BERGERAK sekitar 50 meter, seperti yang disampaikan Ridwan, Teungku Fiah dan Mustafa disambut oleh Lemha di salah satu rumah warga.
“Aku sudah lama menanti kedatangan Teungku dan Mustafa. Aku khawatir usai kejadian semalam di dayah,” ujar Lemha.
Lemha kemudian memaparkan kondisi terakhir keadaan pasukan selama ditinggalkan Teungku Fiah dan Mustafa yang ‘cuti’ beberapa saat untuk menemani keluarga.
“Ada beberapa anggota pasukan kita yang bertambah. Kemudian beberapa aktivis mahasiswa juga izin beroperasi di Simpang Ulim,” ujar Lemha.
“Mentroe meminta kita aktif untuk memberi dakwah Aceh merdeka ke tengah tengah masyarakat. Ini saat yang tepat untuk tampil mengingat gerakan ini kian mengakar di seluruh Aceh,” katanya lagi.
Usai rembuk hampir setengah jam, seluruh jajaran menunjuk Teungku Fiah dan Mustafa sebagai penceramah di desa-desa dalam kawasan Julok dan Simpang Ulim. Tim dibagi dua. Satu tim dipimpin oleh Teungku Fiah dan ditemani oleh Lem
“Aku kena,” ujar Teungku Fiah. Mulutnya berlumur darah. Wajah Ridwan terlihat panic. Mustafa juga memegang dada yang berlumuran darah. “Aku juga teungku. Mungkin ini akhir dari perlawanan kita,” ujarnya. Ridwan mencoba mengurangi kecepatan kemudian berbelok ke jalan kampung untuk menghilang dari kejaran patroli tentara republic. Langkahnya cukup jitu. Mereka lolos dari sergapan musuh. Namun pendarahan Teungku Fiah cukup deras. Demikian juga dengan Mustafa. Keadaan ini membuat Ridwan kian panik. Ia membuka bajunya untuk menahan pendarahan yang dialami oleh Teungku Fiah. Namun pria tua itu justru memberikan kepada Mustafa. “Aku tak mungkin tertolong lagi. Selamatkan Mustafa saja,” ujarnya dengan nafas terpotong-potong. Ia kemudian meletakan baju di dada Mustafa. “Antarkan aku ke depan rumah dan kemudian larikan Mustafa ke dokter Ichsan di Bireuen. Ia bisa mengobati Mustafa,” ujar Teungku Fiah lagi. Dalam keadaan panic, Ridwan men
Banda Aceh, pertengahan 2017 SUASANA di Warkop Pinggir Kali ramai di malam hari. Warung lebih padat dari biasanya. Haidar sibuk melayani sejumlah pelanggan. Burgernya laku keras malam ini. Stok rotinya hampir habis. Ada seorang pria tua terlihat mengamatinya dari kejauhan. Pria itu duduk di sudut kiri ruangan. Ada kopi pancong dan roti selei di depannya. Postur tubuhnya terlihat kekar. Ia memakai peci putih serta baju kemeja berwarna merah garis biru. Saat Haidar terlihat lebih santai. Pria tua itu mendekati Haidar. “Anak muda. Aku ingin bicara serius denganmu. Dapatkah kita duduk berdua sebentar di sudut itu,” ujarnya tiba-tiba. Sorot mata pria tua itu tajam. Ia seolah ingin menerkam Haidar. Haidar mengangguk. Ia kemudian mengikuti pria tua itu tanpa prasangka buruk. Selama ini, beberapa pelanggan memang sering mengajaknya ngopi untuk sekedar menghilangkan suntuk. “Aku Gusti, seorang tentara dan keturunan Jawa
Penjelasan pria tua itu membuat Haidar terdiam lama. Ia mencoba mencari jawaban yang bijak agar tak menyakiti pria itu. Ini karena Haidar sadar bahwa apa yang disampaikan oleh pria itu ada benarnya. “Terus terang pak. Saya sudah menjalani komunikasi dengan Sefti sejak lama. Namun kami berdua tidak memiliki komitmen apapun. Dan saya tidak akan menyentuhnya hingga saya melamar resmi dari bapak,” ujar Haidar kemudian. “Saya muslim dan keturunan Aceh. Saya paham agama dan menjaga adat istiadat dengan kental. Bagi saya, tidak ada istilah pacaran. Ini sudah berulangkali saya sampaikan pada Sefti,” katanya. “Saya tidak pernah membenci Sefti atau bapak karena berdarah Jawa. Saya tahu bahwa konflik-lah yang membuat TNI dan GAM saling berhadapan di masa lalu. Kalau ada yang patut disalahkan, mungkin pemerintah di masa lalu yang senang dengan pertumpahan darah di Aceh,” ujarnya lagi. Gusti menatap Haidar dengan tajam. Ia seperti tak menyangka mendapat lawan deba
Gusti menyerah. Pemuda di depannya, sama keras kepala dengan dirinya. Pria muda itu selalu memiliki jawaban yang tepat dari setiap pertanyaan yang disampaikannya. Entah karena ia sedang tidak dalam kondisi optimal atau memang nalar yang disampaikan pria idaman anak perempuannya itu memang begitu adanya.Sefti sendiri sudah melarang Gusti untuk bertemu dengan pemuda yang dikaguminya selama ini. Namun Gusti tetap ngotot. Apalagi setelah diketahui jika calon menantunya itu memiliki jiwa pemberontak.Bagi Gusti, tak ada masalah antara anak pemberontak atau pahlawan negara. Karena hidup seseorang ditentukan oleh takdirnya sendiri. Atas dasar itu, Gusti menemui Haidar.Gusti ingin mengetes pria muda itu tentang sejauh mana ia mencintai anak perempuan satu satunya itu.“Baiklah kalau begitu. Malam ini cukup di sini. Kita akan berjumpa lagi lain waktu. Mungkin aku akan memakai baju tentara nanti. Kuharap kau tidak trauma atau pingsan,” ujar Gusti samb
Akhir 2017 HARI hari berlalu dengan cepat. Semangat Haidar untuk melanjutkan studi ke Australia belum menemui titik kejelasan. Sejumlah program beasiswa yang diajukannya menuai hasil yang kurang mengembirakan. Ia mengajukan program beasiswa ke LPSDM Aceh. Namun syarat dengan waktu yang ditetapkan terlalu mepet. Ia akhirnya dipaksa menyerah dengan keadaan yang terjadi. Pimpinan di lembaga itu meminta Haidar untuk memperoleh rekomendasi dari sejumlah orang yang tak dikenalnya. “Mungkin beasiswa itu bukan untuk kita, San. Meskipun kini yang berkuasa adalah orang-orang seperti ayahku dulu, namun aku tak mengenal satupun petinggi itu sekarang,” keluh Haidar saat menikmati angin malam di depan kos usai pulang bekerja. Saat itu, ada Insani yang menemaninya ngopi bersama. “Kalau bukan untuk orang-orang sepertimu, lantas untuk siapa?” tanya Insani kemudian. Haidar terdiam. Seusai meninggal ayahnya, ia mencoba untuk tidak mengeluh dalam
BAGI Haidar, ada pola perjuangan yang berbeda jauh antara masa konflik dengan seusai damai. Semuanya bermuara pada komitmen dan daya tahan barisan local terhadap taktik yang sedang berjalan. Namun, satu hal yang pasti, semua hal tersebut hanya soal waktu untuk kembali ke siklus awal. Pemerintah pusat sendiri tak akan percaya 100 persen dengan komitmen yang disampaikan mantan pimpinan gerakan Aceh merdeka. Mereka sedang bermain catur untuk setidak gerakan yang dilakukan pasukan nanggroe. Ketika uang sudah pada tahap kepentingan urgen, maka disitulah fase akhir dari perubahan siklus itu sendiri. Dari ego local, orang-orang di Aceh akan kembali nasionalis. Termasuk mereka yang mengaku para pejuang itu sendiri. Sama seperti masa lalu, perjuangan Aceh akan selalu kandas jika dihadapkan dengan persoalan uang. Kemudian kesenjangan social akan tumbuh serta berakhir dengan gerakan baru yang lebih dahsyat. Gerakan baru akan dipimpin oleh mereka yang kec
MEMASUKI akhir 2017, beasiswa yang diharapkan oleh Haidar tak kunjung diperoleh. Semua jalur pemerintah yang ditempuh oleh Haidar akhirnya kandas di tengah jalan. Keadaan ini membuat jadwal keberangkatan Haidar di 2018 terancam gagal dan bergeser hingga pertengahan 2019. Haidar sendiri mulai memasang alternatif kedua. Alternatif tersebut adalah ia tetap mendaftar meski tidak ada beasiswa. “Aku harus menyimpan uang untuk semester pertama dan kedua. Kemudian untuk tahun kedua, aku akan bekerja apapun guna bertahan,” gumam Haidar dalam hati sambil memasang target. Untuk mencapai target ini, Haidar mulai kembali mengambil beberapa pekerjaan sekaligus agar bisa menabung. Pagi hari, ia mengajar di salah satu sekolah swasta di seputaran Banda Aceh. Siang harinya membantu Bang Ilham di bengkel yang berada di Darussalam dan sore hingga malam dihabiskan waktu di Warkop Pinggir Kali dengan jualan burger. Haidar yakin bahwa perjuangan panjangnya tersebut
Bireuen, awal 2000 SAKDIAH tertunduk lesu. Ia masih mengenakan mukena yang dibeli almarhum suaminya beberapa tahun lalu. Seperti hari-hari biasanya, ia terbiasa bersimpuh usai salat malam. Saat warga lain terbuai dengan mimpi, ia bangun untuk bersujud pada sang pencipta. Mencurahkan isi hatinya kepada sang pencipta. Setahun lebih Teungku Fiah meninggalkannya untuk selama-lamanya, ternyata kehidupan Sakdiah tak lebih baik. Ujian demi ujian kehidupan dilaluinya dengan sabar dan tawakal. Namun ia yakin bahwa semua ujian hidup yang dilaluinya selama ini pasti akan mencapai titik akhir. Tuhan tak akan selamanya memberikan ujian kepada dirinya. Ia yakin bahwa kesulitan hidupnya akan segera selesai. Ia hanya perlu bersabar dan bekerja lebih giat hari demi hari. Minimal, ia harus tampil kuat di depan anaknya yang masih kecil. Ya, anaknya yang masih hidup dan satu-satunya peninggalan sang suami yang membuatnya bertahan selama ini.
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp