Bu Parmi memandangi Nuning yang kembali ke kamar perawatannya dengan tertunduk lesu. "Ada apa, Nduk? Jaka kenapa sih tadi sampai lari-lari begitu?" selidiknya sambil kedip-kedip penasaran. Tapi Nuning menjawabnya dengan segaris senyum tipis. Jenis senyum yang nggak enak menurut Bu Parmi. Rasanya lebih baik Nuning datang sambil ngomel-ngomel aja ketimbang senyum-senyum penuh misteri kayak gini. Tanda-tanda ada yang nggak beres.
Bu Parmi jadi gelisah karena Nuning belum juga kasih bocoran tentang apa yang tadi terjadi. Puteri satu-satunya itu malah sibuk menonton TV dengan tatapan kosong, entah sedang mengembara ke mana pikirannya sekarang. Bu Parmi berusaha mengajaknya ngobrol, tapi cuma dijawab oleh angin, alias dicuekin.
"Assalamualaikum..." Suara ramai di ambang pintu mengejutkan Bu Parmi dan Nuning yang sejak tadi melamun.
Nuning dan Bu Parmi pun menjawab bersamaan, "Waalaikumsalam..."
"Permisi..." Rombongan emak-emak berkerudung memasuki kam
Erna tersenyum melihat Jaka keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambutnya yang basah sehabis keramas. Diam-diam Erna berpikir cedera dan rasa sakit dialaminya sekarang terasa sepadan. Sebab dengan begini, pria yang dicintainya itu selalu berada di sisi. Jaka merawatnya dengan sangat baik sejak hari pertama ia dirawat karena kecelakaan. Erna menyesal pernah menampar dan memutuskan Jaka karena dibakar cemburu. Demi Tuhan, bukan itu yang ia inginkan. Anggap saja aku tak pernah melakukannya... Iaingin merajut kembali hubungan mereka dalam kesempatan ini. "Enak ya keramas siang-siang, segar?" tegur Erna dengan senyum lebar. Jaka membalasnya dengan senyum tipis. "Sudah makan?" Lalu mengecek meja yang dipenuhi makan siang Erna yang masih utuh. "Gimana mau cepat sembuh kalau makan aja malas kayak gini," gumamnya sambil membuka satu per satu plastik wrap dari piring dan mangkuk-mangkuk Erna. Lalu menuangkan sayur dan lauk pauk untuk
Bu Parmi manyun memandangi makanannya. Sama sekali nggak selera. "Masakanmu nggak enak!" omelnya kepada Nuning yang ngelap keringet, gempor ngurusin emaknya yang super cerewet. "Ya wajarlah nggak enak .... Kan belum boleh pake garam," oceh Nuning sambil mengambil alih piring dari tangan Bu Parmi lalu menyuapinya. Bu Parmi mangap, bukan untuk makan, tapi buat ngomong. "Jaka mana sih, kok nggak kelihatan? Harusnya kan dia di sini ..." gumamnya. Lalu mingkem ogah disuapin. "Jaka lagi ngurusin Erna," jawab Nuning cepat, dan secepat itu pula Bu Parmi memegangi kepalanya. "Kenapa kamu biarin pelakor itu dekat-dekat sama suamimu sih?" "Siapa yang pelakor?" "Erna!" "Dia bukan pelakor, Mak .... Dia itu calon istri Jaka!" "Maksudmu, kamu rela dipoligami?" "Siapa yang rela dipoligami .... Aku dan Jaka udah cerai kok!" "Cerai gundulmu! Aku nggak ingat kalian pernah cerai, bohong kamu!" Bu Parmi mewek terus nan
Erna menggeleng saat Jaka pamit mau berangkat ke Jakarta. "Tapi aku kan masih sakit," rengeknya dengan air mata berlinang. "Pekerjaan kan bisa kamu urusi dari sini, apa gunanya si Doni asistenmu itu? Suruh aja dia." "Ada hal-hal yang nggak bisa diurusi sama Doni. Aku harus ke Jakarta malam ini, besok pagi ada rapat penting dengan investor. Sebagai owner aku harus datang. Ayolah, Er ... Kamu tahu sendiri soal ini, kan? Mestinya aku nggak perlu jelasin, kamu pasti udah tahu," tegas Jaka tak ingin dicegah. Erna manyun. Dia sebenarnya paham, tapi ingin sekali-kali bersikap egois. Ingin menjadi prioritas Jaka yang nomor satu. Sementara Jaka masih menahan diri, padahal ingin segera mempertegas hubungannya dengan Erna yang baginya sudah berakhir pagi itu, saat Erna memutuskannya. Perasaannya terhadap Nuning yang semula samar dan abu-abu pun sudah terkuak jelas. Ia ingin rujuk dengan Nuning. Tapi tak tega membahasnya dulu, mengingat kondisi Erna yang belum pulih sep
Jaka mengendarai mobilnya menuju rumah Nuning, menjemput Bambang yang sudah siap menunggunya di teras. Jaka keluar mobil untuk menyapa Bu Parmi dan Pak Priyo. "Saya ke Jakarta dulu ya, Mak... Pak..." pamitnya sambil menjabat tangan kedua orang tua itu dengan hormat. Lalu mencari-cari sosok Nuning dengan tatapannya yang memindai ke dalam rumah."Hati-hati di jalan ya. Semoga lancar semua urusanmu di Jakarta," ujar Bu Parmi sambil mengusapi pundak Jaka."Terima kasih doanya, Mak. Emak juga semoga lekas sembuh," jawab Jaka dengan tersenyum."Yuk, berangkat," kata Bambang sambil membuka pintu mobil.Jaka menganguk lalu melongok ke dalam rumah. Tersenyum melihat Nuning yang baru muncul, berpakaian rapi dengan sebuah tote bag di bahunya. "Aku ikut," kata perempuan itu sebelum Jaka sempat bertanya. Membuat Jaka tambah berseri-seri, senang Nuning mengantarnya ke bandara.Sepanjang perjalanan, Jaka yang duduk di sebelah Bambang tak hentinya mena
"Selamat malam, Nyonya Vincent? Saya Suryo. Saya ditugaskan langsung oleh Tuan Vincent sebagai sopir Nyonya selama di Jakarta," sapa seorang bapak-bapak berpakaian safari yang menjemputnya di bandara. "Selamat malam, Pak Suryo. Iya, Vincent juga sudah menelepon saya tadi, katanya Bapak sudah menunggu. Kayaknya saya pernah melihat Bapak?" "Kita pernah bertemu sekali, dulu saat saya menyopiri Tuan untuk menjemput Nyonya di kantor polisi." "Ohh, iya..." "Apakah ada kopor atau barang bawaan lain yang bisa saya bawakan, Nyonya?" "Nggak, saya cuma bawa tas ini aja," jawab Nuning sambil mengedikkan bahunya yang sedang mencangklung tote bag. "Baik, Nyonya. Kalau begitu, saya ambil mobil dulu." "Oke, saya tunggu di depan," jawab Nuning. Kemudian bergegas menuju area penjemputan kendaraan pribadi sambil memindai sekitar dengan tatapannya yang cemas. Pikirannya gelisah selama menunggu Pak Suryo. 'Jangan sampai ketemu Jaka.
"Apa yang sudah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia ...." ujar Nyonya Rose lirih, tapi Nuning bisa merasakan ketegasan dalam suaranya. "Aku menentang perceraian kalian. Sudah cukup, anggap saja aku tak pernah mendengar tentang ini," pungkas Nyonya Rose. Nuning menunduk karena udah mentok ide. 'Gawat... Kenapa jadinya serumit ini sih! Padahal Jaka sudah bilang ingin menikahiku. Aku juga menginginkannya. Aku nggak akan mengkhianatinya. Tapi, gimana ini?' Aha! Tiba-tiba saja Nuning punya ide cemerlang. "Tapi, Ma. Apakah itu akan tetap berlaku jika saya... mandul?" Ucapannya bagai bom atom yang meluluhlantakkan Nyonya Rose dengan keterkejutan hebat. Punggungnya yang terbiasa tegap seketika melunglai. Mleyot di sandaran kursi. Tekadnya yang tadi menyala-nyala pun meredup, nyaris padam. "Aku memang ibu yang buruk..." ujarnya dengan menunduk sambil memijiti kening. "Padahal, Vincent anak yang sangat baik. Sejak kecil dia jaran
Vincent tersenyum seraya melambai-lambaikan tangannya di layar."Ngapain malam-malam gini menghubungiku? Udah jam 12 nih," dengus Nuning menutupi rasa canggungnya. Tak menyangka bisa melihat Vincent lagi setelah sekian lama. Sinyal di Jakarta bagus, sehingga gambar videonya menjadi jelas dan suaranya pun jernih terdengar.Vincent terkekeh. "Di sini belum selarut itu, kok .... Waktu di Milan kan lima jam lebih lambat dari Jakarta," katanya membela diri. Lalu terdiam dan menatap Nuning dengan boxy smile-nya khas.Nuning jadi kikuk dipandangi sedemikian rupa. "Apaan lihat-lihat?" ujarnya mulai tersipu."Nggak boleh?" goda Vincent dengan menajamkan tatapannya. Membuatnya semakin tampan."Nggak!" Nuning buang muka. Takut tergoda."Dih... Emang kenapa?" Vincent tertawa lirih. Suaranya masih saja merdu dan membius.'Duhai hatiku ... tenanglah ... Dia memang tampan, tapi kau sudah punya Jaka! Jangan serakah, dong!' Nuning me
"Maaf Mama nggak bisa mengantarmu ke bandara," ujar Nyonya Rose saat Nuning berpamitan pulang. "Iya, Ma. Nggak apa-apa. Mama juga kelihatannya masih capek dan butuh istirahat." Nyonya Rose mengangguk dan tersenyum. "Sampaikan salamku buat orangtuamu. Terutama emakmu. Semoga lekas sembuh," ujarnya terdengar tulus. Nuning mengangguk dan balas tersenyum. Lalu masuk ke dalam Camry hitam yang telah menunggunya. "Ayo berangkat, Pak," katanya kepada Pak Suryo. "Nyonya nggak bawa kopor?" tanya Pak Suryo terdengar heran. "Nggak, Pak." Nuning memang sengaja tak membawa barang banyak supaya nggak mengundang kecurigaan orangtuanya di kampung. Toh cuma menginap sehari saja. Nuning dan Bambang kompakan bohong, bilang ke orangtuanya kalau Nuning sedang menginap di rumah kawan lamanya di Kalianda. Orangtuanya percaya karena Bambang bilang dia sendiri yang mengantar Nuning sampai rumah temannya. Sepanjang perjalanan, Nuning tertidur. Sebab dia
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m