanyakan hal yang sama. Ia sama sekali tidak puas akan jawaban Green.Green terdiam. Kepalanya menunduk. Dia masih tidak mengerti. Buka
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be