SAKDIAH tumbang usai mencuci piring. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Untung kepalanya tak terbentur dengan tembok warung.
Rukaiyah yang berada di dekatnya terlihat panik. Ia segera memanggil suaminya dan beberapa pekerja lainnya untuk mengantar Sakdiah ke Pukesmas terdekat.
Buyung sendiri bertindak sigap. Ia segera menyalakan mobil dan meluncur ke Puskesmas Bireuen.
Sakdiah sendiri baru sadar setelah beberapa jam dirawat. Ia divonis menderita lambung kronis. Namun itu baru dugaan awal. Perawat di Puskesmas setempat meminta Buyung untuk memeriksa Sakdiah ke RS yang memiliki alat lebih lengkap.
Namun ketika informasi tadi disampaikan ke Sakdiah, wanita itu justru terdiam dan kemudian bersikap santai.
“Sudah tak perlu dibesar-besarkan. Mungkin aku cuma kelelahan akibat kurang tidur,” ujarnya kepada Buyung.
Tapi Buyung sendiri sudah menganggap Sakdiah sebagai keluarganya. Ia tak percaya 100 persen dengan apa yang disampaikan oleh wanita
DUA hari menjalani perawatan di Pukesmas Bireuen, Buyung kemudian memboyong Sakdiah ke RSUZA Banda Aceh. Tujuannya, wanita itu mendapat perawatan yang lebih baik. Buyung tak peduli meski Sakdiah menolak dengan sejumlah alasan. Mereka berangkat di akhir pekan menuju Banda Aceh. Buyung bahkan memboyong Rukaiyah, Haidar dan Dara dalam rombongan. Buyung berharap keberadaan Haidar di sisi Sakdiah, bisa membuat wanita itu cepat sembuh. Jika Sakdiah harus menjalani perawatan lebih lama, maka Rukaiyah dan Dara akan kembali lebih cepat ke Bireuen. Tinggal dirinya bersama Haidar untuk menjaga Sakdiah di RSUZA Banda Aceh. Rukaiyah dan Buyung sudah sepakat untuk menjaga Sakdiah bergilir selama perawatan. Wanita tua itu sudah dianggap sebagai keluarganya. Sayangnya, tiba di RSUZA, Sakdiah malah diagnosa mengalami komplikasi. Luka dalamnya dalam tahap serius. “Proses pengobatannya lebih lama pak. Kemungkinan sembuh seperti sediakala juga kecil,” ujar dokter
BUYUNG benar-benar menjalankan komitmennya untuk menjaga Haidar selepas ditinggal Sakdiah untuk selamanya. Ia menganggap Haidar seperti anak laki-lakinya sendiri. Apalagi, selama ini, ia hanya memiliki seorang anak perempuan yang usianya tak jauh terpaut dari Haidar. Ia juga memberi perhatian untuk Haidar sama seperti anaknya sendiri. Bahkan kadang-kadang, Haidar mendapat prioritas utama darinya, dibandingkan anaknya sendiri. Sikap ini kadang menimbul protes dari Dara, anak perempuan satu-satunya itu. “Ayah lebih sayang sama Haidar dibanding Dara. Apa yang dibutuhkannya selalu dituruti. Sedangkan permintaan Dara ditunda selalu,” protes anaknya Dara suatu ketika. “Selama ada Haidar, Dara dinomorduakan.” Terkait hal ini, Buyung mencoba menasehati anaknya tersebut secara halus. Ia tidak mau timbul kecemburuan antara Dara dan Haidar. Ia khawatir kondisi ini membuat Haidar serba salah dan kemudian tidak betah tinggal bersamanya. Padahal, ia dan Ruk
Haidar sempat terluntang-luntang di jalan selama dua hari. Beruntung, ia kemudian ditemukan oleh seorang guru dayah, kenalan Sakdiah dan Teungku Fiah semasa hidup. Kenalan tersebut adalah Hanafi. Namanya hampir sama seperti almarhum ayah Haidar. Hanafi adalah salah seorang mantan santri di dayah Matang, pimpinan Waled, yang pernah menjadi lokasi berteduh bagi Sakdiah dan Teungku Fiah semasa hidup. Hanafi kini mengajar di salah satu dayah modern di Bireuen. Dayah tersebut juga menampung sejumlah yatim piatu korban konflik. Haidar kemudian dibawa pulang ke rumah Hanafi dan Ia menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Mulai dari tragedi meninggalnya Sakdiah, kecelakaan yang menimpa Buyung dan Rukaiyah, keluarga angkatnya, hingga cemoohan orang-orang di sekitar rumah keluarga angkatnya soal posisi dirinya yang dianggap pembawa sial. Keadaan inilah yang membuat Haidar memutuskan pergi dari rumah duka keluarga angkatnya. Cerita Haidar ter
GADIS itu sumringah. Ia mendadak loncat dan berdiri. Tingkahnya membuat para pelayan dan pelanggan lain terkejut serta memandang dengan tatapan aneh. Tapi ia tidak peduli dan bergegas menuju ke rak burger untuk memeluk lelaki muda yang dipandanginya sejak tadi. “Akhirnya ketemu,” ujarnya sambil memeluk tiba-tiba. Sedangkan pria muda yang dipeluknya, terlihat shock dan terkaget. Ia juga malu dipandangi oleh sejumlah mata di warung itu. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa gadis itu memeluknya tiba-tiba. Beberapa roti yang dipegangnya jatuh dari tangan. Jantungnya berdetak kencang. Ini merupakan kali pertama ia dipeluk oleh non muhrim. Apalagi gadis tersebut sangat cantik. Kepalanya penuh dengan tanda tanya. Ia takut jika sang gadis salah sangka atau bertemu dengan orang yang salah. “Maaf Mbak bisa dilepas pelukannya dulu. Gak enak dilihat sama orang,” ujar pemuda tadi. Ia Haidar. Sang gadis tersadar. Ia tersenyum samb
DARA dan Haidar memilih meja yang agak terpisah di pojok warung. Ini agar keduanya leluasa berbicara. Keduanya terlihat kaku meski telah saling mengenal sejak kecil. Mungkin karena terpisah belasan tahun. Keduanya kini tumbuh dewasa. “Dar, aku minta maaf atas yang terjadi di masa lalu. Sebenarnya, yang menghasut nenek dan keluarga ayah yang datang dari Sumatera Barat untuk tidak mengajak serta kamu ke sana, adalah aku. Ego anak-anakku yang menyalahkanmu atas tragedy yang menimpa keluarga kita belasan tahun lalu,” ujar Dara memulai percakapan. “Aku benar-benar menyesal. Bertahun-tahun aku merasa bersalah dan mencarimu. Namun tak pernah ketemu,” kata Haidar lagi. Haidar terdiam. Ia kemudian tersenyum mendengar penuturan Dara. Sejak dulu, ia memang tak pernah menaruh dendam atau sakit hati kepada Dara dan keluarganya di Sumatera Barat yang datang pasca kecelakaan ayah dan ibu angkatnya. “Jujur, kalau diajak pun aku akan menolak. Ini alasan aku pergi dari
Haidar kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa Dara tiba-tiba bertanya hal privasi seperti tadi. Namun karena mereka baru ketemu, ia menganggap pertanyaan tadi bagian dari basa-basi mereka setelah terpisah belasan tahun. “Belum. Ada banyak target yang harus kucapai. Setidaknya aku ingin menjalankan wasiet orangtuaku terlebih dahulu,” ujarnya kemudian. Dara menarik nafas panjang. Namun pertanyaan lainnya kembali meluncur dari mulut gadis cantik itu berselang menit kemudian. “Apakah kau sudah memilih calon?”tanyanya lagi. Pertanyaan kali ini membuat Haidar mendadak diam. Dulu ia memiliki komitmen dengan seorang gadis cantik asal Ngawi, Jawa Timur. Namun kini ia telah pulang kampung. Beberapa waktu lalu, Insani, kawan sekos-nya juga melihat wanita itu dekat dengan seorang pria berseragam militer. Ayah Sefti juga tak merestui hubungan mereka. Entah komitmen tersebut masih dipegang oleh Sefti atau kini ia telah memiliki ikatan dengan pria lain.
“Uang ini harusnya dicairkan tiap bulan untukmu. Tapi karena kau menghilang entah kemana. Jadi seperti sekarang. Awalnya, persoalan ini hanya diketahui oleh adik ayah, tapi kemudian pengacara ayah, kembali mengingatkan.” “Keluarga kami meminta maaf karena menutup hal ini selama belasan tahun. Atas dasar itu, aku minta maaf,” ujar Dara lagi. Haidar terdiam dengan pengakuan Dara. Ia memegang buku rekening tua di depannya itu dengan sangat hati-hati. Entah kenapa, ia seakan tak percaya dengan apa yang terjadi. Bertahun-tahun ia mencoba bertahan hidup. Ia mencari uang hari demi hari untuk makan dan sekolah. Namun kini seolah-olah menjadi mudah baginya. Beberapa jam lalu, ia masih memikirkan beasiswa untuk bisa meraih Magister di Australia. Tiap waktu salat, ia selalu bersujud untuk diberi solusi atas persoalan yang menderanya selama ini. Kini doanya terwujud meskipun ia belum tahu berapa isi rekening tersebut. Air mata Haidar tiba-tiba menetes. Ia
MATA Haidar hampir copot. Ia seakan tak percaya. Ia terkejut luar biasa saat melihat angka yang tertera di buku rekeningnya. Nilai yang tercantum di rekening tersebut selama hampir 12 tahun lebih, ternyata hampir mencapai angka 1 miliar. Nilai ini terlalu besar baginya. Apalagi selama ini ia hanya mampu mencari uang hari demi hari untuk bertahan hidup. Uang dengan nilai paling tinggi yang sering dilihatnya selama ini hanya ratusan ribu. Namun sejak kemarin, ia diberi kabar mendapat wasiet dari ayah angkatnya dengan nilai di luar dugaan. Beberapa hari lalu, ia masih berkutat dengan langkah alternative untuk tetap bisa berangkat ke Australia meski tidak ada beasiswa dan tabungan yang memadati. Kemarin, ia bertemu dengan Dara, dan malamnya mereka langsung berangkat ke Bireuen untuk berziarah ke makan orangtua dan keluarga angkatnya. Usai ziarah, mereka berkunjung ke bekas rumah almarhum ayah Dara untuk sekedar bernostalgia. Kemudian keduanya sama
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp