Jaka berlari-lari kecil menyusuri kebun, tempat bermainnya semasa kecil dulu bersama Nuning. Dia harus lekas bertemu dan bicara dengannya. Ingin meraih izinnya agar diperbolehkan kembali bermain dengan Dennis. Tangisan Dennis masih terasa menggema di telinganya. Kesedihan balita itu terasa menyiksanya. Membuatnya semakin tak sabar menemukan Nuning.
“Ning ...?” panggilnya sambil berdecak malas. Sepatu sport mahalnya jadi belepotan tanah karena melalui banyak kubangan bekas hujan semalam. “Ngapain sih dia ke tempat kayak gini? Dah jadi nyonya milyader, bukannya main ke mall aja atau berwisata ke mana kek, malah balik lagi ke kebun becek. Ning ... Nuning,” gumam Jaka mulai dongkol sambil geleng-geleng kepala. “Ngapain coba dia ke tempat kayak gini, mana sepi ... sendirian pula.," gerutunya. "Ning ...?” panggilnya lagi.
Jaka melewati jalan setapak yang membelah sebuah kebun. Ilalang mulai meninggi di sekitarnya. Musin hujan membuat rumpu
Begitu tenggelam ke dalam kali, Nuning menendang-nendang, berusaha berenang. Tetapi secara tiba-tiba kakinya sekaku pohon, kram! Sangat sulit digerakkan. Sementara arus air kali begitu jemawa menyeretnya tanpa pengampunan dan belas kasih. Tubuhnya yang ringan terombang-ambing hebat di kedalaman air kali yang kemudian menenggelamkannya. Nuning melambaikan tangan ke permukaan kala mendengar suara Jaka memanggilnya. Dia bisa merasakan keputusasaan dalam suara lelaki itu, seputus asa dirinya yang terus-terusan dipermainkan arus kali yang semakin meliar. Seliar ketakutannya saat ini. ‘Tidak, jangan sekarang! Aku tak mau mati sekarang!’ batinnya panik menyadari kiamatnya sudah didepan mata. Namun, dia enggan tunduk begitu saja kepada sang arus yang dengan berang mencengkeram, mengaduk, dan meremasnya dengan ketakutan yang menggigit harapan hidupnya detik itu. “Jak!” panggilnya saat kepalanya berhasil menyembul ke permukaan. Nuning mengangkat tangan setinggi-tingginya. “Jak!” pangg
“Jangan konyol, Ning. Kamu nggak akan bisa jalan dengan kondisi kayak gini. Kamu bisa melukai telapak kakimu. Apalagi, kita tadi terseret arus cukup jauh, butuh perjalanan panjang untuk sampai ke rumah. Naik sajalah ke punggungku, kayak biasanya,” bujuk Jaka. Tetapi, Nuning bersikeras menolak. Padahal dia bertelanjang kaki, kedua sepatu bootsnya hilang di dalam kali. Jaka menuntun Nuning yang ingin mencoba berjalan. Tapi baru juga selangkah, Nuning sudah mengaduh sambil meringis dan mencengkeram lengan Jaka erat-erat, menahan nyeri yang merambati kakinya. Juga, kepalanya yang masih pusing. Jaka membuang napas. “Sudahlah!” omelnya sambil menggendong Nuning begitu saja. Nuning terkesiap saat tubuhnya terayun dengan tiba-tiba dan tahu-tahu saja sudah dalam gendongan Jaka. “J-jak, nanti ... kalau ada orang yang lihat gimana, mereka nanti bisa menyangka yang nggak-nggak.” Nuning terlihat kalut. “Sempat-sempatnya kamu mikiran apa kata orang dalam kondisi da
Jaka mengusapi wajah Nuning yang digenangi air matanya yang menderas setelah ciuman mereka berakhir. Tiada sedikitpun kepuasan yang mereka dapati selain luka dengan rasa nyerinya yang bertubi-tubi. Jaka pun merengkuhnya dalam pelukan saat tangis Nuning semakin hilang kendali hingga membuat tubuh mungilnya terguncang hebat. Jaka pun mengetatkan pelukannya dalam kebisuan. Tiada menemukan penghiburan yang sanggup membunuh segala sakit yang mendera mereka sampai sekejam ini. “Jak ...,” isak Nuning dalam pelukannya. “Bermainlah dengan Dennis sepuas-puasnya, dia ...” Nuning tersedu lagi, “dia anakmu, Jak,” akunya dengan hati tersayat-sayat. Akan tetapi, Jaka cuma tertawa lirih. “Aku tahu, Sayang ...,” bisiknya sambil mengecup puncak kepala wanita itu. Sekonyong-konyong Nuning membeku. Lalu menarik diri dalam pelukan Jaka dan terperangah menatapnya. “K-kau ... tahu?” Lelaki itu mengangguk sembari menatap Nuning dalam-dalam. “Dennis sangat mirip denganku dala
Ada rasa kosong merasuki perasaan Nuning kala kembali ke rumah besarnya. Terlebih masih dengan ketiadaan Vincent. Helda tadi menelepon jika Vincent belum bisa kembali ke Jakarta karena masih ada beberapa keperluan di Milan. “Tuan Vincent menyampaikan permintaan maafnya, Nyonya. Beliau akan segera menelepon begitu ada waktu. Saat ini Tuan masih sangat sibuk,” jelas Helda yang cuma disahuti ‘iya-iya’ saja oleh Nuning. Dia sudah mulai terbiasa tentang ini. Sepertinya, Vincent sudah kembali menjadi dirinya sendiri yang workaholic. “Mestinya aku tak perlu kaget lagi soal itu,” gumamnya sambil melemparkan ponselnya ke nakas, menarik selimut, dan memeluk gulingnya. Lalu mencoba tidur, namun matanya menolak digerus kantuk.Membaca. Biasanya Nuning akan sangat mengantuk begitu membuka buku. “Ah, sekalian belajar deh. Biar otakku bisa berguna pas semesteran nanti,” gumamnya sambil meraih buku perpajakan. “Ck .
“Ayaaaah!”Nuning terkesiap mendengar suara ramai Dennis di luar kamarnya. Ah, akhirnya suaminya pulang juga. Bibirnya tak otomatis tersenyum seperti biasanya setiap kali Vincent kembali dari perjalanan bisnisnya yang panjang. Masih kesal karena Vincent tak pernah meneleponnya lagi, sejak Helda memberitahu jika dia sedang terjebak salju di Devon.Nuning menggigit bibirnya dengan getir. Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba detak dadanya berdebar dengan cara yang tak biasa saat memikirkan suaminya?“Halo, Sayang?” sapa Vincent dengan boxy smile-nya yang khas begitu melihat istrinya nongol dari dalam kamar. Lalu mengulurkan tangannya yang terbebas untuk merengkuh Nuning yang sedang menujunya, sementara tangan satunya sedang menggendong Dennis yang sejak tadi bergelayut manja kepada sang ayah yang dirindukannya.“I love you,” bisik Vincent usai mengecup istrinya, lalu melingkarkan lengannya ke pinggang Nuning yang
Hari-hari berikutnya menjadi rutinitas yang membosankan bagi Nuning. Menjalani kuliah yang tak disukainya, dan tak bisa mendampingi kegiatan Dennis karena puteranya sudah berada dalam pengawasan asisten khusus kiriman Nyonya Rose.Dia ingin membicarakannya dengan Vincent, namun suaminya sudah telanjur tenggelam dalam pekerjaannya. Vincent mendadak amnesia dengan segala janjinya untuk meluangkan waktu. Bahkan langsung mendekur begitu kepalanya menyentuh bantal. Semelelahkan itulah kesibukan seorang CEO. “Andai aku tak mendorongnya menerima posisi itu,” sesalnya sambil mengamati Vincent yang tertidur pulas.Nuning pun mematikan lampu dan menarik selimutnya. Matanya memang terpejam, tapi dia tak betul-betul terseret dalam tidur. Bisa mendengar jelas ponsel Vincent yang memanggil ramai pada dini hari ini hingga membuat suaminya terbangun.“Hmm, halo?” Vincent menjawab dengan suara paraunya, suara khas bangun tidurnya itu begitu seksi di telin
Sebenarnya, Nuning masih merasa kurang nyaman meninggalkan Dennis malam ini demi memenuhi sebuah undangan makan malam bersama suaminya. Cerita tentang Ririn masih terasa mengganggunya. Tak menyangka selama ini puteranya begitu dekat dengan seseorang yang sangat mungkin mencelakainya, semisal rencana penculikan demi mendapatkan tebusan seperti dalam film-film. Nuning menggelengkan kepalanya, mengusir rasa ngeri yang menggelayuti pikirannya.Nuning kembali fokus menatap cermin yang sedang memantulkan dirinya dengan gaya rambut ditata keatas hingga menonjolkan leher jenjangnya. Kemudian mengganti pakaiannya sesuai pilihan penata gaya pribadinya. Sejak menjadi Nyonya Vincent, berbusana sama pentingnya seperti makanan. Busana bukan hanya alat untuk mengekspresikan diri belaka, tapi juga guna menunjukkan status sosialnya sebagai keluarga Alessio. Dan demi, menjaga tatapan sang suami yang banyak digilai wanita di luar sana.“Cantik,” pujinya tak memungkiri keindah
Tuan Rain memang sudah mengetahui semua rencana Nuning, bahkan mendukungnya. Kala itu Tuan Rain mengajaknya bertemu di sela-sela jam makan siangnya, hanya untuk mengobrol sebagai seorang mertua dan menantu.“Kudengar, kau kesulitan menjalani kuliahmu. Sebenarnya apa masalahmu, Ning?” tanyanya hari itu, merontokkan kepercayaan diri Nuning seketika. Pertanyaan itu bagai menguliti kelemahan Nuning yang tak sanggup ditambal dengan apapun.‘Papa pasti kecewa, sebab aku terbukti tak mampu mengimbangi kecerdasan Vincent,’' pikirnya kalut.“Ning, aku ingin membantumu. Katakan saja sejujurnya apa yang ada dalam kepalamu, agar aku tahu bagaimana harus membantumu.”Senyum kebapakan dan kalimat sehalus sutera itupun meluruhkan ketakutan Nuning seketika. Sorot mata Tuan Rain yang begitu teduh menjadi oase tersendiri bagi Nuning. Sementara ia tak menemukan keteduhan seperti itu lagi di mata Nyonya Rose, yang kini lebih suka menekanny
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m