Beranda / Romansa / Pasutri Jadi-jadian / Bab 141 - Bab 150

Semua Bab Pasutri Jadi-jadian: Bab 141 - Bab 150

185 Bab

141. Menciptakan Monster

Nyonya Rose gemetar begitu Helda melaporkan kegagalannya mencegah kejadian di vila itu. Helda buru-buru memegangi nyonya besarnya. “Tenanglah dulu, Nyonya. Anda harus tetap sehat,” ujarnya sambil memapahnya ke sebuah sofa. Lalu Helda menelepon dapur dan meminta koki untuk membuatkan teh chamomile untuk sang nyonya.“Kau tak pernah gagal sebelumnya, Helda. Kenapa justru kau gagal untuk masalah sepenting ini?”“Maaf, Nyonya. Tuan Rain diam-diam menyingkirkan orang-orang saya, sehingga saya tak mengetahui apapun rencana beliau. Penyadap yang saya pasang di beberapa titik strategis pun tak ada yang bekerja, sepertinya Tuan Rain mencurigai kita. Untungnya masih ada satu penyadap yang masih aktif, dari situlah saya tahu jika Tuan Rain sedang menggiring Nyonya Vincent ke vila. Sementara Tuan Rain pun menyuruh Tuan Vincent untuk ke sana lebih dulu, sepertinya Tuan Rain bisa membaca jika Tuan Vincent bakal membawa serta Nona Carla ke sana.
Baca selengkapnya

142. Bukan Cinta Palsu

Vincent memasuki kamarnya dan melihat Nuning tengah berbaring dengan selang infus terpasang di salah satu lengannya. Melihat kedatangan Vincent, perawat yang sudah selesai mengganti cairan infusnya pun lekas pamit undur diri.Vincent bergerak mendekati Nuning, lalu duduk di sisi ranjang dan memandanginya cukup lama. Namun Nuning tak jua mengubah arah tatapannya, ia tetap memandang ke luar jendela kaca kamarnya dengan tatapan kosong. Vincent pun membuang napasnya dan memecah keheningan yang sejak tadi tercipta antara mereka. “Bagaimana kondisimu, Sayang? Sudah enakan?” tanyanya sambil mengulurkan tangan, membelai pipi istrinya yang tampak tirus. Lalu tersenyum tipis saat Nuning melengos, menolak sentuhannya.Pertanyaan Vincent justru kian mencabik perasaan Nuning dengan kekecewaan. Padahal dulu, kata-kata Vincent yang seperti ini terasa cepat menyembuhkan segala rasa sakit yang sedang menderanya. Tapi sejak melihat sendiri pengkhianatan lelaki itu, Nuning ju
Baca selengkapnya

143. Bakat yang Menurun dari Ayah

Nyonya Rose geleng-geleng kepala melihat hobi cucunya menumpuk barang-barang bekas di ruang bermainnya, lalu diam-diam menyuruh pelayan membuangnya. Membuat Dennis menangis sambil guling-guling di lantai. “Biar saja, biar dia disiplin, nanti jadi kebiasaan kalau dituruti. Memangnya dia mau jadi pemulung apa?” tegas Nyonya Rose. Tanpa peduli teriakan Dennis yang mencari-cari kemana gerangan botol-botol dan kotak bekas yang selama ini dia kumpulkan.Dennis pun ngambek saat pelajaran musiknya berlangsung. Dennis sama sekali tak mau menggerakkan tangannya di atas tuts piano. Lalu bocah itu berlari keluar rumah dan menghilang. Seluruh pelayan mencarinya dan menemukan dia nangkring di atas pohon mangga sambil menangis. Membuat orang-orang kerepotan membujuknya turun, tapi saat baby sitternya mengatakan dia boleh main layangan, Dennis turun dengan sendirinya dan menagih janji itu dengan gigih.Nyonya Rose bersedekap dari kejauhan, memandangi cucuya yang sedang men
Baca selengkapnya

144. Memungut Kegembiraan

Nuning memandangi kolam renang yang membiru di bawah sana, mendapati Vincent yang tengah berenang dari balkon kamarnya. Lelaki itu memang sangat menarik meski dilihat dari punggungnya saja. Percuma mencegah wanita lain agar tak menyukai suaminya itu. Sama percumanya dengan melarang Vincent agar tak membalas rayuan mereka.Nuning tersenyum sinis. Pasti banyak wanita di luar sana yang iri setengah mati karena justru wanita kampung serendah dirinyalah yang menjadi Nyonya Vincent. Tanpa mereka ketahui, Nuning harus membayar mahal ini semua dengan kemerdekaan hidupnya. Dia sekarang, hidup di sangkar emas.Nuning teringat pada hari Vincent mengutarakan perasaannya saat ia terkapar di Rumah Sakit di kawasan Gambir. Saat itu harapannya begitu membumbung tinggi. Angan-angannya menggapai awang-awang, bagai meraih gumpalan awan yang berserakan di langit. Tiba-tiba dia membayangkan betapa bahagia hidupnya nanti jika benar bisa menikah dengan lelaki sesempurna Vincent. Namun bersam
Baca selengkapnya

145. Plan B

Setiap pagi mulai menjelang, Nuning selalu menanamkan dalam dirinya, bahwa kereta kencananya telah berubah menjadi labu dan si cantik Cinderella dengan gaun indahnya telah kembali menjadi upik abu. Vincent bukan pangerannya, dan rumah ini bukanlah istananya. Dia sudah berdamai dengan kenyataan hidupnya yang baru. “Aku nggak akan biarin Vincent sesuka hatinya lagi!” tekadnya dalam hati.Setiap pagi, Nuning jogging mengitari halaman rumah yang luas, meskipun Vincent menyediakan treadmil dan perlengkapan fitness lainnya. Dia ingin sering-sering menyapa alam yang sejak kecil sudah menjadi sahabatnya. “Aaah. Selamat pagi duniaaa!”  Ia menghirup kesegaran udara sebanyak-banyaknya, hingga paru-parunya kenyang dan bahagia.Nuning mulai melatih lagi kelenturan ototnya. Konon katanya dibalik tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Tapi yang terjadi pada Nuning justru sebaliknya, dibalik jiwanya yang kuat, tubuhnya mudah untuk diajak kemba
Baca selengkapnya

146. Memperbaiki yang Rusak

“Denniiis!” Nuning berlari menuju sang buah hati yang telah lama direnggut darinya.“Bundaaa!” Dennis melorot dari gendongan Helda untuk menyambut Nuning.Nuning memeluk puteranya erat-erat dan menciuminya dalam-dalam sambil menangis. “Bunda kangen banget sama Dennis,” isaknya teramat bahagia.Helda tersenyum memperhatikannya. “Waktu kita tak banyak!” katanya sambil mengawasi helikopter yang siap mendarat menjemput mereka.Angin kencang menyapu mereka kala helikopter itu kian mendekat , Nuning pun memeluk puteranya erat-erat, seakan angin itu bisa menceraikan kembali pertemuannya dengan Dennis saja.“Ayo!” Helda memberi isyarat dengan tangannya. Lalu merengkuh tubuh Dennis dan menggendongnya agar meringankan langkah Nuning saat menaiki heli. Setelah memastikan mereka semua siap, Helda memberi kode dan si heli pun mulai mengangkasa lagi, meninggalkan sebuah atap gedung milik Sutomo Group.
Baca selengkapnya

147. Peluru Jahanam

“Vin!” pekik Nyonya Rose sambil memegangi lengan suaminya yang sedang ditodong pistol puteranya sendiri. Saat-saat seperti ini, membuatnya semakin merasa kehilangan Helda.“Sadarlah, Nak! Turunkan pistolmu. Mama mohon, Sayang ...,” ratap Nyonya Rose dengan tubuh menggigil. Namun kilatan siap membunuh justru tergambar jelas dalam sorot mata Vincent yang selama ini menyimpan luka tersembunyi dalam jiwanya.“Kenapa Papa bisa tetap memiliki istri seperti Mama sampai detik ini, sementara aku tidak boleh memiliki Nuning? Aku ingin dia selamanya sebagai istriku, sebagai satu-satunya wanita yang kucintai. Tapi, Papa malah membantunya menceraikanku,” desis Vincent sambil menatap papanya dengan bengis.Tuan Rain menengadahkan wajah, menatap dalam-dalam mata dingin puteranya yang tengah berdiri di depannya dengan senjata yang siap mematikan. “Nuning tak sama seperti mamamu, Nak. Nuning tak akan bisa seperti Mama. Itu ... sangat ber
Baca selengkapnya

