Home / Romansa / Barraberee / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Barraberee: Chapter 1 - Chapter 10

17 Chapters

Prolog

Yaampun, ini kereta besi jalannya seperti siput. Papa bilang sudah diperbaiki, tahunya masih lambat gini jalannya. Aku sudah bilang nggak usah dipakai lagi. Jual saja ke tukang besi. Tapi masih saja beliau ngeyel. Jadinya gini, kan. Dugudugudug......boooooom, cusssss! Astaga! Ini apa lagi masalahnya? "Papaaa!" Sumpah, aku beneran kesel tingkat Miss Universe. "Subhanallah! Bacot lo, ya. Sakit kuping gue." Pekik Bang Orion. Bacot aku emang udah kayak mercon acara sunatan si Entong kalau lagi kesel gini. Ini Abang, bikin tambah kesel. "Gue kesel, Baaang." Teriakku lagi. "Ya ampun, dah. Punya adek pengen gue lempar ke Samudra Hindia aja. Stabil nih hidup gue, pasti." Astaga! Makin tambah kesel, aku tuh. "Sudah, sudah. Sebaiknya kalian turun. Sementara Papa meriksa kerusakannnya, kalian nya
last updateLast Updated : 2021-07-22
Read more

1

Please, aku dikacangin. Itu manusia bertiga sesama spesies ngobrolin soal perbintangan dari tadi. Seru sih, tapi kan aku bosen. Udah berapa kali Papa ngulang materi soal mata kuliah yang satu itu.Kalau di rumah, nggak Papa, nggak Mama, bahkan Bang Orion. Mereka bertiga tuh, sama. Pasti yang dibahas soal benda-benda langit dan seisinya. Awalnya dulu saat pertama kali aku diperkenalkan sama Papa tentang Astronomi, aku merasa antusias banget. Tapi, lama-lama aku bosen juga. Apalagi rencananya aku nggak bakal ngikut jejak mereka. Aku hampir mirip sama kakak sulungku, Kak Vega. Wanita dewasa satu itu juga lebih suka keluar jalur. Dia memilih masa depannya sendiri. Kalau Papa, Mama dan Bang Orion memilih jadi pemerhati langit, Kak Vega lebih suka jadi pemerhati bumi, cuaca dll. Sejak usia 22 tahun, dia udah kerja di BMKG.Kalau aku sih, ya.... Aku.... Aku mau jadi apaan, ya? Bingung. Aku nggak tahu musti kuliah di bidang apa. Atau aku ng
last updateLast Updated : 2021-07-22
Read more

2

Aku berlari tunggang langgang dari rumah hanya untuk ngejar angkot terakhir menuju sekolah. Kampret, aku telat di hari Senin pagi. Haduh! Bisa-bisa aku kena hukuman nih, sama Bu Yuli. Guru biologi terkiller sejagat SMA Cinta Kasih Bunda.Sumpah, nggak biasanya nih aku telat begini. Selama ini aku juga dikenal dengan sebutan murid teladan sepanjang sejarah. Aku tebak, satu catatan pelanggaran ini bisa bikin nama baikku tercoreng. Katakanlah aku ini Miss Perfect. Aku terlalu terobsesi dengan yang namanya “Kesempurnaan”. Nggak boleh ada cela sedikit pun walau sebiji zarah. Halah, apaan dah.Degedegedeg..........double shit. Mogok?“Haduh, si akang. Kenapa angkotnya mogok atuh?” Itu suara emak-emak di sampingku. Kayaknya dia nggak kalah keselnya daripada aku. Ya elah, aku musti gimana nih? Jalanan udah mulai sepi, lagi. Nggak ada pangkalan ojek pula di sekit
last updateLast Updated : 2021-07-22
Read more

3

Kegalauan berlanjut hingga aku pulang ke rumah. Entah kenapa, aku jadi kepikiran soal keberadaan Berry. Jangan-jangan dia beneran bunuh diri. Ah, nggak. Pikiran dia nggak sedangkal itu. Aku yakin pasti ada alasan yang lebih masuk akal, kenapa dia nggak masuk sekolah hari ini."Assalamu'alaikum!" Aku mengucap salam, sembari memasuki pintu utama yang memang sudah terbuka lebar entah sejak kapan."Wa'alaikumussalam!" Aku berpapasan dengan Papa dan tamunya, waktu aku berjalan melewati ruang tamu. "Alhamdulillah anak Papa sudah datang. Mitol bisa nggak, Dek? Bikinin minum buat tamu Papa.""Oke, Pap. Tunggu sebentar, ya. Dedek naruh tas dulu ke kamar." Aku tersenyum sebelum meninggalkan Papa dengan tamunya. Entah siapa itu. Dari bentukannya, usia Papa sama tamunya itu sepantaran."Putrimu oke juga ya, Lan. Pantesan istrimu nggak pernah ngomel soal anak-anak. Wong penurut gitu.
last updateLast Updated : 2021-07-22
Read more

4

Aku berjalan beriringan dengan Ayi menuju kantin. Di sana aku udah melihat keberadaan Berry dan kawan-kawan. Saat aku melewati meja mereka, dia tampak acuh dan nggak mau repot membalas celetukan Michele. “Awas! Ada si Nona pembuat patah hati sedang lewat."\“Berisik, lo.” Bukan aku atau Ayi. Justru Septi yang ambil alih kendali. Mungkin dia paling rasional, melihat keadaan Berry yang tampaknya jauh dari kata ‘Baik’.“Aw! Septick Tank. Kira-kira dong kalau mau nendang kaki gue. Sakit nih.” Kayaknya kaki Michele habis kena timpas kaki jenjangnya Septi.“Bacot lu, ya. Nama gue Septi. Septiani Rumokoy. Bukan benda beroda empat pengangkut tinja.” Septi membalas tak kalah sangar. Sedangkan teman-temannya malah ngakak kocak mendengar ucapannya.Aku mah, pura-pura cuek aja. Mencoba nggak memikirkan kekacauan yang telah aku buat. Memangnya apa
last updateLast Updated : 2021-07-22
Read more

