“Aku kena,” ujar Teungku Fiah. Mulutnya berlumur darah.
Wajah Ridwan terlihat panic. Mustafa juga memegang dada yang berlumuran darah.
“Aku juga teungku. Mungkin ini akhir dari perlawanan kita,” ujarnya.
Ridwan mencoba mengurangi kecepatan kemudian berbelok ke jalan kampung untuk menghilang dari kejaran patroli tentara republic. Langkahnya cukup jitu. Mereka lolos dari sergapan musuh. Namun pendarahan Teungku Fiah cukup deras. Demikian juga dengan Mustafa.
Keadaan ini membuat Ridwan kian panik. Ia membuka bajunya untuk menahan pendarahan yang dialami oleh Teungku Fiah. Namun pria tua itu justru memberikan kepada Mustafa.
“Aku tak mungkin tertolong lagi. Selamatkan Mustafa saja,” ujarnya dengan nafas terpotong-potong. Ia kemudian meletakan baju di dada Mustafa.
“Antarkan aku ke depan rumah dan kemudian larikan Mustafa ke dokter Ichsan di Bireuen. Ia bisa mengobati Mustafa,” ujar Teungku Fiah lagi.
Dalam keadaan panic, Ridwan men
Banda Aceh, pertengahan 2017 SUASANA di Warkop Pinggir Kali ramai di malam hari. Warung lebih padat dari biasanya. Haidar sibuk melayani sejumlah pelanggan. Burgernya laku keras malam ini. Stok rotinya hampir habis. Ada seorang pria tua terlihat mengamatinya dari kejauhan. Pria itu duduk di sudut kiri ruangan. Ada kopi pancong dan roti selei di depannya. Postur tubuhnya terlihat kekar. Ia memakai peci putih serta baju kemeja berwarna merah garis biru. Saat Haidar terlihat lebih santai. Pria tua itu mendekati Haidar. “Anak muda. Aku ingin bicara serius denganmu. Dapatkah kita duduk berdua sebentar di sudut itu,” ujarnya tiba-tiba. Sorot mata pria tua itu tajam. Ia seolah ingin menerkam Haidar. Haidar mengangguk. Ia kemudian mengikuti pria tua itu tanpa prasangka buruk. Selama ini, beberapa pelanggan memang sering mengajaknya ngopi untuk sekedar menghilangkan suntuk. “Aku Gusti, seorang tentara dan keturunan Jawa
Penjelasan pria tua itu membuat Haidar terdiam lama. Ia mencoba mencari jawaban yang bijak agar tak menyakiti pria itu. Ini karena Haidar sadar bahwa apa yang disampaikan oleh pria itu ada benarnya. “Terus terang pak. Saya sudah menjalani komunikasi dengan Sefti sejak lama. Namun kami berdua tidak memiliki komitmen apapun. Dan saya tidak akan menyentuhnya hingga saya melamar resmi dari bapak,” ujar Haidar kemudian. “Saya muslim dan keturunan Aceh. Saya paham agama dan menjaga adat istiadat dengan kental. Bagi saya, tidak ada istilah pacaran. Ini sudah berulangkali saya sampaikan pada Sefti,” katanya. “Saya tidak pernah membenci Sefti atau bapak karena berdarah Jawa. Saya tahu bahwa konflik-lah yang membuat TNI dan GAM saling berhadapan di masa lalu. Kalau ada yang patut disalahkan, mungkin pemerintah di masa lalu yang senang dengan pertumpahan darah di Aceh,” ujarnya lagi. Gusti menatap Haidar dengan tajam. Ia seperti tak menyangka mendapat lawan deba
Gusti menyerah. Pemuda di depannya, sama keras kepala dengan dirinya. Pria muda itu selalu memiliki jawaban yang tepat dari setiap pertanyaan yang disampaikannya. Entah karena ia sedang tidak dalam kondisi optimal atau memang nalar yang disampaikan pria idaman anak perempuannya itu memang begitu adanya.Sefti sendiri sudah melarang Gusti untuk bertemu dengan pemuda yang dikaguminya selama ini. Namun Gusti tetap ngotot. Apalagi setelah diketahui jika calon menantunya itu memiliki jiwa pemberontak.Bagi Gusti, tak ada masalah antara anak pemberontak atau pahlawan negara. Karena hidup seseorang ditentukan oleh takdirnya sendiri. Atas dasar itu, Gusti menemui Haidar.Gusti ingin mengetes pria muda itu tentang sejauh mana ia mencintai anak perempuan satu satunya itu.“Baiklah kalau begitu. Malam ini cukup di sini. Kita akan berjumpa lagi lain waktu. Mungkin aku akan memakai baju tentara nanti. Kuharap kau tidak trauma atau pingsan,” ujar Gusti samb
Akhir 2017 HARI hari berlalu dengan cepat. Semangat Haidar untuk melanjutkan studi ke Australia belum menemui titik kejelasan. Sejumlah program beasiswa yang diajukannya menuai hasil yang kurang mengembirakan. Ia mengajukan program beasiswa ke LPSDM Aceh. Namun syarat dengan waktu yang ditetapkan terlalu mepet. Ia akhirnya dipaksa menyerah dengan keadaan yang terjadi. Pimpinan di lembaga itu meminta Haidar untuk memperoleh rekomendasi dari sejumlah orang yang tak dikenalnya. “Mungkin beasiswa itu bukan untuk kita, San. Meskipun kini yang berkuasa adalah orang-orang seperti ayahku dulu, namun aku tak mengenal satupun petinggi itu sekarang,” keluh Haidar saat menikmati angin malam di depan kos usai pulang bekerja. Saat itu, ada Insani yang menemaninya ngopi bersama. “Kalau bukan untuk orang-orang sepertimu, lantas untuk siapa?” tanya Insani kemudian. Haidar terdiam. Seusai meninggal ayahnya, ia mencoba untuk tidak mengeluh dalam
BAGI Haidar, ada pola perjuangan yang berbeda jauh antara masa konflik dengan seusai damai. Semuanya bermuara pada komitmen dan daya tahan barisan local terhadap taktik yang sedang berjalan. Namun, satu hal yang pasti, semua hal tersebut hanya soal waktu untuk kembali ke siklus awal. Pemerintah pusat sendiri tak akan percaya 100 persen dengan komitmen yang disampaikan mantan pimpinan gerakan Aceh merdeka. Mereka sedang bermain catur untuk setidak gerakan yang dilakukan pasukan nanggroe. Ketika uang sudah pada tahap kepentingan urgen, maka disitulah fase akhir dari perubahan siklus itu sendiri. Dari ego local, orang-orang di Aceh akan kembali nasionalis. Termasuk mereka yang mengaku para pejuang itu sendiri. Sama seperti masa lalu, perjuangan Aceh akan selalu kandas jika dihadapkan dengan persoalan uang. Kemudian kesenjangan social akan tumbuh serta berakhir dengan gerakan baru yang lebih dahsyat. Gerakan baru akan dipimpin oleh mereka yang kec
MEMASUKI akhir 2017, beasiswa yang diharapkan oleh Haidar tak kunjung diperoleh. Semua jalur pemerintah yang ditempuh oleh Haidar akhirnya kandas di tengah jalan. Keadaan ini membuat jadwal keberangkatan Haidar di 2018 terancam gagal dan bergeser hingga pertengahan 2019. Haidar sendiri mulai memasang alternatif kedua. Alternatif tersebut adalah ia tetap mendaftar meski tidak ada beasiswa. “Aku harus menyimpan uang untuk semester pertama dan kedua. Kemudian untuk tahun kedua, aku akan bekerja apapun guna bertahan,” gumam Haidar dalam hati sambil memasang target. Untuk mencapai target ini, Haidar mulai kembali mengambil beberapa pekerjaan sekaligus agar bisa menabung. Pagi hari, ia mengajar di salah satu sekolah swasta di seputaran Banda Aceh. Siang harinya membantu Bang Ilham di bengkel yang berada di Darussalam dan sore hingga malam dihabiskan waktu di Warkop Pinggir Kali dengan jualan burger. Haidar yakin bahwa perjuangan panjangnya tersebut
Bireuen, awal 2000 SAKDIAH tertunduk lesu. Ia masih mengenakan mukena yang dibeli almarhum suaminya beberapa tahun lalu. Seperti hari-hari biasanya, ia terbiasa bersimpuh usai salat malam. Saat warga lain terbuai dengan mimpi, ia bangun untuk bersujud pada sang pencipta. Mencurahkan isi hatinya kepada sang pencipta. Setahun lebih Teungku Fiah meninggalkannya untuk selama-lamanya, ternyata kehidupan Sakdiah tak lebih baik. Ujian demi ujian kehidupan dilaluinya dengan sabar dan tawakal. Namun ia yakin bahwa semua ujian hidup yang dilaluinya selama ini pasti akan mencapai titik akhir. Tuhan tak akan selamanya memberikan ujian kepada dirinya. Ia yakin bahwa kesulitan hidupnya akan segera selesai. Ia hanya perlu bersabar dan bekerja lebih giat hari demi hari. Minimal, ia harus tampil kuat di depan anaknya yang masih kecil. Ya, anaknya yang masih hidup dan satu-satunya peninggalan sang suami yang membuatnya bertahan selama ini.
MATA Sakdiah tiba tiba terserang rasa kantuk yang luar biasa. Tubuhnya tersungkur dalam sajadah lusung miliknya. Entah berapa jam ia tertidur di sana. Kemudian ada tangan kecil yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya. Ada malaikat kecil yang seolah memberinya kehangatan yang luar biasa. Kekuatan untuk melawan dinginnya angin malam serta membuatnya nyaman meski cuma tidur dengan alas sajadah tipis. Saat matanya terbuka. Anaknya Haidar, tertidur di sisinya. Padahal, sebelumnya bocah itu tertidur di atas ranjang kecil yang dimiliki mereka. Sakdiah memandang bocah itu dengan seksama. Ia tidak mau membangunkan anaknya itu. Wajahnya itu lumayan ganteng untuk bocah seumurannya. Namun ia telah melalui hari-hari kelam dan penderitaan yang tiada ujung. Hati Sakdiah tersentuh ketika melihat anaknya itu. Ia belum mampu memberikan kebahagian bagi satu-satunya harta berharga yang dimilikinya kini. Harta yang tidak akan ditukarnya dengan apapun di dunia ini.