Home / Romansa / Pasutri Jadi-jadian / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of Pasutri Jadi-jadian: Chapter 121 - Chapter 130

185 Chapters

121. Gelisah yang Mendekap

Ririn menarik diri dari pelukan Bambang, lalu menghapus air matanya. Bambang mengulurkan tangan, mengusapi air mata Ririn yang masih menetes. Lalu tertegun saat Ririn mengangkat wajahnya, menatap Bambang dengan sorot mata yang tiba-tiba terasa menyalahkan dengan ketajaman yang menghujam. “Kenapa kau harus sebaik itu kepadaku?” desisnya terdengar membingungkan dan seperti bukan Ririn, ditambah dengan tawanya yang terdengar getir.Bambang sempat berpikir wanita ini kesurupan jin tambak. Tapi bulu kuduknya baik-baik saja, nggak merinding. “Dek, kamu tuh kenapa?” tanyanya dengan nada tenang. Tapi Ririn malah kembali menangis. Bambang menghela napas sabarnya. Melelahkan. Menghadapi wanita itu ternyata melelahkan. Apalagi dengan emosinya yang naik turun kayak gini. Tapi anehnya, Bambang menyukai kelelahannya ini. “Dek, kalau ada masalah ngomong aja, kali aja aku bisa bantuin?”“Kamu nggak bakal bisa bantu, Mas!”“C
Read more

122. Titah Sang Nyonya

“Rin, sini sebentar,” panggil Nuning dari teras rumah. “Kamu nggak kemana-mana kan hari ini?” tegurnya dengan tatapan yang membuat baby sitter itu sedikit gemetar. Sang nyonya jarang sekali memanggil namanya, biasanya Nuning memanggilnya dengan sebutan ‘Ncus’, menyamai panggilan Dennis untuknya.“Ti-tidak, Nyonya,” jawabnya gugup. Untung saja dia menolak ajakan Bambang jalan-jalan ke luar hari ini. Ririn sudah menerimanya sebagai kekasih kemarin, namun dia ingin merahasiakan dulu hubungan mereka dari semua orang.“Jaga Dennis baik-baik, kalau si Uncle Jack mengajaknya keluar main layangan, jangan boleh. Hari ini Dennis main di rumah saja. Ntar minta tolong Uncle Bams buat memompa kolam renangnya Dennis, biar Dennis sibuk berenang saja.”“B-baik, Nyonya,” angguk Ririn, lalu kembali masuk ke dalam rumah, menghampiri Dennis yang sedang menonton acara kartun favorit dan menyuapinya. Sam
Read more

123. Dalam Sebuah Pelarian

Jaka berlari-lari kecil menyusuri kebun, tempat bermainnya semasa kecil dulu bersama Nuning. Dia harus lekas bertemu dan bicara dengannya. Ingin meraih izinnya agar diperbolehkan kembali bermain dengan Dennis. Tangisan Dennis masih terasa menggema di telinganya. Kesedihan balita itu terasa menyiksanya. Membuatnya semakin tak sabar menemukan Nuning.“Ning ...?” panggilnya sambil berdecak malas. Sepatu sport mahalnya jadi belepotan tanah karena melalui banyak kubangan bekas hujan semalam. “Ngapain sih dia ke tempat kayak gini? Dah jadi nyonya milyader, bukannya main ke mall aja atau berwisata ke mana kek, malah balik lagi ke kebun becek. Ning ... Nuning,” gumam Jaka mulai dongkol sambil geleng-geleng kepala. “Ngapain coba dia ke tempat kayak gini, mana sepi ... sendirian pula.," gerutunya. "Ning ...?” panggilnya lagi.Jaka melewati jalan setapak yang membelah sebuah kebun. Ilalang mulai meninggi di sekitarnya. Musin hujan membuat rumpu
Read more

124. Hidupmu adalah Nyawaku

Begitu tenggelam ke dalam kali, Nuning menendang-nendang, berusaha berenang. Tetapi secara tiba-tiba kakinya sekaku pohon, kram! Sangat sulit digerakkan. Sementara arus air kali begitu jemawa menyeretnya tanpa pengampunan dan belas kasih. Tubuhnya yang ringan terombang-ambing hebat di kedalaman air kali yang kemudian menenggelamkannya. Nuning melambaikan tangan ke permukaan kala mendengar suara Jaka memanggilnya. Dia bisa merasakan keputusasaan dalam suara lelaki itu, seputus asa dirinya yang terus-terusan dipermainkan arus kali yang semakin meliar. Seliar ketakutannya saat ini. ‘Tidak, jangan sekarang! Aku tak mau mati sekarang!’ batinnya panik menyadari kiamatnya sudah didepan mata. Namun, dia enggan tunduk begitu saja kepada sang arus yang dengan berang mencengkeram, mengaduk, dan meremasnya dengan ketakutan yang menggigit harapan hidupnya detik itu. “Jak!” panggilnya saat kepalanya berhasil menyembul ke permukaan. Nuning mengangkat tangan setinggi-tingginya. “Jak!” pangg
Read more

125. Melindas Jarak

“Jangan konyol, Ning. Kamu nggak akan bisa jalan dengan kondisi kayak gini. Kamu bisa melukai telapak kakimu. Apalagi, kita tadi terseret arus cukup jauh, butuh perjalanan panjang untuk sampai ke rumah. Naik sajalah ke punggungku, kayak biasanya,” bujuk Jaka. Tetapi, Nuning bersikeras menolak. Padahal dia bertelanjang kaki, kedua sepatu bootsnya hilang di dalam kali. Jaka menuntun Nuning yang ingin mencoba berjalan. Tapi baru juga selangkah, Nuning sudah mengaduh sambil meringis dan mencengkeram lengan Jaka erat-erat, menahan nyeri yang merambati kakinya. Juga, kepalanya yang masih pusing. Jaka membuang napas. “Sudahlah!” omelnya sambil menggendong Nuning begitu saja. Nuning terkesiap saat tubuhnya terayun dengan tiba-tiba dan tahu-tahu saja sudah dalam gendongan Jaka. “J-jak, nanti ... kalau ada orang yang lihat gimana, mereka nanti bisa menyangka yang nggak-nggak.” Nuning terlihat kalut. “Sempat-sempatnya kamu mikiran apa kata orang dalam kondisi da
Read more

126. Jeritan Dennis

Jaka mengusapi wajah Nuning yang digenangi air matanya yang menderas setelah ciuman mereka berakhir. Tiada sedikitpun kepuasan yang mereka dapati selain luka dengan rasa nyerinya yang bertubi-tubi. Jaka pun merengkuhnya dalam pelukan saat tangis Nuning semakin hilang kendali hingga membuat tubuh mungilnya terguncang hebat. Jaka pun mengetatkan pelukannya dalam kebisuan. Tiada menemukan penghiburan yang sanggup membunuh segala sakit yang mendera mereka sampai sekejam ini. “Jak ...,” isak Nuning dalam pelukannya. “Bermainlah dengan Dennis sepuas-puasnya, dia ...” Nuning tersedu lagi, “dia anakmu, Jak,” akunya dengan hati tersayat-sayat. Akan tetapi, Jaka cuma tertawa lirih. “Aku tahu, Sayang ...,” bisiknya sambil mengecup puncak kepala wanita itu. Sekonyong-konyong Nuning membeku. Lalu menarik diri dalam pelukan Jaka dan terperangah menatapnya. “K-kau ... tahu?” Lelaki itu mengangguk sembari menatap Nuning dalam-dalam. “Dennis sangat mirip denganku dala
Read more