5

Ayi: “Jadi, Om Barra itu siapanya elo? Sumpah gue masih penasaran. Kayaknya ada sesuatu deh sama si Om. Gelagatnya aneh, kalau menurut gue.” Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala saat melihat isi chat Ayi yang masuk sekitar satu jam yang lalu. Tadi ponselku emang lowbatt. Aku matiin dulu waktu mau charge. Ini Cewek Larva pasti kepo banget soal Om Barra. Aku jadi ingat waktu kami dianter pulang sama Om Barra tadi sore. Di dalam mobil Om Barra, Ayi kepoin Om Barra. Bukannya langsung jawab aja apa adanya, si Om malah bilang gini, “Tanya aja sama Qarmita. Dia maunya saya ini siapanya dia.” Kampret emang. Jelas lah aku jadi kalang kabut. Maksudnya apa coba melontarkan pe
last updateLast Updated : 2021-07-22
Read more

6

Tiga puluh menit yang lalu Ayi sudah mengirim pesan WA kepadaku, katanya dia dan Om Ridwan akan menjemput aku satu jam lagi. Sekarang aku sedang membubuhkan make up di wajah, sebelum pakai baju. Akhirnya, hari ini datang juga. Aku gugup banget, sumpah. Padahal bukan kayak aku yang ketemu sama keluarganya Om Barra. Ini Ayi, loh. Diajak Om Ridwan ketemu dengan keluarganya. Walau begitu, tetap aja rasanya deg-deg-an, karena aku juga bakal ketemu Om Barra. Ya ampun, aku kenapa sih? Setelah selesai dengan make up, sebagai bahan pertimbangan, karena kami akan pergi ke daerah puncak bukit, aku memilih mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang dilapisi dengan switer berwarna biru malam. Lalu dipadukan dengan celana jins semata kaki. Rambutku yang panjang nan ikal, aku urai. Aku kenakan bando kawat berlapis kain motif polkadot berwarna hitam-putih, yang aku bentuk
last updateLast Updated : 2021-09-03
Read more

7

Nggak terasa matahari mulai semakin terik. Kami semua pun memutuskan untuk menyudahi obrolan di halaman belakang. Lalu memilih masuk ke dalam bangunan villa. Beberapa ada yang masih betah mengobrol di ruang tengah. Dan beberapa ada yang lebih memilih beristirahat di kamar. Sedangkan aku, Ayi, Om Barra dan Om Ridwan, memilih duduk terpisah dari yang lain. Tepatnya di sebuah ruangan yang agak privasi. “Ngantuk?” Tanya Om Barra, saat aku sadari tubuhnya sudah duduk merepet di sampingku lebih dekat, dari semenit yang lalu. Iya, aku ngantuk berat. Sepertinya kecapekan gara-gara habis ngobrol sambil bercanda banyak sama keluarganya Om Ridwan. Aku mengangguk, lalu menyandarkan kepala pada sandara sofa di bekalangku. “Mau tidur sebentar, di kamar? Sekalian berdua sama Ayi?”
last updateLast Updated : 2021-09-06
Read more

8

Barraberee: "Maaf ya, kalau tindakan saya tadi siang bikin kamu tidak nyaman." Satu notifikasi pesan lewat aplikasi WA muncul, di layar ponselku. Setelah beberapa jam lalu, kami berdebat. "Nggak apa-apa." "Perempuan sering bilang tidak apa-apa, kalau ditanya. Padahal sebenarnya ada apa-apanya." "Itu tahu." "Qarmita, saya serius." "Saya juga serius, Om. Kenapa jadi ngeyel gitu? Lagian ngapain sih, ngajak saya ribut terus dari tadi? Heran deh." "Saya mulai besok dinas di luar kota. Selama tiga hari dua malam." Eh, maksud Anda apa Om, bilang begitu? Dikira aku ini istrinya, serba pamitan segala. "Terserah. Saya nggak ada urusan." "Saya cuma mau bilang. Tidak apa-apa sebenarnya, kalau kamu tidak peduli. Takutnya tiba-tiba saya dapat musibah. Lalu tidak bisa bertemu dengan kamu lagi. Saya tidak mau ada penyesalan nantinya." Aduh! In
last updateLast Updated : 2021-09-06
Read more

9

Sesampainya di rumah, aku langsung begitu saja keluar dari mobil Om Barra, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedangkan dia, aku tinggal berdua dengan Papa yang memang kemujuran sedang berdiri di depan rumah karena menunggu aku pulang. “Kamu baru pulang?” Itu pertanyaan Mama saat aku baru saja melewati pintu masuk. “Menurut Mama?” Tanyaku balik. Mama langsung menjitak dahiku, kesal. “Ya dijawab dengan sopan, kalau orang tua sedang bertanya. Kamu mau jadi anak durhaka?” Terus saja begitu Mam, omeli anakmu ini. Putri bungsumu yang suka kurang ajar ini. “Ya habisnya. Dedek tuh capek, Mam. Lagi kesel juga sama Om Barra. Bawaannya jadi pengen nyeruduk orang, seperti banteng.”
last updateLast Updated : 2021-09-10
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status