Semua Bab Pasutri Jadi-jadian: Bab 41 - Bab 50

185 Bab

41. Keliru

"Apa-apaan kamu, Jak..." desis Erna di ambang pintu dengan tatapan nyalang. Jaka meringis menahan kesemutan yang terasa merambati kakinya karena semalaman menahan kepala Nuning yang tertidur di pangkuannya. Tapi ia memaksakan bangkit dan beranjak dari sofa. Menyambut Erna dengan manis demi menghindari keributan sepagi ini. "Kamu sama siapa, Er? Masuk, yuk?" bisik Jaka setenang mungkin. Baru kali ini Jaka mendapati wajah Erna semurka ini. Biasanya kekasihnya ini jarang marah dan selalu manis kepadanya. Sepelik apapun masalah yang mereka hadapi selama berpacaran, Erna lebih memilih menyelesaikannya dengan sedikit emosi yang tampak. "Kita harus bicara," desis Erna dengan tatapan berkaca-kaca. Jaka mendekat dan menggandeng lengan Erna. "Iya, tapi temuilah Bu Parmi dulu, setidaknya demi kesopanan," bisiknya. Erna yang tadinya ingin menolak, mau tak mau menurut juga setelah menyadari keadaan dan lingkungannya. Apalagi Bu Parmi dan susternya
Baca selengkapnya

42. Orang Ketiga

Erna menginjak pedal gas mobilnya dengan emosi. Bersama tangisnya yang membanjiri pipi. Dadanya bagai dihantam gada tak kasat mata yang menghancurkan hatinya dengan telak. Sakittt, tapi... tak berdarah.  Begitu mobilnya sudah keluar dari ramainya jalanan perkotaan, Erna mulai menambah kecepatannya. Suasana jalanan menuju kampungnya masih begitu sepi pagi ini. Membuat adrenalinnya berpacu deras bersama amarahnya yang meluap-luap. Xenia putihnya melesat cepat. Erna sengaja membuka kaca jendela. Membiarkan angin menampari wajah sembabnya dan mengibarkan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. “Apa sih yang kamu lihat darinya, Jak! Padahal kamu tahu sejak dulu gimana bodohnya dia. Bahkan dia selalu mencontekmu habis-habisan. Tanpamu, Nuning nggak bakal punya ijazah sampai SMA. Dia idiot. Cakep juga nggak! Kelakuannya juga nggak pernah beres di sekolah. Apa coba yang kamu lihat darinya? Apaaaa?!” makinya sambil menekan pedal gas. "Tapi bodohnya aku... selalu saja m
Baca selengkapnya

43. Bukan Sebuah Pilihan

Bu Parmi memandangi Nuning yang kembali ke kamar perawatannya dengan tertunduk lesu. "Ada apa, Nduk? Jaka kenapa sih tadi sampai lari-lari begitu?" selidiknya sambil kedip-kedip penasaran. Tapi Nuning menjawabnya dengan segaris senyum tipis. Jenis senyum yang nggak enak menurut Bu Parmi. Rasanya lebih baik Nuning datang sambil ngomel-ngomel aja ketimbang senyum-senyum penuh misteri kayak gini. Tanda-tanda ada yang nggak beres. Bu Parmi jadi gelisah karena Nuning belum juga kasih bocoran tentang apa yang tadi terjadi. Puteri satu-satunya itu malah sibuk menonton TV dengan tatapan kosong, entah sedang mengembara ke mana pikirannya sekarang. Bu Parmi berusaha mengajaknya ngobrol, tapi cuma dijawab oleh angin, alias dicuekin. "Assalamualaikum..." Suara ramai di ambang pintu mengejutkan Bu Parmi dan Nuning yang sejak tadi melamun.  Nuning dan Bu Parmi pun menjawab bersamaan, "Waalaikumsalam..." "Permisi..." Rombongan emak-emak berkerudung memasuki kam
Baca selengkapnya

44. Demi Kesembuhan

Erna tersenyum melihat Jaka keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambutnya yang basah sehabis keramas. Diam-diam Erna berpikir cedera dan rasa sakit dialaminya sekarang terasa sepadan. Sebab dengan begini, pria yang dicintainya itu selalu berada di sisi. Jaka merawatnya dengan sangat baik sejak hari pertama ia dirawat karena kecelakaan. Erna menyesal pernah menampar dan memutuskan Jaka karena dibakar cemburu. Demi Tuhan, bukan itu yang ia inginkan. Anggap saja aku tak pernah melakukannya... Ia ingin merajut kembali hubungan mereka dalam kesempatan ini. "Enak ya keramas siang-siang, segar?" tegur Erna dengan senyum lebar. Jaka membalasnya dengan senyum tipis. "Sudah makan?" Lalu mengecek meja yang dipenuhi makan siang Erna yang masih utuh. "Gimana mau cepat sembuh kalau makan aja malas kayak gini," gumamnya sambil membuka satu per satu plastik wrap dari piring dan mangkuk-mangkuk Erna. Lalu menuangkan sayur dan lauk pauk untuk
Baca selengkapnya

45. Kali Kedua

Bu Parmi manyun memandangi makanannya. Sama sekali nggak selera. "Masakanmu nggak enak!" omelnya kepada Nuning yang ngelap keringet, gempor ngurusin emaknya yang super cerewet. "Ya wajarlah nggak enak .... Kan belum boleh pake garam," oceh Nuning sambil mengambil alih piring dari tangan Bu Parmi lalu menyuapinya. Bu Parmi mangap, bukan untuk makan, tapi buat ngomong. "Jaka mana sih, kok nggak kelihatan? Harusnya kan dia di sini ..." gumamnya. Lalu mingkem ogah disuapin. "Jaka lagi ngurusin Erna," jawab Nuning cepat, dan secepat itu pula Bu Parmi memegangi kepalanya. "Kenapa kamu biarin pelakor itu dekat-dekat sama suamimu sih?" "Siapa yang pelakor?"  "Erna!" "Dia bukan pelakor, Mak .... Dia itu calon istri Jaka!" "Maksudmu, kamu rela dipoligami?" "Siapa yang rela dipoligami .... Aku dan Jaka udah cerai kok!" "Cerai gundulmu! Aku nggak ingat kalian pernah cerai, bohong kamu!" Bu Parmi mewek terus nan
Baca selengkapnya

46. Yang Pertama Memulai

Erna menggeleng saat Jaka pamit mau berangkat ke Jakarta. "Tapi aku kan masih sakit," rengeknya dengan air mata berlinang. "Pekerjaan kan bisa kamu urusi dari sini, apa gunanya si Doni asistenmu itu? Suruh aja dia." "Ada hal-hal yang nggak bisa diurusi sama Doni. Aku harus ke Jakarta malam ini, besok pagi ada rapat penting dengan investor. Sebagai owner aku harus datang. Ayolah, Er ... Kamu tahu sendiri soal ini, kan? Mestinya aku nggak perlu jelasin, kamu pasti udah tahu," tegas Jaka tak ingin dicegah. Erna manyun. Dia sebenarnya paham, tapi ingin sekali-kali bersikap egois. Ingin menjadi prioritas Jaka yang nomor satu. Sementara Jaka masih menahan diri, padahal ingin segera mempertegas hubungannya dengan Erna yang baginya sudah berakhir pagi itu, saat Erna memutuskannya. Perasaannya terhadap Nuning yang semula samar dan abu-abu pun sudah terkuak jelas. Ia ingin rujuk dengan Nuning. Tapi tak tega membahasnya dulu, mengingat kondisi Erna yang belum pulih sep
Baca selengkapnya

47. Permintaan Yang Sulit Ditolak

Jaka mengendarai mobilnya menuju rumah Nuning, menjemput Bambang yang sudah siap menunggunya di teras. Jaka keluar mobil untuk menyapa Bu Parmi dan Pak Priyo. "Saya ke Jakarta dulu ya, Mak... Pak..." pamitnya sambil menjabat tangan kedua orang tua itu dengan hormat. Lalu mencari-cari sosok Nuning dengan tatapannya yang memindai ke dalam rumah."Hati-hati di jalan ya. Semoga lancar semua urusanmu di Jakarta," ujar Bu Parmi sambil mengusapi pundak Jaka. "Terima kasih doanya, Mak. Emak juga semoga lekas sembuh," jawab Jaka dengan tersenyum."Yuk, berangkat," kata Bambang sambil membuka pintu mobil. Jaka menganguk lalu melongok ke dalam rumah. Tersenyum melihat Nuning yang baru muncul, berpakaian rapi dengan sebuah tote bag di bahunya. "Aku ikut," kata perempuan itu sebelum Jaka sempat bertanya. Membuat Jaka tambah berseri-seri, senang Nuning mengantarnya ke bandara.Sepanjang perjalanan, Jaka yang duduk di sebelah Bambang tak hentinya mena
Baca selengkapnya