148. Demi Kemanusiaan

Nuning mengikuti langkah Helda dengan perasaan yang masih saja was-was ketika wanita itu mengajaknya memasuki sebuah rumah dengan halaman yang sangat luas. Rumah yang sangat jauh dari Jakarta. Lampu menyala otomatis begitu mereka memasuki ruangan yang terasa hangat, berbanding terbalik dengan cuaca yang sedang dingin di luar sana. Mungkin karena lantai kayunya, atau permadani tebal yang sedang diinjaknya.Helda membawa Dennis yang tertidur lelap dalam dekapannya ke sebuah kamar. Nuning memandangi punggung Helda yang terlihat selalu tegap, seakan Dennis seringan kapas dalam gendongannya. Lalu wanita itu membaringkan Dennis dengan hati-hati, kemudian menoleh padanya. “Kau pasti lelah. Istirahatlah, Ning. Mandilah dulu dengan air hangat, aku akan menyiapkan makan malam,” katanya penuh perhatian..Mendengar ucapan dan sebutan Helda yang non formal padanya sejak hari itu, Nuning justru merasa tenang, seakan mendapat sahabat. Nuning sangat menghargai bantuan Held
Baca selengkapnya

149. Pusaran Perasaan

“Tenanglah, Ning. Kau sudah aman di sini. Kita berada di vila Tuan Rain. Orang-orang Vincent tak akan bisa menembus keamanan area ini,” kata Helda melihat kekhawatiran masih memayungi wajah Nuning yang tampak pucat dalam ketidaktenangannya.“Terima kasih untuk semuanya, Helda. Bagaimana cara membalas kebaikanmu ini?"“Jalani hidupmu dengan kegembiraan bersama Dennis. Sudah. Sekarang makanlah.”Melihat Nuning cuma memandangi lasagna di piringnya, Helda pun mendesah mengerti.“Aku tak pandai mengolahnya. Jangan kau bandingkan ini dengan olahan keluarga Alessio.”Nuning bukan memikirkan tentang rasa lasagna itu bakal seperti apa, tapi memikirkan segala kenangannya atas Vincent yang sangat menyukai berbagai olahan pasta.“Menangislah kalau ingin menangis, Ning. Aku tahu yang kau alami kemarin-kemarin itu bukanlah hal mudah. Tak perlu kau tahan-tahan lagi, menangislah.”“
Baca selengkapnya

150. Menemukan Keluarga Baru

Nuning memanfaatkan lahan seluas 1.200 meter persegi hadiah dari Tuan Rain yang terletak di Buleleng, Bali, untuk berbisnis. Kebetulan letaknya cukup strategis, dekat dengan titik-titik wisata di tempat itu. Bali bagian utara yang berbatasan dengan laut Jawa itu mungkin belum sepopuler Bali bagian selatan. Namun di situ terdapat tempat-tempat wisata yang tak kalah menarik. Selain pemandangan pantai serta pemandangan laut, kabupaten Buleleng juga terkenal sebagai lokasi terbaik melihat pemandangan air terjun. Juga menawarkan pemandian kolam air panas alami. Objek wisata sawah terasering juga dapat ditemukan di kabupaten ini. Nuning pun membangun ‘home stay’ di atas tanahnya yang masih kosong, meski sederhana tapi artistik dan dilengkapi fasilitas kolam renang yang cantik. Meski Nuning tak berjiwa bisnis sejati, tapi ia merasa keputusannya ini tepat. Apalagi penginapannya terasa nyaman untuk disinggahi. Meski dari luar terkesan sederhana tapi Nuning melengkapi kamar-kamarnya d
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
19
DMCA.com Protection Status