Renata menggeleng. “Kamu memperlakukan aku dengan baik, Fi.” Kini Rafi yang menggeleng. “Tidak, Re. Tidak. Aku tak menjalankan tugasku sebagai seorang suami. Aku tak pernah menafkahimu secara batin,” lirih Rafi berkata. “Fi …,” Renata menggenggam tangan Rafi. Memintanya untuk tidak melanjutkan ucapannya. “Tapi itu kenyataannya, Re. Tolong, dengarkan dulu saja.” Rafi memandang Renata dengan tegas tetapi penuh kelembutan. Renata mengerjapkan matanya. Tanda memenuhi permintaan Rafi. Lagi, Rafi menghembuskan napasnya. Ini adalah suatu hal yang mau tak mau harus diakui dan diterimanya. Sesuatu yang benar-benar membuat dirinya seperti berada di sebuah persimpangan. Entah rasa apa yang harus diyakini oleh hatinya. Perasaan kecewa, senang, sedih atau justru menyesal? Ia sendiri masih belum bisa memastkan. Tapi yang ia tahu saat ini, Renata harus mengetahui kebenarannya. “Kamu ingat, saat kita pulang dari Kafé? Kita berdua sudah basah kuyup. Kita langsung mandi dan berganti pakaian sebelu
Rafi semakin terlihat gugup saat Ibu menceritakan kejadian bagaimana ia mendengar nama Hanif. Ah, Rafi semakin pusing saja. Belum lagi Rafi memutuskan langkah apa yang akan ia ambil antara rencana pernikahannya dengan Nazwa dan kehamilan Renata, sekarang Ibu sudah menambah lagi bahan masalahnya. Bagaimana pun Rafi tidak ingin menceritakan masalah pernikahannya dengan Nazwa kepada Ibu, sampai ia benar-benar sudah berpisah dengan Renata dan menikah kembali dengan Nazwa. Baru ia akan memberitahu dan meminta maaf kepada Ibu. Tetapi ternyata semua di luar rencananya. Bahkan masalahnya semakin pelik saja. Kalau saja Renata tidak hamil, mungkin semua rencananya akan berjalan mulus. Hey, Rafi! Apa yang kamu pikirkan! Anak itu adalah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya! Sebuah suara menegurnya. “Astaghfirullah.” Rafi beristighfar menyadari pikirannya yang jahat.“Rafi, katakan pada Ibu … Apa kamu ayah dari Hanif?” Nada suara Ibu pelan sangat bertanya. Tetapi seperti terdengar sepert
Rafi menggeleng. "Pada awalnya tidak. Tetapi Kafka, Laki-laki itu, bisa mengerti jika ini semua demi kebaikan anak-anak kami, " Jawab Rafi kemudian. "Mmh... Berarti Nazwa dan ke dua orang tuanya belum mengetahui kehamilan Renata?" Tanya Ibu lagi. "Tentu saja belum, bu." Kali ini Renata yang menjawab. “Kami saja baru mengetahuinya,” ujarnya lirih. Ibu memejamkan mata. Mengembuskan napasnya. Keningnya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu. Ibu membuka matanya, menatap Renata kemudian Rafi. "Rafi, besok antar Ibu ke rumah Nazwa." Ucapan Ibu yang tiba-tiba membuat Rafi dan Renata terkejut. "I-Ibu mau ke-ke rumah Nazwa?" Ulang Rafi tergeragap. "Mau apa Ibu ke sana?" Tanya Renata penasaran. "Tentu saja kita harus memberitahu kehamilanmu ini, Re." Jawab Ibu bijak. "Untuk apa, Bu?" Sergah Rafi seperti enggan. "Untuk apa? Tentu saja untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, Rafi!" Tekan Ibu. "Maksud Ibu?” taut Rafi. "Kamu akan mengerti nanti. Sudah, Ibu mau istirahat dulu. Ka
Nazwa memandang foto dirinya dan Kafka di ponsel miliknya. Foto itu diambil di sebuah resort di kawasan puncak. Mereka berdua memang senang dengan suasana pedesaan. Dan mereka memiliki mimpi untuk kelak mempunyai rumah di daerah ini dan menua bersama. Foto itu sengaja dibuat sebagai foto prawedding mereka dan yang akan terpampang di kartu undangan pernikahan nanti. Senyum bahagia terpancar dari mata dan kedua wajah mereka. Senyum penuh harapan akan hubungan yang sebentar lagi akan resmi di mata agama dan hukum. Ikatan yang mereka harap akan kekal selamanya sampai maut memisahkan mereka. Keduanya telah sama-sama mengalami kegagalan berumah tangga yang terasa sangat menyakitkan. Maka saat mereka sudah berani untuk membuka hati dan menerima orang lain, sungguh mereka tak ingin lagi mengulang kisah yang sama. Mereka telah belajar bagaimana kegagalan itu terjadi dan berjanji untuk terus belajar bagaimana mempertahankan, menjaga serta merawat rasa kasih dan ikatan di antara mereka nanti. N
“Apa keputusanmu menikah kembali dengan Rafi, adalah keinginan dari hatimu sendiri, bukan atas keinginan orang lain?” tanya Ibu Mira.Tidak hanya Nazwa yang terperangah dengan pertanyaan Ibu Mira. Tetapi semua yang hadir di ruangan itu. Terutama Rafi.“Ibu! Apa maksud Ibu bertanya seperti itu kepada Nazwa?” tanya Rafi tak suka.Ibu Mira tak menggubris ucapan Rafi. “Nazwa, kamu boleh membohongi semua orang. Tapi tidak dengan hati kamu. Coba, tanyakan kembali pada hatimu. Apa keputusan itu adalah keinginan hatimu?” desak Bu Mira.Nazwa termenung sejenak sebelum menggeleng pelan. “Itu keinginan Bapak dan Rafi.”“Lalu, bagaimana dengan keinginan hatimu sendiri?” tanya Bu Mira lagi.“Aku … aku ingin bisa menikah dengan laki-laki yang memenuhi ruang hatiku. Laki-laki yang aku cintai dan juga mencintaiku,” jawab Nazwa gamblang.“Dan laki-laki itu … bukan Rafi?” tebak Ibu Mira.Nazwa kembali menggeleng.“Siapa laki-laki itu?” taut Ibu.“Kafka. Kafka Lesmana lengkapnya. Kami telah bertunangan,
Rafi mengepalkan tangannya dan menggigit bibirnya. Ia tak mampu menjawab pertanyaan istrinya. Hati dan pikirannya tengah berperang kini. Ucapan Renata tadi seperti menampar dirinya. Ia seperti dihadapkan ke sebuah kaca besar. Kaca yang memuat peristiwa yang terekam jelas dan lekat dalam memorinya. Ingatannya di masa kecil dulu. Saat papa dan mama bertengkar hebat. Saat mereka saling menyalahkan. Saling tuding. Karena kelalaian salah satu dari mereka yang menyebabkan kehadiran dirinya di rahim mama. Dan tak ada yang mau dipersalahkan. Tak ada yang mau mengakui jika itu adalah kesalahan mereka berdua. Yang lebih parahnya, tak ada yang mau merawat dan membawa dirinya. Ia ditinggalkan begitu saja di depan sebuah rumah yang tak ia kenal siapa pemiliknya. Rafi kecil menggigil kebingungan dan kedinginan saat itu. Ya, ia dikeluarkan dari mobil dengan paksa oleh papa. Dan mama hanya berdiam diri. Menoleh pun tidak, apalagi merespon tangisan dan teriakan minta tolongnya. Setelah itu, kendaraan
“Ya.” Angguk Nazwa. “Aku percaya, Kafka mampu membuat mereka bahagia.”Rafi tertawa sumbang. “Hufp. Kamu lupa, kalau aku adalah ayah kandung mereka? Bagaimana pun, ikatan batin mereka lebih kuat denganku dibanding dengan Kafka,” ejek Rafi.Nazwa tersenyum mendengarnya. “Kalau memang ikatan batinmu lebih kuat, lalu mengapa kamu tidak mengetahui rasa sakit yang ada di hati mereka saat kamu menceraikan aku?” tuntut Nazwa.Rafi terhenyak mendengarnya. Benarkah ia telah melewatkan hal ini? Perasaan Salsabila dan Hanif? Ya, ia memang melihat kesedihan di mata kedua anaknya itu saat meninggalkan rumah mereka. Tetapi mengapa ia abai saat itu. Ia hanya berpikir, wajarlah jika mereka bersedih berpisah dengan ayahnya. Tetapi rasa sakit, mengapa ia tak memikirkan hal tersebut?“Fi, tolong pikirkan lagi dampaknya jika kita menikah kembali. Kita tidak bisa menghapus rasa sakit yang ada di hati Salsabila dan Hanif. Kita tidak bisa mengubah yang telah terjadi, kan? Tapi kita bisa mengubah hal yang ak
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau