Akhir 2017
HARI hari berlalu dengan cepat. Semangat Haidar untuk melanjutkan studi ke Australia belum menemui titik kejelasan. Sejumlah program beasiswa yang diajukannya menuai hasil yang kurang mengembirakan.
Ia mengajukan program beasiswa ke LPSDM Aceh. Namun syarat dengan waktu yang ditetapkan terlalu mepet. Ia akhirnya dipaksa menyerah dengan keadaan yang terjadi. Pimpinan di lembaga itu meminta Haidar untuk memperoleh rekomendasi dari sejumlah orang yang tak dikenalnya.
“Mungkin beasiswa itu bukan untuk kita, San. Meskipun kini yang berkuasa adalah orang-orang seperti ayahku dulu, namun aku tak mengenal satupun petinggi itu sekarang,” keluh Haidar saat menikmati angin malam di depan kos usai pulang bekerja. Saat itu, ada Insani yang menemaninya ngopi bersama.
“Kalau bukan untuk orang-orang sepertimu, lantas untuk siapa?” tanya Insani kemudian.
Haidar terdiam. Seusai meninggal ayahnya, ia mencoba untuk tidak mengeluh dalam
BAGI Haidar, ada pola perjuangan yang berbeda jauh antara masa konflik dengan seusai damai. Semuanya bermuara pada komitmen dan daya tahan barisan local terhadap taktik yang sedang berjalan. Namun, satu hal yang pasti, semua hal tersebut hanya soal waktu untuk kembali ke siklus awal. Pemerintah pusat sendiri tak akan percaya 100 persen dengan komitmen yang disampaikan mantan pimpinan gerakan Aceh merdeka. Mereka sedang bermain catur untuk setidak gerakan yang dilakukan pasukan nanggroe. Ketika uang sudah pada tahap kepentingan urgen, maka disitulah fase akhir dari perubahan siklus itu sendiri. Dari ego local, orang-orang di Aceh akan kembali nasionalis. Termasuk mereka yang mengaku para pejuang itu sendiri. Sama seperti masa lalu, perjuangan Aceh akan selalu kandas jika dihadapkan dengan persoalan uang. Kemudian kesenjangan social akan tumbuh serta berakhir dengan gerakan baru yang lebih dahsyat. Gerakan baru akan dipimpin oleh mereka yang kec
MEMASUKI akhir 2017, beasiswa yang diharapkan oleh Haidar tak kunjung diperoleh. Semua jalur pemerintah yang ditempuh oleh Haidar akhirnya kandas di tengah jalan. Keadaan ini membuat jadwal keberangkatan Haidar di 2018 terancam gagal dan bergeser hingga pertengahan 2019. Haidar sendiri mulai memasang alternatif kedua. Alternatif tersebut adalah ia tetap mendaftar meski tidak ada beasiswa. “Aku harus menyimpan uang untuk semester pertama dan kedua. Kemudian untuk tahun kedua, aku akan bekerja apapun guna bertahan,” gumam Haidar dalam hati sambil memasang target. Untuk mencapai target ini, Haidar mulai kembali mengambil beberapa pekerjaan sekaligus agar bisa menabung. Pagi hari, ia mengajar di salah satu sekolah swasta di seputaran Banda Aceh. Siang harinya membantu Bang Ilham di bengkel yang berada di Darussalam dan sore hingga malam dihabiskan waktu di Warkop Pinggir Kali dengan jualan burger. Haidar yakin bahwa perjuangan panjangnya tersebut
Bireuen, awal 2000 SAKDIAH tertunduk lesu. Ia masih mengenakan mukena yang dibeli almarhum suaminya beberapa tahun lalu. Seperti hari-hari biasanya, ia terbiasa bersimpuh usai salat malam. Saat warga lain terbuai dengan mimpi, ia bangun untuk bersujud pada sang pencipta. Mencurahkan isi hatinya kepada sang pencipta. Setahun lebih Teungku Fiah meninggalkannya untuk selama-lamanya, ternyata kehidupan Sakdiah tak lebih baik. Ujian demi ujian kehidupan dilaluinya dengan sabar dan tawakal. Namun ia yakin bahwa semua ujian hidup yang dilaluinya selama ini pasti akan mencapai titik akhir. Tuhan tak akan selamanya memberikan ujian kepada dirinya. Ia yakin bahwa kesulitan hidupnya akan segera selesai. Ia hanya perlu bersabar dan bekerja lebih giat hari demi hari. Minimal, ia harus tampil kuat di depan anaknya yang masih kecil. Ya, anaknya yang masih hidup dan satu-satunya peninggalan sang suami yang membuatnya bertahan selama ini.
MATA Sakdiah tiba tiba terserang rasa kantuk yang luar biasa. Tubuhnya tersungkur dalam sajadah lusung miliknya. Entah berapa jam ia tertidur di sana. Kemudian ada tangan kecil yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya. Ada malaikat kecil yang seolah memberinya kehangatan yang luar biasa. Kekuatan untuk melawan dinginnya angin malam serta membuatnya nyaman meski cuma tidur dengan alas sajadah tipis. Saat matanya terbuka. Anaknya Haidar, tertidur di sisinya. Padahal, sebelumnya bocah itu tertidur di atas ranjang kecil yang dimiliki mereka. Sakdiah memandang bocah itu dengan seksama. Ia tidak mau membangunkan anaknya itu. Wajahnya itu lumayan ganteng untuk bocah seumurannya. Namun ia telah melalui hari-hari kelam dan penderitaan yang tiada ujung. Hati Sakdiah tersentuh ketika melihat anaknya itu. Ia belum mampu memberikan kebahagian bagi satu-satunya harta berharga yang dimilikinya kini. Harta yang tidak akan ditukarnya dengan apapun di dunia ini.
SAKDIAH memulai hari pukul 05.30 WIB. Ia solat Shubuh serta dilanjutkan dengan memasak untuk dirinya dan Haidar. Aktivitas berlanjut dengan mengantar sang anak bersekolah. Sekolah tersebut tak jauh dari tempat kerjanya agar ia mudah antar jemput serta memantau aktifitas Haidar. Ia tak lagi mengeluh. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa curhatnya ketika salat malam ternyata turut didengar oleh sang anak saban malam. Ia telah berjanji pada Haidar untuk tak lagi menangis serta mengeluh atas kekurangan yang mereka rasakan selama ini. “Aku harus tegar agar anakku tidak tumbuh dengan perasaan minder dan kekurangan,” gumam Sakdiah. Apalagi Sakdiah juga sadar bahwa banyak keluarga yang mengalami nasib lebih buruk darinya selama konflik Aceh. Ada juga banyak keluarga yang menjadi korban konflik serta tak makan berhari-hari. Belum lagi, banyak lelaki yang harus keluar dari Aceh agar tak menjadi korban penembakan salah sasaran. Selama konflik, pere
SAKDIAH tumbang usai mencuci piring. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Untung kepalanya tak terbentur dengan tembok warung. Rukaiyah yang berada di dekatnya terlihat panik. Ia segera memanggil suaminya dan beberapa pekerja lainnya untuk mengantar Sakdiah ke Pukesmas terdekat. Buyung sendiri bertindak sigap. Ia segera menyalakan mobil dan meluncur ke Puskesmas Bireuen. Sakdiah sendiri baru sadar setelah beberapa jam dirawat. Ia divonis menderita lambung kronis. Namun itu baru dugaan awal. Perawat di Puskesmas setempat meminta Buyung untuk memeriksa Sakdiah ke RS yang memiliki alat lebih lengkap. Namun ketika informasi tadi disampaikan ke Sakdiah, wanita itu justru terdiam dan kemudian bersikap santai. “Sudah tak perlu dibesar-besarkan. Mungkin aku cuma kelelahan akibat kurang tidur,” ujarnya kepada Buyung. Tapi Buyung sendiri sudah menganggap Sakdiah sebagai keluarganya. Ia tak percaya 100 persen dengan apa yang disampaikan oleh wanita
DUA hari menjalani perawatan di Pukesmas Bireuen, Buyung kemudian memboyong Sakdiah ke RSUZA Banda Aceh. Tujuannya, wanita itu mendapat perawatan yang lebih baik. Buyung tak peduli meski Sakdiah menolak dengan sejumlah alasan. Mereka berangkat di akhir pekan menuju Banda Aceh. Buyung bahkan memboyong Rukaiyah, Haidar dan Dara dalam rombongan. Buyung berharap keberadaan Haidar di sisi Sakdiah, bisa membuat wanita itu cepat sembuh. Jika Sakdiah harus menjalani perawatan lebih lama, maka Rukaiyah dan Dara akan kembali lebih cepat ke Bireuen. Tinggal dirinya bersama Haidar untuk menjaga Sakdiah di RSUZA Banda Aceh. Rukaiyah dan Buyung sudah sepakat untuk menjaga Sakdiah bergilir selama perawatan. Wanita tua itu sudah dianggap sebagai keluarganya. Sayangnya, tiba di RSUZA, Sakdiah malah diagnosa mengalami komplikasi. Luka dalamnya dalam tahap serius. “Proses pengobatannya lebih lama pak. Kemungkinan sembuh seperti sediakala juga kecil,” ujar dokter
BUYUNG benar-benar menjalankan komitmennya untuk menjaga Haidar selepas ditinggal Sakdiah untuk selamanya. Ia menganggap Haidar seperti anak laki-lakinya sendiri. Apalagi, selama ini, ia hanya memiliki seorang anak perempuan yang usianya tak jauh terpaut dari Haidar. Ia juga memberi perhatian untuk Haidar sama seperti anaknya sendiri. Bahkan kadang-kadang, Haidar mendapat prioritas utama darinya, dibandingkan anaknya sendiri. Sikap ini kadang menimbul protes dari Dara, anak perempuan satu-satunya itu. “Ayah lebih sayang sama Haidar dibanding Dara. Apa yang dibutuhkannya selalu dituruti. Sedangkan permintaan Dara ditunda selalu,” protes anaknya Dara suatu ketika. “Selama ada Haidar, Dara dinomorduakan.” Terkait hal ini, Buyung mencoba menasehati anaknya tersebut secara halus. Ia tidak mau timbul kecemburuan antara Dara dan Haidar. Ia khawatir kondisi ini membuat Haidar serba salah dan kemudian tidak betah tinggal bersamanya. Padahal, ia dan Ruk
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp