MATA Sakdiah tiba tiba terserang rasa kantuk yang luar biasa. Tubuhnya tersungkur dalam sajadah lusung miliknya. Entah berapa jam ia tertidur di sana. Kemudian ada tangan kecil yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya.
Ada malaikat kecil yang seolah memberinya kehangatan yang luar biasa. Kekuatan untuk melawan dinginnya angin malam serta membuatnya nyaman meski cuma tidur dengan alas sajadah tipis.
Saat matanya terbuka. Anaknya Haidar, tertidur di sisinya. Padahal, sebelumnya bocah itu tertidur di atas ranjang kecil yang dimiliki mereka.
Sakdiah memandang bocah itu dengan seksama. Ia tidak mau membangunkan anaknya itu. Wajahnya itu lumayan ganteng untuk bocah seumurannya. Namun ia telah melalui hari-hari kelam dan penderitaan yang tiada ujung.
Hati Sakdiah tersentuh ketika melihat anaknya itu. Ia belum mampu memberikan kebahagian bagi satu-satunya harta berharga yang dimilikinya kini. Harta yang tidak akan ditukarnya dengan apapun di dunia ini.
SAKDIAH memulai hari pukul 05.30 WIB. Ia solat Shubuh serta dilanjutkan dengan memasak untuk dirinya dan Haidar. Aktivitas berlanjut dengan mengantar sang anak bersekolah. Sekolah tersebut tak jauh dari tempat kerjanya agar ia mudah antar jemput serta memantau aktifitas Haidar. Ia tak lagi mengeluh. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa curhatnya ketika salat malam ternyata turut didengar oleh sang anak saban malam. Ia telah berjanji pada Haidar untuk tak lagi menangis serta mengeluh atas kekurangan yang mereka rasakan selama ini. “Aku harus tegar agar anakku tidak tumbuh dengan perasaan minder dan kekurangan,” gumam Sakdiah. Apalagi Sakdiah juga sadar bahwa banyak keluarga yang mengalami nasib lebih buruk darinya selama konflik Aceh. Ada juga banyak keluarga yang menjadi korban konflik serta tak makan berhari-hari. Belum lagi, banyak lelaki yang harus keluar dari Aceh agar tak menjadi korban penembakan salah sasaran. Selama konflik, pere
SAKDIAH tumbang usai mencuci piring. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Untung kepalanya tak terbentur dengan tembok warung. Rukaiyah yang berada di dekatnya terlihat panik. Ia segera memanggil suaminya dan beberapa pekerja lainnya untuk mengantar Sakdiah ke Pukesmas terdekat. Buyung sendiri bertindak sigap. Ia segera menyalakan mobil dan meluncur ke Puskesmas Bireuen. Sakdiah sendiri baru sadar setelah beberapa jam dirawat. Ia divonis menderita lambung kronis. Namun itu baru dugaan awal. Perawat di Puskesmas setempat meminta Buyung untuk memeriksa Sakdiah ke RS yang memiliki alat lebih lengkap. Namun ketika informasi tadi disampaikan ke Sakdiah, wanita itu justru terdiam dan kemudian bersikap santai. “Sudah tak perlu dibesar-besarkan. Mungkin aku cuma kelelahan akibat kurang tidur,” ujarnya kepada Buyung. Tapi Buyung sendiri sudah menganggap Sakdiah sebagai keluarganya. Ia tak percaya 100 persen dengan apa yang disampaikan oleh wanita
DUA hari menjalani perawatan di Pukesmas Bireuen, Buyung kemudian memboyong Sakdiah ke RSUZA Banda Aceh. Tujuannya, wanita itu mendapat perawatan yang lebih baik. Buyung tak peduli meski Sakdiah menolak dengan sejumlah alasan. Mereka berangkat di akhir pekan menuju Banda Aceh. Buyung bahkan memboyong Rukaiyah, Haidar dan Dara dalam rombongan. Buyung berharap keberadaan Haidar di sisi Sakdiah, bisa membuat wanita itu cepat sembuh. Jika Sakdiah harus menjalani perawatan lebih lama, maka Rukaiyah dan Dara akan kembali lebih cepat ke Bireuen. Tinggal dirinya bersama Haidar untuk menjaga Sakdiah di RSUZA Banda Aceh. Rukaiyah dan Buyung sudah sepakat untuk menjaga Sakdiah bergilir selama perawatan. Wanita tua itu sudah dianggap sebagai keluarganya. Sayangnya, tiba di RSUZA, Sakdiah malah diagnosa mengalami komplikasi. Luka dalamnya dalam tahap serius. “Proses pengobatannya lebih lama pak. Kemungkinan sembuh seperti sediakala juga kecil,” ujar dokter
BUYUNG benar-benar menjalankan komitmennya untuk menjaga Haidar selepas ditinggal Sakdiah untuk selamanya. Ia menganggap Haidar seperti anak laki-lakinya sendiri. Apalagi, selama ini, ia hanya memiliki seorang anak perempuan yang usianya tak jauh terpaut dari Haidar. Ia juga memberi perhatian untuk Haidar sama seperti anaknya sendiri. Bahkan kadang-kadang, Haidar mendapat prioritas utama darinya, dibandingkan anaknya sendiri. Sikap ini kadang menimbul protes dari Dara, anak perempuan satu-satunya itu. “Ayah lebih sayang sama Haidar dibanding Dara. Apa yang dibutuhkannya selalu dituruti. Sedangkan permintaan Dara ditunda selalu,” protes anaknya Dara suatu ketika. “Selama ada Haidar, Dara dinomorduakan.” Terkait hal ini, Buyung mencoba menasehati anaknya tersebut secara halus. Ia tidak mau timbul kecemburuan antara Dara dan Haidar. Ia khawatir kondisi ini membuat Haidar serba salah dan kemudian tidak betah tinggal bersamanya. Padahal, ia dan Ruk
Haidar sempat terluntang-luntang di jalan selama dua hari. Beruntung, ia kemudian ditemukan oleh seorang guru dayah, kenalan Sakdiah dan Teungku Fiah semasa hidup. Kenalan tersebut adalah Hanafi. Namanya hampir sama seperti almarhum ayah Haidar. Hanafi adalah salah seorang mantan santri di dayah Matang, pimpinan Waled, yang pernah menjadi lokasi berteduh bagi Sakdiah dan Teungku Fiah semasa hidup. Hanafi kini mengajar di salah satu dayah modern di Bireuen. Dayah tersebut juga menampung sejumlah yatim piatu korban konflik. Haidar kemudian dibawa pulang ke rumah Hanafi dan Ia menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Mulai dari tragedi meninggalnya Sakdiah, kecelakaan yang menimpa Buyung dan Rukaiyah, keluarga angkatnya, hingga cemoohan orang-orang di sekitar rumah keluarga angkatnya soal posisi dirinya yang dianggap pembawa sial. Keadaan inilah yang membuat Haidar memutuskan pergi dari rumah duka keluarga angkatnya. Cerita Haidar ter
GADIS itu sumringah. Ia mendadak loncat dan berdiri. Tingkahnya membuat para pelayan dan pelanggan lain terkejut serta memandang dengan tatapan aneh. Tapi ia tidak peduli dan bergegas menuju ke rak burger untuk memeluk lelaki muda yang dipandanginya sejak tadi. “Akhirnya ketemu,” ujarnya sambil memeluk tiba-tiba. Sedangkan pria muda yang dipeluknya, terlihat shock dan terkaget. Ia juga malu dipandangi oleh sejumlah mata di warung itu. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa gadis itu memeluknya tiba-tiba. Beberapa roti yang dipegangnya jatuh dari tangan. Jantungnya berdetak kencang. Ini merupakan kali pertama ia dipeluk oleh non muhrim. Apalagi gadis tersebut sangat cantik. Kepalanya penuh dengan tanda tanya. Ia takut jika sang gadis salah sangka atau bertemu dengan orang yang salah. “Maaf Mbak bisa dilepas pelukannya dulu. Gak enak dilihat sama orang,” ujar pemuda tadi. Ia Haidar. Sang gadis tersadar. Ia tersenyum samb
DARA dan Haidar memilih meja yang agak terpisah di pojok warung. Ini agar keduanya leluasa berbicara. Keduanya terlihat kaku meski telah saling mengenal sejak kecil. Mungkin karena terpisah belasan tahun. Keduanya kini tumbuh dewasa. “Dar, aku minta maaf atas yang terjadi di masa lalu. Sebenarnya, yang menghasut nenek dan keluarga ayah yang datang dari Sumatera Barat untuk tidak mengajak serta kamu ke sana, adalah aku. Ego anak-anakku yang menyalahkanmu atas tragedy yang menimpa keluarga kita belasan tahun lalu,” ujar Dara memulai percakapan. “Aku benar-benar menyesal. Bertahun-tahun aku merasa bersalah dan mencarimu. Namun tak pernah ketemu,” kata Haidar lagi. Haidar terdiam. Ia kemudian tersenyum mendengar penuturan Dara. Sejak dulu, ia memang tak pernah menaruh dendam atau sakit hati kepada Dara dan keluarganya di Sumatera Barat yang datang pasca kecelakaan ayah dan ibu angkatnya. “Jujur, kalau diajak pun aku akan menolak. Ini alasan aku pergi dari
Haidar kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa Dara tiba-tiba bertanya hal privasi seperti tadi. Namun karena mereka baru ketemu, ia menganggap pertanyaan tadi bagian dari basa-basi mereka setelah terpisah belasan tahun. “Belum. Ada banyak target yang harus kucapai. Setidaknya aku ingin menjalankan wasiet orangtuaku terlebih dahulu,” ujarnya kemudian. Dara menarik nafas panjang. Namun pertanyaan lainnya kembali meluncur dari mulut gadis cantik itu berselang menit kemudian. “Apakah kau sudah memilih calon?”tanyanya lagi. Pertanyaan kali ini membuat Haidar mendadak diam. Dulu ia memiliki komitmen dengan seorang gadis cantik asal Ngawi, Jawa Timur. Namun kini ia telah pulang kampung. Beberapa waktu lalu, Insani, kawan sekos-nya juga melihat wanita itu dekat dengan seorang pria berseragam militer. Ayah Sefti juga tak merestui hubungan mereka. Entah komitmen tersebut masih dipegang oleh Sefti atau kini ia telah memiliki ikatan dengan pria lain.