ホーム / Urban / DOWN UNDER DOWN / チャプター 71 - チャプター 80

DOWN UNDER DOWN のすべてのチャプター: チャプター 71 - チャプター 80

157 チャプター

Melawan Ketakutan

Haidar seakan tidak percaya dengan apa yang disampaikan Insani. Ia tidak percaya bahwa selama ini ia mencintai anak seorang tentara. Sefti ternyata anak seorang tentara. Sementara dirinya adalah korban konflik yang memiliki sejarah kelam di masa lalu, saat Aceh masih berkonflik. Tak salah Sefti memang jika dia lahir dari keluarga tentara. Tapi untuk melupakan masa lalu juga sangat sulit bagi Haidar. Ia mungkin tak memiliki ideologi kuat seperti anak GAM pada umumnya. Tapi ingatan tentang masa lalu tetap menghantui hidupnya. Selama ini, Haidar begitu terus terang kepada Sefti bahwa ia membenci seragam loreng. Hati Sefti pasti remuk. Namun sosok itu masih tetap tersenyum ke arahnya. “Haruskah aku terus menyimpan dendam ini?” gumam Haidar dalam hati. Ia kemudian terdiam. Ia terdiam lama. Hatinya hancur dengan kenyataan yang disampaikan Insani. Haidar tak peduli jika Sefti adalah keturunan Jawa. Ayahnya semasa hidup tak berjuang melawan su
続きを読む

Deru Alam

Pertengahan 1998 SUASANA di pedalaman Matang, Bireuen, terasa tak biasa. Angin yang biasanya berhembus kencang terasa tenang malam ini. Kicauan burung tak terdengar. Bahkan suara jangkrik pun seolah menghilang entah kemana. Para santri tertidur lelap di asrama masing-masing. Mereka mungkin telah terbuai dengan mimpi. Hanya beberapa lampu dayah yang masih menyala. Jam menunjukan pukul 00.23 dini hari. Tapi Teungku Fiah masih belum bisa memejamkan mata. Ini merupakan pekan kedua, ia dan keluarga, berada di komplek dayah di pedalaman Bireuen tadi. Teungku Fiah terlihat gelisah. Berulangkali ia balik badan di kasur kecil yang ditempatinya bersama Sakdiah. Sementara Haidar, anaknya yang tersisa, terlihat lelap di kasur lainnya yang berada tak jauh dari tempat tidur mereka. Gerak Teungku Fiah yang gelisah membuat Sakdiah terjaga. “Kenapa Abang gelisah tiba-tiba? Apakah ada sesuatu yang tidak bereh?” ujar Sakdiah. Ia kemudian
続きを読む

Sekedar Hitungan

MALAM kian larut. Suara mobil reo tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Beberapa guru dayah ke luar dari bilik. Mereka terkejut saat melihat Mustafa memegang AK-47 dan pistol FN di tangan Teungku Fiah. Salah seorang di antara mereka kemudian mendekat. Pria itu adalah Teungku Wan, ia termasuk salah seorang guru senior di dayah itu. “Teungku-teungku lebih baik ke rumah pimpinan saja. Di sana lebih aman. Saya jamin tentara tak akan masuk ke sana,” ujarnya. “Kalau teungku membalas tembakan di sini. Dayah ini akan terbakar. Kasihan anak-anak miskin yang belajar di sini,” kata Teungku Wan lagi. Apa yang disampaikan oleh Teungku Wan memang benar adanya. Mustafa dan Teungku Fiah bisa saja membalas tembakan jika tentara republic masuk dayah dan mencari mereka. Namun yang dikhawatirkan justru efek pasca perang terbuka terjadi nantinya. Dayah akan dibakar. Suara reo kian terasa dekat. Suara itu terdengar jelas dari arah jalan desa. “Teungku Azwir, t
続きを読む

DIGEREBEK

TEUNGKU Fiah dan Mustafa saling pandang. Mereka akhirnya tahu kenapa tentara republic akhirnya masuk dayah. “Ada cuak ternyata teungku,” bisik Mustafa ke telinga Teungku Fiah. Sementara Teungku Fiah mengangguk berulangkali. Dayah yang mereka tempati saat ini memang pro terhadap perjuangan tentara nanggroe. Namun selama ini tetap beraktivitas seperti biasa. Baru kali ini digerebek seperti sekarang. Teungku Fiah berharap suara senjata tadi hanya peringatan dan tembakan ke atas oleh tentara republic. Teungku Fiah tak ingin ada korban karena para teungku-teungku itu menjaga mereka. “Tum, tum, tum…..” Suara itu kembali terdengar. Kemudian disusul dengan suara jeritan orang-orang di luar kamar. “Sudah, sudah. Jangan ada tembakan lagi.” Seseorang terdengar berbicara setengah berteriak. Suara itu terdengar jelas hingga ke dalam kamar yang ditempati Teungku Fiah dan Mustafa. “Bawa mereka. Ini peringatan bagi siapa saja yang menc
続きを読む

Referendum

DARI Matang, Bireuen, mobil Dam Truk yang disupiri oleh Ridwan memutar ke arah timur. Melintasi jalan raya untuk menuju Panton Labu. Tak ada rintangan yang berarti sepanjang perjalanan. Minimal hingga Lhokseumawe. Baik Teungku Fiah dan Mustafa lebih banyak tidur dan terdiam sepanjang jalan. Semalam mereka tak bisa tidur sama sekali. Suara jeritan dan letusan senjata api seolah masih terdengar di telinga mereka. Mereka sering melalui perang besar. Bahkan beberapa anggota pasukan Teungku Fiah syahid dalam pertempuran. Namun itu adalah jalan hidup mereka. Mereka sudah siap untuk menuai ajal dalam kondisi apapun. Namun kali ini, kasus sedikit berbeda. Yang meninggal adalah Teungku dayah yang mengabdi diri di jalan agama. Ridwan sendiri tahu dengan kondisi yang terjadi. Setidaknya, Lemha telah melaporkan beberapa keadaan pada dirinya sebelum diminta untuk menjemput dua petinggi sagoe Simpang Ulim itu. Ridwan focus pada jalanan yang masih sepi. Hari
続きを読む

Harapan

TEUNGKU Fiah terdiam mendengar perkataan Ridwan. Ia tak pernah menyesali pilihan hidup yang ditempuhnya selama ini. Hanya saja, ia telah melihat kematian dari orang-orang yang tak bersalah. Ada teungku-teungku dayah di Matang yang harus menuai ajal. Ada Ruslan yang juga ditembak oleh pria misterius. Meskipun TNI, Ruslan selama ini sangat dekat dengan gerilyawan Aceh. Kemudian ada juga Budi, almarhum anaknya. Ia yakin, ada banyak kematian tiap hari di Aceh. Ada yang terungkap dan terabaikan begitu saja. “Aku tak pernah ragu dengan perjuangan Aceh. Kita pantas untuk merdeka. Minimal jika kita melihat prilaku pusat terhadap kita selama ini. Hanya saja, perjuangan ini telah banyak mengorbankan anak bangsa. Darah yang mengalir di negeri ini sudah terlalu banyak,” kata Teungku Fiah. Teungku Fiah kemudian terdiam. Ia seperti mencari-cari kalimat yang tepat untuk diungkapkan. “Di sini lain, TNI yang kita musuhi itu juga mayoritas beragama Islam. Kita
続きを読む

Pasukan

BERGERAK sekitar 50 meter, seperti yang disampaikan Ridwan, Teungku Fiah dan Mustafa disambut oleh Lemha di salah satu rumah warga. “Aku sudah lama menanti kedatangan Teungku dan Mustafa. Aku khawatir usai kejadian semalam di dayah,” ujar Lemha. Lemha kemudian memaparkan kondisi terakhir keadaan pasukan selama ditinggalkan Teungku Fiah dan Mustafa yang ‘cuti’ beberapa saat untuk menemani keluarga. “Ada beberapa anggota pasukan kita yang bertambah. Kemudian beberapa aktivis mahasiswa juga izin beroperasi di Simpang Ulim,” ujar Lemha. “Mentroe meminta kita aktif untuk memberi dakwah Aceh merdeka ke tengah tengah masyarakat. Ini saat yang tepat untuk tampil mengingat gerakan ini kian mengakar di seluruh Aceh,” katanya lagi. Usai rembuk hampir setengah jam, seluruh jajaran menunjuk Teungku Fiah dan Mustafa sebagai penceramah di desa-desa dalam kawasan Julok dan Simpang Ulim. Tim dibagi dua. Satu tim dipimpin oleh Teungku Fiah dan ditemani oleh Lem
続きを読む

