Hi Readers..Kita lanjut lagi ya... Haturnuhun sudah menunggu dan membaca. Mugi berlimpah rizki untuk kalian semua..
Nazwa memandang foto dirinya dan Kafka di ponsel miliknya. Foto itu diambil di sebuah resort di kawasan puncak. Mereka berdua memang senang dengan suasana pedesaan. Dan mereka memiliki mimpi untuk kelak mempunyai rumah di daerah ini dan menua bersama. Foto itu sengaja dibuat sebagai foto prawedding mereka dan yang akan terpampang di kartu undangan pernikahan nanti. Senyum bahagia terpancar dari mata dan kedua wajah mereka. Senyum penuh harapan akan hubungan yang sebentar lagi akan resmi di mata agama dan hukum. Ikatan yang mereka harap akan kekal selamanya sampai maut memisahkan mereka. Keduanya telah sama-sama mengalami kegagalan berumah tangga yang terasa sangat menyakitkan. Maka saat mereka sudah berani untuk membuka hati dan menerima orang lain, sungguh mereka tak ingin lagi mengulang kisah yang sama. Mereka telah belajar bagaimana kegagalan itu terjadi dan berjanji untuk terus belajar bagaimana mempertahankan, menjaga serta merawat rasa kasih dan ikatan di antara mereka nanti. N
“Apa keputusanmu menikah kembali dengan Rafi, adalah keinginan dari hatimu sendiri, bukan atas keinginan orang lain?” tanya Ibu Mira.Tidak hanya Nazwa yang terperangah dengan pertanyaan Ibu Mira. Tetapi semua yang hadir di ruangan itu. Terutama Rafi.“Ibu! Apa maksud Ibu bertanya seperti itu kepada Nazwa?” tanya Rafi tak suka.Ibu Mira tak menggubris ucapan Rafi. “Nazwa, kamu boleh membohongi semua orang. Tapi tidak dengan hati kamu. Coba, tanyakan kembali pada hatimu. Apa keputusan itu adalah keinginan hatimu?” desak Bu Mira.Nazwa termenung sejenak sebelum menggeleng pelan. “Itu keinginan Bapak dan Rafi.”“Lalu, bagaimana dengan keinginan hatimu sendiri?” tanya Bu Mira lagi.“Aku … aku ingin bisa menikah dengan laki-laki yang memenuhi ruang hatiku. Laki-laki yang aku cintai dan juga mencintaiku,” jawab Nazwa gamblang.“Dan laki-laki itu … bukan Rafi?” tebak Ibu Mira.Nazwa kembali menggeleng.“Siapa laki-laki itu?” taut Ibu.“Kafka. Kafka Lesmana lengkapnya. Kami telah bertunangan,
Rafi mengepalkan tangannya dan menggigit bibirnya. Ia tak mampu menjawab pertanyaan istrinya. Hati dan pikirannya tengah berperang kini. Ucapan Renata tadi seperti menampar dirinya. Ia seperti dihadapkan ke sebuah kaca besar. Kaca yang memuat peristiwa yang terekam jelas dan lekat dalam memorinya. Ingatannya di masa kecil dulu. Saat papa dan mama bertengkar hebat. Saat mereka saling menyalahkan. Saling tuding. Karena kelalaian salah satu dari mereka yang menyebabkan kehadiran dirinya di rahim mama. Dan tak ada yang mau dipersalahkan. Tak ada yang mau mengakui jika itu adalah kesalahan mereka berdua. Yang lebih parahnya, tak ada yang mau merawat dan membawa dirinya. Ia ditinggalkan begitu saja di depan sebuah rumah yang tak ia kenal siapa pemiliknya. Rafi kecil menggigil kebingungan dan kedinginan saat itu. Ya, ia dikeluarkan dari mobil dengan paksa oleh papa. Dan mama hanya berdiam diri. Menoleh pun tidak, apalagi merespon tangisan dan teriakan minta tolongnya. Setelah itu, kendaraan
“Ya.” Angguk Nazwa. “Aku percaya, Kafka mampu membuat mereka bahagia.”Rafi tertawa sumbang. “Hufp. Kamu lupa, kalau aku adalah ayah kandung mereka? Bagaimana pun, ikatan batin mereka lebih kuat denganku dibanding dengan Kafka,” ejek Rafi.Nazwa tersenyum mendengarnya. “Kalau memang ikatan batinmu lebih kuat, lalu mengapa kamu tidak mengetahui rasa sakit yang ada di hati mereka saat kamu menceraikan aku?” tuntut Nazwa.Rafi terhenyak mendengarnya. Benarkah ia telah melewatkan hal ini? Perasaan Salsabila dan Hanif? Ya, ia memang melihat kesedihan di mata kedua anaknya itu saat meninggalkan rumah mereka. Tetapi mengapa ia abai saat itu. Ia hanya berpikir, wajarlah jika mereka bersedih berpisah dengan ayahnya. Tetapi rasa sakit, mengapa ia tak memikirkan hal tersebut?“Fi, tolong pikirkan lagi dampaknya jika kita menikah kembali. Kita tidak bisa menghapus rasa sakit yang ada di hati Salsabila dan Hanif. Kita tidak bisa mengubah yang telah terjadi, kan? Tapi kita bisa mengubah hal yang ak
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi
“Jika apa?” tanya Kafka dipenuhi rasa penasaran.Ewi menghembuskan napasnya, seolah berat untuk menjawab pertanyaan Kafka. “Nayla bilang, ia ingin bertemu denganmu jika kamu sudah menjadi Papa-nya lagi.”“Menjadi Papa-nya lagi?” taut Kafka tak mengerti.“Iya … Dia bilang kita harus tinggal serumah dulu, baru kamu adalah Papa-nya lagi,” jawab Ewi.Kafka tertawa mendengarnya. “Lelucon apa ini? Anak sekecil Nayla bicara begitu? Aku yakin, itu hanya akal-akalanmu saja, Wi!” decih Kafka.“Kalau kamu tak percaya, terserah,” jawab Ewi seolah tak terpengaruh dengan ucapan Kafka. Walau dalam hatinya ia meradang karena tak menyangka reaksi Kafka akan seperti ini. Ternyata Kafka yang sekarang bukanlah lagi Kafka yang ia kenal dahulu.“Kamu tahu … Aku tak percaya kalau Nayla mempunyai pikiran seperti itu.” Kafka mengembuskan napasnya dengan kesal. “Dengar, aku akan gugat kamu jika kamu masih menjauhkan Nayla dariku! Satu lagi, aku sibuk. Kalau kamu sudah selesai, silahkan keluar! Pintunya di sebe
afka melepaskan pelukannya pada Nazwa cepat. Ia terkejut dengan kedatangan Ewi, mantan istrinya ini. Hal yang sama pun dirasakan oleh Nazwa dan Rafi. Walau mereka belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mereka sudah mendengar kisah pernikahan Kafka dan istrinya itu.“Ewi? Jangan bilang kalau …,”“Apa? Jangan bilang apa? Jangan bilang kalau anak kita sedang menderita sakit yang parah, yang umurnya tak lama lagi itu, ia ingin kita kembali bersatu. Kamu pikir aku main-main? Iya?!” Ewi kembali memotong ucapan Kafka.“Ini … Jika kamu membutuhkan bukti-bukti! Jika kamu tak mempercayai omonganku!” Ewi menyerahkan sebuah dokumen kepada Kafka.Kafka menerima itu dengan pandangan tak percaya. Tangannya bergetar. Menyadari jika apa yang ada di dalam dokumen itu benar, maka …“Kamu yang bernama Nazwa?” tanya Ewi pada Nazwa seraya menarik sebuah kursi untuk ia tempati. “Kenalkan, aku Ewi. Dan Kamu siapa?” tanyanya pada Rafi.“Aku Rafi …,” jawab Rafi menilai penampilan Ewi. Ia mencoba menging
Nazwa segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu ia berpakaian dengan baju yang telah ia persiapkan malam sebelumnya. Nazwa melihat tampilan dirinya di depan cermin. Ia tersenyum manis dan berkata, “Semangat Nazwa! Kita mulai dengan Bismillah!”Detik itu jua ia kembali merasakan debaran kencang di hatinya. Dan debaran itu mengiringi langkah kakinya meninggalkan hotel tepatnya menginap dan menyebrangi jalan menuju Café Seroja, tempat yang ditunjukkan oleh Rafi dimana Kafka berada di pagi hari ini.Nazwa mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki yang dicintainya itu. Didapatinya sosok itu tengah bercengkrama dengan dengan laki-laki yang Nazwa ketahui sosoknya. Hey, bagaimana bisa … Tak ayal Nazwa juga merasa heran. Tapi sedetik kemudian ia menyadari kebiasaan sosok itu. Dasar Rafi! Geram Nazwa dalam hatinya.“Naz …Wa?” Kafka yang pertama bersuara saat Nazwa berada di antara Kafka dan Rafi duduk.Nazwa bisa melihat keterkejutan di wajah Kafk
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau