Home / Romansa / Hati Yang Terpilih / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Hati Yang Terpilih: Chapter 31 - Chapter 40

57 Chapters

Bab 31

“Sebetulnya … aku hanya ragu, Ky. Ragu dan kecewa terhadap Kafka. Tapi perasaan cintaku tak berubah kepadanya,” lirih Nazwa. “Jadi … Kamu memilih Kafka?” tanya Razky mencoba menegaskan. Nazwa mendesah. Ia menundukkan kepalanya. Tak mengiyakan, tak juga mengatakan tidak. Nazwa mengangkat bahunya dan perlahan menatap Razky gamang. Razky pun mengembuskan napasnya. Ia mengerti kerisauan yang sedang dirasakan Nazwa.  Ah, Razky! kamu malah menambah beban pikirannya! Maki Razky pada dirinya. “Baiklah,” ucap Razky kemudian. “Angel, maaf jika pernyataanku malah menambah bebanmu. Dengar, abaikan saja perkataanku tadi ya. Kamu benar, cinta adalah hal yang tidak bisa dipaksakan. Aku … Aku rasa, aku bisa menerima keputusanmu tentang perasaanku. Toh, sedari awal pun aku tak berani berharap kamu membalas perasaanku,” kekeh Razky terdengar miris. “Jadi … Jangan kuatir ya. I’m fine,” ujar Razky meyakinkan Nazwa. “Terima kasih, Ky,” ucap Nazwa tulus. “Sama
Read more

Bab 32

“Maksudnya dengan melepaskan?” desak Ibu. “Saya bersedia bercerai dengan Rafi,” jawab Renata dengan lirih.  “Apa alasannya?” tanya Ibu. “Pertama, karena Rafi tidak mencintai saya, Bu. Kedua, Rafi belum bisa melupakan Nazwa, hingga sampai saat ini Rafi belum …,” “Renata, cukup!” perintah Rafi. “Tapi, Fi …,” “Cukup, Re. Itu adalah masalah yang sangat pribadi,” tekan Rafi. “Tapi dengan begitu mereka bisa mengerti kesungguhanmu untuk kembali menikahi Nazwa, Rafi!” kekeh Renata. “Tolong,” ujar Rafi memohon. Renata mengerjapkan matanya. Ada apa dengan Rafi? Tak biasanya ia bersikap seperti ini, tanyanya dalam hati. Ia menatap Rafi sesaat. Yang ditatap mengerjapkan matanya memohon untuk dituruti. “Baiklah,” katanya mengalah. “Bu, intinya, Renata bersedia berpisah dengan saya jika Nazwa dan saya rujuk kembali,” tegas Rafi. “Assalamu’ … alaikum,” suara salam dari arah pintu itu terdengar mengecil.
Read more

Bab 33

Kafka memandang Nazwa tak percaya. Benarkah apa yang Nazwa katakan? Ia-kah penyebab semua ini? Ia-kah yang membuat Rafi bisa kembali menikahi Nazwa? Tapi ia hanya mengutamakan perasaan Salsa dan Hanif! Salahkah itu? “Tidak!” Kafka menggelengkan kepalanya. “Ini bukan kesalahanku!” tolaknya. “Lalu kesalahan siapa menurutmu?” ujar Nazwa menjadi sedikit angkuh. Ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Kafka. Tapi Kafka pun tak mampu menjawab pertanyaan Nazwa. Ia hanya terdiam terpaku menatap perempuan yang tak lagi menjadi tunangannya. “Sudahlah. Lapangkan saja hatimu. Terimalah , mungkin jodoh kita hanya sampai di sini,” lirih Nazwa. Kafka memandang Nazwa dalam. “Naz, aku ingin tahu. Apa aku masih ada di hatimu?”taut Kafka. “Untuk apa? Agar kamu bisa kembali merebut aku dari Rafi, begitu?” decih Nazwa. “Kenapa tidak?” tanya Kafka balik. “Jangan menjadi laki-laki brengsek, Kaf! Jangan buat nilaimu berubah di mataku!
Read more

Bab 34

“Tapi Re, kamu pasti sedih dan terluka saat ini. Iya … kan?” tanya Rafi hati-hati. “Tentu saja, Fi. Siapa yang tak sedih dan terluka jika harus berpisah dengan suami yang dicintainya?” jawab Renata lirih.  Tapi sedetik kemudian ia tersenyum dan berkata, “Rafi, aku rasa jika perceraian ini dilakukan lebih cepat, akan lebih baik. Bukankah dengan begitu aku akan  lebih cepat mengobati rasa sakit itu?” paparnya dengan senyum mengembang tetapi justru terlihat pilu. Rafi menatap Renata nanar. Ia tak bisa mengucapkan satu kata pun untuk menghibur perempuan yang begitu tulus mencintainya. Yang sayangnya, ia tak bisa membalas perasaan itu. “Baiklah Re, jika itu yang kamu mau. Aku akan urus secepatnya. Tapi, bagaimana nanti kita memberitahu ibu dengan perceraian ini?” “Kamu jangan kuatir. Nanti aku yang akan menjelaskan kepada ibu.” Renata menenangkan Rafi. Rafi terdiam seperti berpikir dan kemudian menggeleng. “Tidak. Kita berdua yang akan menjelaska
Read more

Bab 35

“Berengsek!” Kafka memukul wajah Rafi keras. Emosinya tersulut dengan jawaban Rafi yang dianggap meledek dirinya. “Kafka!” Nazwa berteriak kaget dengan gerakan Kafka yang memukul Rafi dengan tiba-tiba. Rafi terhuyung mendapat pukulan di pipinya. Ia tak menduga Kafka akan memukulnya seperti itu. Dirasakannya perih di ujung bibirnya. Ia merabanya. Didapatinya ujung telunjuknya memerah. Ia menatap Kafka dengan geram. Ia mendecih, “Sok jagoan!” “Kurang pukulan itu, Fi? Sampai kamu meminta lagi?! sarkas Kafka. “Kafka, Rafi! Sudah! Kalian tidak malu dijadikan tontonan, hah?” hardik Nazwa. Ia menunjukkan dengan pandangan matanya ke sekitar tempat mereka berada. Beberapa orang telah memperhatikan mereka dengan seksama. “Biar saja mereka tahu, laki-laki macam apa Rafi ini!” seru Kafka penuh emosi tak mempedulikan keadaan sekitar. “Kafka!” sentak Nazwa. “Nazwa! Dia tidak hanya mengejekku, tetapi juga merendahkanmu sebagai wanita!” pekik
Read more

Bab 36

Sesampainya di rumah, Nazwa mendapati bapak dan ibu sudah menunggunya di ruang keluarga. Ia mencium ke dua telapak tangan bapak dan ibu bergantian setelah mengucapkan salam sewaktu masuk ke dalam rumah. Menaruh kunci mobil di meja yang terletak di hadapannya dan mengambil tempat di salah satu bangku yang kosong. Bapak menaruh koran yang tadi dibacanya. Memandang Nazwa, putri satu-satunya yang ia miliki. Sedari kecil, putri semata wayangnya ini memang sudah terlihat ketegasannya, persis seperti dirinya. Tidak suka basa-basi dan berani menghadapi setiap permasalahan yang dihadapinya. “Aku ingin tahu alasan Bapak memilih Rafi,” ujar Nazwa tenang. “Karena Rafi adalah ayah dari anak-anakmu.” Bapak pun menjawab dengan tenang. “Tapi Rafi sudah menikah dan mempunyai istri, Pak,” cetus Nazwa. “Lalu kenapa? Rafi sendiri masih ingin kembali rujuk denganmu,” sahut Bapak santai. “Bapak tidak mempertimbangkan perasaaan Renata, istri dari Rafi? Bapak
Read more

Bab 37

Rafi sedang berada di ruang olahraga saat didengarnya pekikan Renata dari ruang tamu. “Ibu …” terdengar suara Renata begitu riang dan senang. Ibu? Maksudnya . . . Rafi berpikir cepat. “Raf … Rafi! Ibu datang!” kini terdengar suara Renata memanggilnya. “Hush, Renata! Yang sopan memanggil suami itu. Jangan namanya saja!” suara omelan dari seseorang yang dipanggil Ibu. Itu suara Ibu. Ibu yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang tanpa membedakan dengan anak kandungnya sendiri. Ibu angkatnya sekaligus Ibu dari Renata, perempuan yang sekarang menjadi istrinya. “Ah, Ibu. Rafi saja tidak keberatan kok,” kilah Renata dengan tawa kecilnya. “Ibu mau minum apa? Mau wedang jahe atau mau yang dingin, sirup mungkin? Re buatkan ya?” tawar Renata. “Ibu merasa jadi tamu, Re. Merepotkan kamu. Nanti saja, Ibu ambil sendiri,” tolak Ibu. “Ngga kok, Bu. Re sekalian mau buatkan Raf, eh Mas Rafi minuman juga kok.” Renata buru-buru menambah
Read more

Bab 38

“W*’alaikumsalam. Tante, apa benar kalau papa akan menikah kembali dengan mama? Kalau iya, bagaimana dengan pernikahan papa dengan tante? Tetap bersama atau berpisah?” tanya Hanif tanpa memberi jeda. Ibu menatap Renata dengan berjuta tanya. Sementara Renata terdiam membeku mendengar pertanyaan Hanif. “Tante … Tante,” Hanif kembali berbicara. “Re,” usik Ibu menghentikan keterdiaman Renata. Renata mengedipkan matanya. Mencoba mengembalikan kesadarannya yang tadi sempat menghilang akibat pertanyaan Hanif. Tapi bukan pertanyaan Hanif sejujurnya yang menjadi sebab, tapi kehadiran Ibu saat ini yang mendengar pertanyaan Hanif. “Eh, Hanif. Maaf. Saat ini tante belum bisa berbicara. Nanti tante telpon lagi ya?” sahut Renata tanpa menjawab pertanyaan Hanif sebelumnya. “Iya, Tante. Hanif tunggu ya jawaban Tante. Assalamu’alaikum,” salam Hanif. “W*’alaikumsalam.” Renata mengembuskan napasnya. Mencoba tenang agar bisa menghadapi pertanyaan Ibu. Pastilah Ibu akan bertanya tentang ucapan Hanif
Read more

Bab 39

“Kafka!” tegur Nazwa tak suka. “Naz, bulan depan aku sudah harus berangkat ke Malaysia!” desak Kafka. “Untuk berapa lama?” “Sekurangnya tiga tahun, tapi bisa lebih.” Nazwa menghembuskan napasnya. Ia bingung. Oke, ini adalah suatu pilihan. Dimana ia bisa bersama dengan Kafka dan anak-anaknya membangun sebuah keluarga. Tapi di sisi lain, ia mengorbankan nama baik Bapak, Ibu dan restu mereka. Jujur, ia sangat ingin memiliki sebuah keluarga bersama Kafka, tapi ia juga tak ingin kehilangan hubungan dengan Bapak dan Ibu. Ia tahu, jika ia memilih opsi yang ditawarkan Kafka, Bapak dan Ibu tidak akan lagi menganggapnya sebagai anak. “Nazwa, aku sungguh-sungguh tak ingin kehilanganmu,” harap Kafka. “Aku pun begitu, Kaf. Tapi, menikah tanpa restu Bapak dan Ibu bukanlah suatu opsi untuk masalah kita saat ini,” terang Nazwa. “Tapi kamu tahu, tak ada opsi lain, Naz,” desak Kafka sekali lagi. “Kafka,” Nazwa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jangan seperti ini,” pinta Nazwa tak menyukai desakan
Read more

Bab 40

“Bagaimana dengan rencana perceraian kita jika ternyata memang benar aku hamil?” tanya Renata dengan mimik bingung.Rafi terkesiap dengan pertanyaan Renata. Ya, bagaimana dengan rencana perceraian mereka nanti? Terlebih rencana pernikahannya dengan Nazwa. Jika memang Renata hamil, apakah mungkin ia bisa meninggalkannya begitu saja? Laki-laki bahkan ayah macam apa yang meninggalkan anaknya? Tapi, ia tak ingin melepaskan kesempatan untuk mendapatkan Nazwa kembali. Ia tak ingin keluarga kecilnya dengan Nazwa kembali tercerai berai. Tapi, apa Nazwa mau bersedia di madu? Apa Renata tetap ingin melepaskannya? Apa …Apa … dan begitu banyak kata “apa” berseliweran di kepalanya. Ah, Rafi! Mengapa jadi seperti ini?! Tanyanya pada diri sendiri.“Fii …,” usik Renata dengan keterdiaman Rafi.“Eh, ya …,” tergeragap Rafi membalas sapaan Renata.“Kita sudah dipanggil masuk,” ucap Renata menjelaskan.“Masuk kemana?” tanya Rafi bingung.“Kamu sedang mikir apa sih, Fi? Ya masuk ke ruangan dokter-lah. Kit
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status