Terkena Tembakan

“Aku kena,” ujar Teungku Fiah. Mulutnya berlumur darah. Wajah Ridwan terlihat panic. Mustafa juga memegang dada yang berlumuran darah. “Aku juga teungku. Mungkin ini akhir dari perlawanan kita,” ujarnya. Ridwan mencoba mengurangi kecepatan kemudian berbelok ke jalan kampung untuk menghilang dari kejaran patroli tentara republic. Langkahnya cukup jitu. Mereka lolos dari sergapan musuh. Namun pendarahan Teungku Fiah cukup deras. Demikian juga dengan Mustafa. Keadaan ini membuat Ridwan kian panik. Ia membuka bajunya untuk menahan pendarahan yang dialami oleh Teungku Fiah. Namun pria tua itu justru memberikan kepada Mustafa. “Aku tak mungkin tertolong lagi. Selamatkan Mustafa saja,” ujarnya dengan nafas terpotong-potong. Ia kemudian meletakan baju di dada Mustafa. “Antarkan aku ke depan rumah dan kemudian larikan Mustafa ke dokter Ichsan di Bireuen. Ia bisa mengobati Mustafa,” ujar Teungku Fiah lagi. Dalam keadaan panic, Ridwan men
続きを読む

Pria Kekar

Banda Aceh, pertengahan 2017 SUASANA di Warkop Pinggir Kali ramai di malam hari. Warung lebih padat dari biasanya. Haidar sibuk melayani sejumlah pelanggan. Burgernya laku keras malam ini. Stok rotinya hampir habis. Ada seorang pria tua terlihat mengamatinya dari kejauhan. Pria itu duduk di sudut kiri ruangan. Ada kopi pancong dan roti selei di depannya. Postur tubuhnya terlihat kekar. Ia memakai peci putih serta baju kemeja berwarna merah garis biru. Saat Haidar terlihat lebih santai. Pria tua itu mendekati Haidar. “Anak muda. Aku ingin bicara serius denganmu. Dapatkah kita duduk berdua sebentar di sudut itu,” ujarnya tiba-tiba. Sorot mata pria tua itu tajam. Ia seolah ingin menerkam Haidar. Haidar mengangguk. Ia kemudian mengikuti pria tua itu tanpa prasangka buruk. Selama ini, beberapa pelanggan memang sering mengajaknya ngopi untuk sekedar menghilangkan suntuk. “Aku Gusti, seorang tentara dan keturunan Jawa
続きを読む

Lawan Debat

Penjelasan pria tua itu membuat Haidar terdiam lama. Ia mencoba mencari jawaban yang bijak agar tak menyakiti pria itu. Ini karena Haidar sadar bahwa apa yang disampaikan oleh pria itu ada benarnya. “Terus terang pak. Saya sudah menjalani komunikasi dengan Sefti sejak lama. Namun kami berdua tidak memiliki komitmen apapun. Dan saya tidak akan menyentuhnya hingga saya melamar resmi dari bapak,” ujar Haidar kemudian. “Saya muslim dan keturunan Aceh. Saya paham agama dan menjaga adat istiadat dengan kental. Bagi saya, tidak ada istilah pacaran. Ini sudah berulangkali saya sampaikan pada Sefti,” katanya. “Saya tidak pernah membenci Sefti atau bapak karena berdarah Jawa. Saya tahu bahwa konflik-lah yang membuat TNI dan GAM saling berhadapan di masa lalu. Kalau ada yang patut disalahkan, mungkin pemerintah di masa lalu yang senang dengan pertumpahan darah di Aceh,” ujarnya lagi. Gusti menatap Haidar dengan tajam. Ia seperti tak menyangka mendapat lawan deba
続きを読む
前へ
1
...
678910
...
16
DMCA.com Protection Status