127. Rencana Tuan Besar

Ada rasa kosong merasuki perasaan Nuning kala kembali ke rumah besarnya. Terlebih masih dengan ketiadaan Vincent. Helda tadi menelepon jika Vincent belum bisa kembali ke Jakarta karena masih ada beberapa keperluan di Milan. “Tuan Vincent menyampaikan permintaan maafnya, Nyonya. Beliau akan segera menelepon begitu ada waktu. Saat ini Tuan masih sangat sibuk,” jelas Helda yang cuma disahuti ‘iya-iya’ saja oleh Nuning. Dia sudah mulai terbiasa tentang ini. Sepertinya, Vincent sudah kembali menjadi dirinya sendiri yang workaholic. “Mestinya aku tak perlu kaget lagi soal itu,” gumamnya sambil melemparkan ponselnya ke nakas, menarik selimut, dan memeluk gulingnya. Lalu mencoba tidur, namun matanya menolak digerus kantuk.Membaca. Biasanya Nuning akan sangat mengantuk begitu membuka buku. “Ah, sekalian  belajar deh. Biar otakku bisa berguna pas semesteran nanti,” gumamnya sambil meraih buku perpajakan. “Ck .
Read more

128. Hari Terakhir

“Ayaaaah!”Nuning terkesiap mendengar suara ramai Dennis di luar kamarnya. Ah, akhirnya suaminya pulang juga. Bibirnya tak otomatis tersenyum seperti biasanya setiap kali Vincent kembali dari perjalanan bisnisnya yang panjang. Masih kesal karena Vincent tak pernah meneleponnya lagi, sejak Helda memberitahu jika dia sedang terjebak salju di Devon.Nuning menggigit bibirnya dengan getir. Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba detak dadanya berdebar dengan cara yang tak biasa saat memikirkan suaminya?“Halo, Sayang?” sapa Vincent dengan boxy smile-nya yang khas begitu melihat istrinya nongol dari dalam kamar. Lalu mengulurkan tangannya yang terbebas untuk merengkuh Nuning yang sedang menujunya, sementara tangan satunya sedang menggendong Dennis yang sejak tadi bergelayut manja kepada sang ayah yang dirindukannya.“I love you,” bisik Vincent usai mengecup istrinya, lalu melingkarkan lengannya ke pinggang Nuning yang
Read more

129. Si Tamu Cantik

Hari-hari berikutnya menjadi rutinitas yang membosankan bagi Nuning. Menjalani kuliah yang tak disukainya, dan tak bisa mendampingi kegiatan Dennis karena puteranya sudah berada dalam pengawasan asisten khusus kiriman Nyonya Rose.Dia ingin membicarakannya dengan Vincent, namun suaminya sudah telanjur tenggelam dalam pekerjaannya. Vincent mendadak amnesia dengan segala janjinya untuk meluangkan waktu. Bahkan langsung mendekur begitu kepalanya menyentuh bantal. Semelelahkan itulah kesibukan seorang CEO. “Andai aku tak mendorongnya menerima posisi itu,” sesalnya sambil mengamati Vincent yang tertidur pulas.Nuning pun mematikan lampu dan menarik selimutnya. Matanya memang terpejam, tapi dia tak betul-betul terseret dalam tidur. Bisa mendengar jelas ponsel Vincent yang memanggil ramai pada dini hari ini hingga membuat suaminya terbangun.“Hmm, halo?” Vincent menjawab dengan suara paraunya, suara khas bangun tidurnya itu begitu seksi di telin
Read more

130. Jamuan Makan Malam

Sebenarnya, Nuning masih merasa kurang nyaman meninggalkan Dennis malam ini demi memenuhi sebuah undangan makan malam bersama suaminya. Cerita tentang Ririn masih terasa mengganggunya. Tak menyangka selama ini puteranya begitu dekat dengan seseorang yang sangat mungkin mencelakainya, semisal rencana penculikan demi mendapatkan tebusan seperti dalam film-film. Nuning menggelengkan kepalanya, mengusir rasa ngeri yang menggelayuti pikirannya.Nuning kembali fokus menatap cermin yang sedang memantulkan dirinya dengan gaya rambut ditata keatas hingga menonjolkan leher jenjangnya. Kemudian mengganti pakaiannya sesuai pilihan penata gaya pribadinya. Sejak menjadi Nyonya Vincent, berbusana sama pentingnya seperti makanan. Busana bukan hanya alat untuk mengekspresikan diri belaka, tapi juga guna menunjukkan status sosialnya sebagai keluarga Alessio. Dan demi, menjaga tatapan sang suami yang banyak digilai wanita di luar sana.“Cantik,” pujinya tak memungkiri keindah
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
19
DMCA.com Protection Status