Mbak Venya menatap langit-langit kamar rawat dengan tatapan yang tidak kumengerti. Ia tersenyum sesaat dan menghirup udara ke dalam tenggorokannya, hingga dadanya terlihat meninggi. Kemudian kembali ke keadaan semula. Terus terang aku belum banyak tahu tentang Mbak Venya. Karena memang belum sempat bertanya apa-apa pada Mas Dion. Bertanya pada Mbak Venya pun aku tak berani, kesannya aku mengingatkan keadaannya kini. Sesungguhnya ia terlihat lemah dengan tatapan yang sayu. Namun, ia tetap berusaha ceria seperti biasa. Walau wajah cantiknya tidak memudar, meski tanpa polesan make up, tapi aku tahu, ia tidak sedang baik-baik saja. “Aku senang mengenalmu, Vi.” ucapnya kemudian dengan intonasi pelan, nyaris tak bisa kudengar, andai aku tidak menyimaknya dengan baik. Mbak Venya menatapku dengan tatapan teduh disertai senyuman. “tapi, Maaf. Kamu harus berkorban banyak untuk, Mbak,” sambungnya lagi. Aku membalas tatapan itu dengan sebuah senyuman, sebagai sebuah isyarat aku ikhlas p
Baca selengkapnya