48. Salah Skenario

"Selamat malam, Nyonya Vincent? Saya Suryo. Saya ditugaskan langsung oleh Tuan Vincent sebagai sopir Nyonya selama di Jakarta," sapa seorang bapak-bapak berpakaian safari yang menjemputnya di bandara.  "Selamat malam, Pak Suryo. Iya, Vincent juga sudah menelepon saya tadi, katanya Bapak sudah menunggu. Kayaknya saya pernah melihat Bapak?" "Kita pernah bertemu sekali, dulu saat saya menyopiri Tuan untuk menjemput Nyonya di kantor polisi." "Ohh, iya..." "Apakah ada kopor atau barang bawaan lain yang bisa saya bawakan, Nyonya?"  "Nggak, saya cuma bawa tas ini aja," jawab Nuning sambil mengedikkan bahunya yang sedang mencangklung tote bag. "Baik, Nyonya. Kalau begitu, saya ambil mobil dulu." "Oke, saya tunggu di depan," jawab Nuning. Kemudian bergegas menuju area penjemputan kendaraan pribadi sambil memindai sekitar dengan tatapannya yang cemas. Pikirannya gelisah selama menunggu Pak Suryo. 'Jangan sampai ketemu Jaka.
Baca selengkapnya

49. Skakmat

"Apa yang sudah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia ...." ujar Nyonya Rose lirih, tapi Nuning bisa merasakan ketegasan dalam suaranya. "Aku menentang perceraian kalian. Sudah cukup, anggap saja aku tak pernah mendengar tentang ini," pungkas Nyonya Rose. Nuning menunduk karena udah mentok ide. 'Gawat... Kenapa jadinya serumit ini sih! Padahal Jaka sudah bilang ingin menikahiku. Aku juga menginginkannya. Aku nggak akan mengkhianatinya. Tapi, gimana ini?' Aha! Tiba-tiba saja Nuning punya ide cemerlang. "Tapi, Ma. Apakah itu akan tetap berlaku jika saya... mandul?" Ucapannya bagai bom atom yang meluluhlantakkan Nyonya Rose dengan keterkejutan hebat. Punggungnya yang terbiasa tegap seketika melunglai. Mleyot di sandaran kursi. Tekadnya yang tadi menyala-nyala pun meredup, nyaris padam. "Aku memang ibu yang buruk..." ujarnya dengan menunduk sambil memijiti kening. "Padahal, Vincent anak yang sangat baik. Sejak kecil dia jaran
Baca selengkapnya

50. Sebuah Pertaruhan

Vincent tersenyum seraya melambai-lambaikan tangannya di layar."Ngapain malam-malam gini menghubungiku? Udah jam 12 nih," dengus Nuning menutupi rasa canggungnya. Tak menyangka bisa melihat Vincent lagi setelah sekian lama. Sinyal di Jakarta bagus, sehingga gambar videonya menjadi jelas dan suaranya pun jernih terdengar.Vincent terkekeh. "Di sini belum selarut itu, kok .... Waktu di Milan kan lima jam lebih lambat dari Jakarta," katanya membela diri. Lalu terdiam dan menatap Nuning dengan boxy smile-nya khas.Nuning jadi kikuk dipandangi sedemikian rupa. "Apaan lihat-lihat?" ujarnya mulai tersipu."Nggak boleh?" goda Vincent dengan menajamkan tatapannya. Membuatnya semakin tampan."Nggak!" Nuning buang muka. Takut tergoda."Dih... Emang kenapa?" Vincent tertawa lirih. Suaranya masih saja merdu dan membius.'Duhai hatiku ... tenanglah ... Dia memang tampan, tapi kau sudah punya Jaka! Jangan serakah, dong!' Nuning me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
19
DMCA.com Protection Status