Share

Bab 34

Author: saraswatinda
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Tapi Re, kamu pasti sedih dan terluka saat ini. Iya … kan?” tanya Rafi hati-hati.

“Tentu saja, Fi. Siapa yang tak sedih dan terluka jika harus berpisah dengan suami yang dicintainya?” jawab Renata lirih.  Tapi sedetik kemudian ia tersenyum dan berkata, “Rafi, aku rasa jika perceraian ini dilakukan lebih cepat, akan lebih baik. Bukankah dengan begitu aku akan  lebih cepat mengobati rasa sakit itu?” paparnya dengan senyum mengembang tetapi justru terlihat pilu.

Rafi menatap Renata nanar. Ia tak bisa mengucapkan satu kata pun untuk menghibur perempuan yang begitu tulus mencintainya. Yang sayangnya, ia tak bisa membalas perasaan itu. “Baiklah Re, jika itu yang kamu mau. Aku akan urus secepatnya. Tapi, bagaimana nanti kita memberitahu ibu dengan perceraian ini?”

“Kamu jangan kuatir. Nanti aku yang akan menjelaskan kepada ibu.” Renata menenangkan Rafi.

Rafi terdiam seperti berpikir dan kemudian menggeleng. “Tidak. Kita berdua yang akan menjelaska

saraswatinda

Hi again my lovely Readers ... Mmh ... cuma mau bilang sama Kafka, Penyesalan itu selalu datang belakangan, karena kalau duluan ... namanya pendaftaran. Hehehe .... Tetap setia ya ...

| Like
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Hati Yang Terpilih   Bab 35

    “Berengsek!” Kafka memukul wajah Rafi keras. Emosinya tersulut dengan jawaban Rafi yang dianggap meledek dirinya. “Kafka!” Nazwa berteriak kaget dengan gerakan Kafka yang memukul Rafi dengan tiba-tiba. Rafi terhuyung mendapat pukulan di pipinya. Ia tak menduga Kafka akan memukulnya seperti itu. Dirasakannya perih di ujung bibirnya. Ia merabanya. Didapatinya ujung telunjuknya memerah. Ia menatap Kafka dengan geram. Ia mendecih, “Sok jagoan!” “Kurang pukulan itu, Fi? Sampai kamu meminta lagi?! sarkas Kafka. “Kafka, Rafi! Sudah! Kalian tidak malu dijadikan tontonan, hah?” hardik Nazwa. Ia menunjukkan dengan pandangan matanya ke sekitar tempat mereka berada. Beberapa orang telah memperhatikan mereka dengan seksama. “Biar saja mereka tahu, laki-laki macam apa Rafi ini!” seru Kafka penuh emosi tak mempedulikan keadaan sekitar. “Kafka!” sentak Nazwa. “Nazwa! Dia tidak hanya mengejekku, tetapi juga merendahkanmu sebagai wanita!” pekik

  • Hati Yang Terpilih   Bab 36

    Sesampainya di rumah, Nazwa mendapati bapak dan ibu sudah menunggunya di ruang keluarga. Ia mencium ke dua telapak tangan bapak dan ibu bergantian setelah mengucapkan salam sewaktu masuk ke dalam rumah. Menaruh kunci mobil di meja yang terletak di hadapannya dan mengambil tempat di salah satu bangku yang kosong. Bapak menaruh koran yang tadi dibacanya. Memandang Nazwa, putri satu-satunya yang ia miliki. Sedari kecil, putri semata wayangnya ini memang sudah terlihat ketegasannya, persis seperti dirinya. Tidak suka basa-basi dan berani menghadapi setiap permasalahan yang dihadapinya. “Aku ingin tahu alasan Bapak memilih Rafi,” ujar Nazwa tenang. “Karena Rafi adalah ayah dari anak-anakmu.” Bapak pun menjawab dengan tenang. “Tapi Rafi sudah menikah dan mempunyai istri, Pak,” cetus Nazwa. “Lalu kenapa? Rafi sendiri masih ingin kembali rujuk denganmu,” sahut Bapak santai. “Bapak tidak mempertimbangkan perasaaan Renata, istri dari Rafi? Bapak

  • Hati Yang Terpilih   Bab 37

    Rafi sedang berada di ruang olahraga saat didengarnya pekikan Renata dari ruang tamu. “Ibu …” terdengar suara Renata begitu riang dan senang. Ibu? Maksudnya . . . Rafi berpikir cepat. “Raf … Rafi! Ibu datang!” kini terdengar suara Renata memanggilnya. “Hush, Renata! Yang sopan memanggil suami itu. Jangan namanya saja!” suara omelan dari seseorang yang dipanggil Ibu. Itu suara Ibu. Ibu yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang tanpa membedakan dengan anak kandungnya sendiri. Ibu angkatnya sekaligus Ibu dari Renata, perempuan yang sekarang menjadi istrinya. “Ah, Ibu. Rafi saja tidak keberatan kok,” kilah Renata dengan tawa kecilnya. “Ibu mau minum apa? Mau wedang jahe atau mau yang dingin, sirup mungkin? Re buatkan ya?” tawar Renata. “Ibu merasa jadi tamu, Re. Merepotkan kamu. Nanti saja, Ibu ambil sendiri,” tolak Ibu. “Ngga kok, Bu. Re sekalian mau buatkan Raf, eh Mas Rafi minuman juga kok.” Renata buru-buru menambah

  • Hati Yang Terpilih   Bab 38

    “W*’alaikumsalam. Tante, apa benar kalau papa akan menikah kembali dengan mama? Kalau iya, bagaimana dengan pernikahan papa dengan tante? Tetap bersama atau berpisah?” tanya Hanif tanpa memberi jeda. Ibu menatap Renata dengan berjuta tanya. Sementara Renata terdiam membeku mendengar pertanyaan Hanif. “Tante … Tante,” Hanif kembali berbicara. “Re,” usik Ibu menghentikan keterdiaman Renata. Renata mengedipkan matanya. Mencoba mengembalikan kesadarannya yang tadi sempat menghilang akibat pertanyaan Hanif. Tapi bukan pertanyaan Hanif sejujurnya yang menjadi sebab, tapi kehadiran Ibu saat ini yang mendengar pertanyaan Hanif. “Eh, Hanif. Maaf. Saat ini tante belum bisa berbicara. Nanti tante telpon lagi ya?” sahut Renata tanpa menjawab pertanyaan Hanif sebelumnya. “Iya, Tante. Hanif tunggu ya jawaban Tante. Assalamu’alaikum,” salam Hanif. “W*’alaikumsalam.” Renata mengembuskan napasnya. Mencoba tenang agar bisa menghadapi pertanyaan Ibu. Pastilah Ibu akan bertanya tentang ucapan Hanif

  • Hati Yang Terpilih   Bab 39

    “Kafka!” tegur Nazwa tak suka. “Naz, bulan depan aku sudah harus berangkat ke Malaysia!” desak Kafka. “Untuk berapa lama?” “Sekurangnya tiga tahun, tapi bisa lebih.” Nazwa menghembuskan napasnya. Ia bingung. Oke, ini adalah suatu pilihan. Dimana ia bisa bersama dengan Kafka dan anak-anaknya membangun sebuah keluarga. Tapi di sisi lain, ia mengorbankan nama baik Bapak, Ibu dan restu mereka. Jujur, ia sangat ingin memiliki sebuah keluarga bersama Kafka, tapi ia juga tak ingin kehilangan hubungan dengan Bapak dan Ibu. Ia tahu, jika ia memilih opsi yang ditawarkan Kafka, Bapak dan Ibu tidak akan lagi menganggapnya sebagai anak. “Nazwa, aku sungguh-sungguh tak ingin kehilanganmu,” harap Kafka. “Aku pun begitu, Kaf. Tapi, menikah tanpa restu Bapak dan Ibu bukanlah suatu opsi untuk masalah kita saat ini,” terang Nazwa. “Tapi kamu tahu, tak ada opsi lain, Naz,” desak Kafka sekali lagi. “Kafka,” Nazwa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jangan seperti ini,” pinta Nazwa tak menyukai desakan

  • Hati Yang Terpilih   Bab 40

    “Bagaimana dengan rencana perceraian kita jika ternyata memang benar aku hamil?” tanya Renata dengan mimik bingung.Rafi terkesiap dengan pertanyaan Renata. Ya, bagaimana dengan rencana perceraian mereka nanti? Terlebih rencana pernikahannya dengan Nazwa. Jika memang Renata hamil, apakah mungkin ia bisa meninggalkannya begitu saja? Laki-laki bahkan ayah macam apa yang meninggalkan anaknya? Tapi, ia tak ingin melepaskan kesempatan untuk mendapatkan Nazwa kembali. Ia tak ingin keluarga kecilnya dengan Nazwa kembali tercerai berai. Tapi, apa Nazwa mau bersedia di madu? Apa Renata tetap ingin melepaskannya? Apa …Apa … dan begitu banyak kata “apa” berseliweran di kepalanya. Ah, Rafi! Mengapa jadi seperti ini?! Tanyanya pada diri sendiri.“Fii …,” usik Renata dengan keterdiaman Rafi.“Eh, ya …,” tergeragap Rafi membalas sapaan Renata.“Kita sudah dipanggil masuk,” ucap Renata menjelaskan.“Masuk kemana?” tanya Rafi bingung.“Kamu sedang mikir apa sih, Fi? Ya masuk ke ruangan dokter-lah. Kit

  • Hati Yang Terpilih   Bab 41

    Mereka keluar dari ruangan dokter. Renata berjalan sangat pelan. Ia masih tak percaya dengan apa yang dokter sampaikan tadi. Ia hamil? Bagaimana bisa? Apa ada moment kebersamaan dengan Rafi yang terlewat olehnya? Ya, kita kadang terlupa akan kesadaran diri saat nafsu sudah menguasai. Renata merasakan tubuhnya melemas, karena ia tak sanggup mengingat sementara batinnya bergejolak hebat.“Re, kenapa, Nduk? Fi, ini Renata,” Ibu mencoba meraih tubuh Renata yang seperti hendak terjatuh.Dengan sigap Rafi menyanggah tubuh Renata. Direngkuhnya Renata dalam dekapannya. “Kamu kenapa, Re?” bisiknya di telinga Renata lembut.“Ada apa ini, Fi? Kenapa aku bisa hamil?” jawab Renata dengan berbisik pula.“Sst … Nanti kita cari tahu bersama ya. Sekarang, kamu harus tenang. Kendalikan emosimu, ingat kata dokter tadi. Mmh,” bujuk Rafi lembut seraya mengelus rambut Renata.“Aku ingin duduk, Fi,” bisik Renata lagi.Rafi melepas pelukannya dan membimbing Renata menuju kursi terdekat. “Bu, tolong temani Re

  • Hati Yang Terpilih   Bab 42

    Renata menggeleng. “Kamu memperlakukan aku dengan baik, Fi.” Kini Rafi yang menggeleng. “Tidak, Re. Tidak. Aku tak menjalankan tugasku sebagai seorang suami. Aku tak pernah menafkahimu secara batin,” lirih Rafi berkata. “Fi …,” Renata menggenggam tangan Rafi. Memintanya untuk tidak melanjutkan ucapannya. “Tapi itu kenyataannya, Re. Tolong, dengarkan dulu saja.” Rafi memandang Renata dengan tegas tetapi penuh kelembutan. Renata mengerjapkan matanya. Tanda memenuhi permintaan Rafi. Lagi, Rafi menghembuskan napasnya. Ini adalah suatu hal yang mau tak mau harus diakui dan diterimanya. Sesuatu yang benar-benar membuat dirinya seperti berada di sebuah persimpangan. Entah rasa apa yang harus diyakini oleh hatinya. Perasaan kecewa, senang, sedih atau justru menyesal? Ia sendiri masih belum bisa memastkan. Tapi yang ia tahu saat ini, Renata harus mengetahui kebenarannya. “Kamu ingat, saat kita pulang dari Kafé? Kita berdua sudah basah kuyup. Kita langsung mandi dan berganti pakaian sebelu

Latest chapter

  • Hati Yang Terpilih   Bab 57

    Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m

  • Hati Yang Terpilih   Bab 56

    Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi

  • Hati Yang Terpilih   Bab 55

    “Jika apa?” tanya Kafka dipenuhi rasa penasaran.Ewi menghembuskan napasnya, seolah berat untuk menjawab pertanyaan Kafka. “Nayla bilang, ia ingin bertemu denganmu jika kamu sudah menjadi Papa-nya lagi.”“Menjadi Papa-nya lagi?” taut Kafka tak mengerti.“Iya … Dia bilang kita harus tinggal serumah dulu, baru kamu adalah Papa-nya lagi,” jawab Ewi.Kafka tertawa mendengarnya. “Lelucon apa ini? Anak sekecil Nayla bicara begitu? Aku yakin, itu hanya akal-akalanmu saja, Wi!” decih Kafka.“Kalau kamu tak percaya, terserah,” jawab Ewi seolah tak terpengaruh dengan ucapan Kafka. Walau dalam hatinya ia meradang karena tak menyangka reaksi Kafka akan seperti ini. Ternyata Kafka yang sekarang bukanlah lagi Kafka yang ia kenal dahulu.“Kamu tahu … Aku tak percaya kalau Nayla mempunyai pikiran seperti itu.” Kafka mengembuskan napasnya dengan kesal. “Dengar, aku akan gugat kamu jika kamu masih menjauhkan Nayla dariku! Satu lagi, aku sibuk. Kalau kamu sudah selesai, silahkan keluar! Pintunya di sebe

  • Hati Yang Terpilih   Bab 54

    afka melepaskan pelukannya pada Nazwa cepat. Ia terkejut dengan kedatangan Ewi, mantan istrinya ini. Hal yang sama pun dirasakan oleh Nazwa dan Rafi. Walau mereka belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mereka sudah mendengar kisah pernikahan Kafka dan istrinya itu.“Ewi? Jangan bilang kalau …,”“Apa? Jangan bilang apa? Jangan bilang kalau anak kita sedang menderita sakit yang parah, yang umurnya tak lama lagi itu, ia ingin kita kembali bersatu. Kamu pikir aku main-main? Iya?!” Ewi kembali memotong ucapan Kafka.“Ini … Jika kamu membutuhkan bukti-bukti! Jika kamu tak mempercayai omonganku!” Ewi menyerahkan sebuah dokumen kepada Kafka.Kafka menerima itu dengan pandangan tak percaya. Tangannya bergetar. Menyadari jika apa yang ada di dalam dokumen itu benar, maka …“Kamu yang bernama Nazwa?” tanya Ewi pada Nazwa seraya menarik sebuah kursi untuk ia tempati. “Kenalkan, aku Ewi. Dan Kamu siapa?” tanyanya pada Rafi.“Aku Rafi …,” jawab Rafi menilai penampilan Ewi. Ia mencoba menging

  • Hati Yang Terpilih   Bab 53

    Nazwa segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu ia berpakaian dengan baju yang telah ia persiapkan malam sebelumnya. Nazwa melihat tampilan dirinya di depan cermin. Ia tersenyum manis dan berkata, “Semangat Nazwa! Kita mulai dengan Bismillah!”Detik itu jua ia kembali merasakan debaran kencang di hatinya. Dan debaran itu mengiringi langkah kakinya meninggalkan hotel tepatnya menginap dan menyebrangi jalan menuju Café Seroja, tempat yang ditunjukkan oleh Rafi dimana Kafka berada di pagi hari ini.Nazwa mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki yang dicintainya itu. Didapatinya sosok itu tengah bercengkrama dengan dengan laki-laki yang Nazwa ketahui sosoknya. Hey, bagaimana bisa … Tak ayal Nazwa juga merasa heran. Tapi sedetik kemudian ia menyadari kebiasaan sosok itu. Dasar Rafi! Geram Nazwa dalam hatinya.“Naz …Wa?” Kafka yang pertama bersuara saat Nazwa berada di antara Kafka dan Rafi duduk.Nazwa bisa melihat keterkejutan di wajah Kafk

  • Hati Yang Terpilih   Bab 52

    Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara

  • Hati Yang Terpilih   Bab 51

    "Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag

  • Hati Yang Terpilih   Bab 50

    "Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,

  • Hati Yang Terpilih   Bab 49

    “Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau

DMCA.com Protection Status