Rafi sedang berada di ruang olahraga saat didengarnya pekikan Renata dari ruang tamu.
“Ibu …” terdengar suara Renata begitu riang dan senang.
Ibu? Maksudnya . . . Rafi berpikir cepat.
“Raf … Rafi! Ibu datang!” kini terdengar suara Renata memanggilnya.
“Hush, Renata! Yang sopan memanggil suami itu. Jangan namanya saja!” suara omelan dari seseorang yang dipanggil Ibu.
Itu suara Ibu. Ibu yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang tanpa membedakan dengan anak kandungnya sendiri. Ibu angkatnya sekaligus Ibu dari Renata, perempuan yang sekarang menjadi istrinya.
“Ah, Ibu. Rafi saja tidak keberatan kok,” kilah Renata dengan tawa kecilnya. “Ibu mau minum apa? Mau wedang jahe atau mau yang dingin, sirup mungkin? Re buatkan ya?” tawar Renata.
“Ibu merasa jadi tamu, Re. Merepotkan kamu. Nanti saja, Ibu ambil sendiri,” tolak Ibu.
“Ngga kok, Bu. Re sekalian mau buatkan Raf, eh Mas Rafi minuman juga kok.” Renata buru-buru menambah
Hi, my lovely readers ... Mohon maaf untuk absensinya ya. Beberapa hal tidak bisa ditinggalkan di dunia nyata, hingga mempengaruhi jadwal publish cerita ini. Mugi ke depannya bisa kembali sesuai jadwal. Haturnuhun sudah setia.
“W*’alaikumsalam. Tante, apa benar kalau papa akan menikah kembali dengan mama? Kalau iya, bagaimana dengan pernikahan papa dengan tante? Tetap bersama atau berpisah?” tanya Hanif tanpa memberi jeda. Ibu menatap Renata dengan berjuta tanya. Sementara Renata terdiam membeku mendengar pertanyaan Hanif. “Tante … Tante,” Hanif kembali berbicara. “Re,” usik Ibu menghentikan keterdiaman Renata. Renata mengedipkan matanya. Mencoba mengembalikan kesadarannya yang tadi sempat menghilang akibat pertanyaan Hanif. Tapi bukan pertanyaan Hanif sejujurnya yang menjadi sebab, tapi kehadiran Ibu saat ini yang mendengar pertanyaan Hanif. “Eh, Hanif. Maaf. Saat ini tante belum bisa berbicara. Nanti tante telpon lagi ya?” sahut Renata tanpa menjawab pertanyaan Hanif sebelumnya. “Iya, Tante. Hanif tunggu ya jawaban Tante. Assalamu’alaikum,” salam Hanif. “W*’alaikumsalam.” Renata mengembuskan napasnya. Mencoba tenang agar bisa menghadapi pertanyaan Ibu. Pastilah Ibu akan bertanya tentang ucapan Hanif
“Kafka!” tegur Nazwa tak suka. “Naz, bulan depan aku sudah harus berangkat ke Malaysia!” desak Kafka. “Untuk berapa lama?” “Sekurangnya tiga tahun, tapi bisa lebih.” Nazwa menghembuskan napasnya. Ia bingung. Oke, ini adalah suatu pilihan. Dimana ia bisa bersama dengan Kafka dan anak-anaknya membangun sebuah keluarga. Tapi di sisi lain, ia mengorbankan nama baik Bapak, Ibu dan restu mereka. Jujur, ia sangat ingin memiliki sebuah keluarga bersama Kafka, tapi ia juga tak ingin kehilangan hubungan dengan Bapak dan Ibu. Ia tahu, jika ia memilih opsi yang ditawarkan Kafka, Bapak dan Ibu tidak akan lagi menganggapnya sebagai anak. “Nazwa, aku sungguh-sungguh tak ingin kehilanganmu,” harap Kafka. “Aku pun begitu, Kaf. Tapi, menikah tanpa restu Bapak dan Ibu bukanlah suatu opsi untuk masalah kita saat ini,” terang Nazwa. “Tapi kamu tahu, tak ada opsi lain, Naz,” desak Kafka sekali lagi. “Kafka,” Nazwa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jangan seperti ini,” pinta Nazwa tak menyukai desakan
“Bagaimana dengan rencana perceraian kita jika ternyata memang benar aku hamil?” tanya Renata dengan mimik bingung.Rafi terkesiap dengan pertanyaan Renata. Ya, bagaimana dengan rencana perceraian mereka nanti? Terlebih rencana pernikahannya dengan Nazwa. Jika memang Renata hamil, apakah mungkin ia bisa meninggalkannya begitu saja? Laki-laki bahkan ayah macam apa yang meninggalkan anaknya? Tapi, ia tak ingin melepaskan kesempatan untuk mendapatkan Nazwa kembali. Ia tak ingin keluarga kecilnya dengan Nazwa kembali tercerai berai. Tapi, apa Nazwa mau bersedia di madu? Apa Renata tetap ingin melepaskannya? Apa …Apa … dan begitu banyak kata “apa” berseliweran di kepalanya. Ah, Rafi! Mengapa jadi seperti ini?! Tanyanya pada diri sendiri.“Fii …,” usik Renata dengan keterdiaman Rafi.“Eh, ya …,” tergeragap Rafi membalas sapaan Renata.“Kita sudah dipanggil masuk,” ucap Renata menjelaskan.“Masuk kemana?” tanya Rafi bingung.“Kamu sedang mikir apa sih, Fi? Ya masuk ke ruangan dokter-lah. Kit
Mereka keluar dari ruangan dokter. Renata berjalan sangat pelan. Ia masih tak percaya dengan apa yang dokter sampaikan tadi. Ia hamil? Bagaimana bisa? Apa ada moment kebersamaan dengan Rafi yang terlewat olehnya? Ya, kita kadang terlupa akan kesadaran diri saat nafsu sudah menguasai. Renata merasakan tubuhnya melemas, karena ia tak sanggup mengingat sementara batinnya bergejolak hebat.“Re, kenapa, Nduk? Fi, ini Renata,” Ibu mencoba meraih tubuh Renata yang seperti hendak terjatuh.Dengan sigap Rafi menyanggah tubuh Renata. Direngkuhnya Renata dalam dekapannya. “Kamu kenapa, Re?” bisiknya di telinga Renata lembut.“Ada apa ini, Fi? Kenapa aku bisa hamil?” jawab Renata dengan berbisik pula.“Sst … Nanti kita cari tahu bersama ya. Sekarang, kamu harus tenang. Kendalikan emosimu, ingat kata dokter tadi. Mmh,” bujuk Rafi lembut seraya mengelus rambut Renata.“Aku ingin duduk, Fi,” bisik Renata lagi.Rafi melepas pelukannya dan membimbing Renata menuju kursi terdekat. “Bu, tolong temani Re
Renata menggeleng. “Kamu memperlakukan aku dengan baik, Fi.” Kini Rafi yang menggeleng. “Tidak, Re. Tidak. Aku tak menjalankan tugasku sebagai seorang suami. Aku tak pernah menafkahimu secara batin,” lirih Rafi berkata. “Fi …,” Renata menggenggam tangan Rafi. Memintanya untuk tidak melanjutkan ucapannya. “Tapi itu kenyataannya, Re. Tolong, dengarkan dulu saja.” Rafi memandang Renata dengan tegas tetapi penuh kelembutan. Renata mengerjapkan matanya. Tanda memenuhi permintaan Rafi. Lagi, Rafi menghembuskan napasnya. Ini adalah suatu hal yang mau tak mau harus diakui dan diterimanya. Sesuatu yang benar-benar membuat dirinya seperti berada di sebuah persimpangan. Entah rasa apa yang harus diyakini oleh hatinya. Perasaan kecewa, senang, sedih atau justru menyesal? Ia sendiri masih belum bisa memastkan. Tapi yang ia tahu saat ini, Renata harus mengetahui kebenarannya. “Kamu ingat, saat kita pulang dari Kafé? Kita berdua sudah basah kuyup. Kita langsung mandi dan berganti pakaian sebelu
Rafi semakin terlihat gugup saat Ibu menceritakan kejadian bagaimana ia mendengar nama Hanif. Ah, Rafi semakin pusing saja. Belum lagi Rafi memutuskan langkah apa yang akan ia ambil antara rencana pernikahannya dengan Nazwa dan kehamilan Renata, sekarang Ibu sudah menambah lagi bahan masalahnya. Bagaimana pun Rafi tidak ingin menceritakan masalah pernikahannya dengan Nazwa kepada Ibu, sampai ia benar-benar sudah berpisah dengan Renata dan menikah kembali dengan Nazwa. Baru ia akan memberitahu dan meminta maaf kepada Ibu. Tetapi ternyata semua di luar rencananya. Bahkan masalahnya semakin pelik saja. Kalau saja Renata tidak hamil, mungkin semua rencananya akan berjalan mulus. Hey, Rafi! Apa yang kamu pikirkan! Anak itu adalah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya! Sebuah suara menegurnya. “Astaghfirullah.” Rafi beristighfar menyadari pikirannya yang jahat.“Rafi, katakan pada Ibu … Apa kamu ayah dari Hanif?” Nada suara Ibu pelan sangat bertanya. Tetapi seperti terdengar sepert
Rafi menggeleng. "Pada awalnya tidak. Tetapi Kafka, Laki-laki itu, bisa mengerti jika ini semua demi kebaikan anak-anak kami, " Jawab Rafi kemudian. "Mmh... Berarti Nazwa dan ke dua orang tuanya belum mengetahui kehamilan Renata?" Tanya Ibu lagi. "Tentu saja belum, bu." Kali ini Renata yang menjawab. “Kami saja baru mengetahuinya,” ujarnya lirih. Ibu memejamkan mata. Mengembuskan napasnya. Keningnya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu. Ibu membuka matanya, menatap Renata kemudian Rafi. "Rafi, besok antar Ibu ke rumah Nazwa." Ucapan Ibu yang tiba-tiba membuat Rafi dan Renata terkejut. "I-Ibu mau ke-ke rumah Nazwa?" Ulang Rafi tergeragap. "Mau apa Ibu ke sana?" Tanya Renata penasaran. "Tentu saja kita harus memberitahu kehamilanmu ini, Re." Jawab Ibu bijak. "Untuk apa, Bu?" Sergah Rafi seperti enggan. "Untuk apa? Tentu saja untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, Rafi!" Tekan Ibu. "Maksud Ibu?” taut Rafi. "Kamu akan mengerti nanti. Sudah, Ibu mau istirahat dulu. Ka
Nazwa memandang foto dirinya dan Kafka di ponsel miliknya. Foto itu diambil di sebuah resort di kawasan puncak. Mereka berdua memang senang dengan suasana pedesaan. Dan mereka memiliki mimpi untuk kelak mempunyai rumah di daerah ini dan menua bersama. Foto itu sengaja dibuat sebagai foto prawedding mereka dan yang akan terpampang di kartu undangan pernikahan nanti. Senyum bahagia terpancar dari mata dan kedua wajah mereka. Senyum penuh harapan akan hubungan yang sebentar lagi akan resmi di mata agama dan hukum. Ikatan yang mereka harap akan kekal selamanya sampai maut memisahkan mereka. Keduanya telah sama-sama mengalami kegagalan berumah tangga yang terasa sangat menyakitkan. Maka saat mereka sudah berani untuk membuka hati dan menerima orang lain, sungguh mereka tak ingin lagi mengulang kisah yang sama. Mereka telah belajar bagaimana kegagalan itu terjadi dan berjanji untuk terus belajar bagaimana mempertahankan, menjaga serta merawat rasa kasih dan ikatan di antara mereka nanti. N