Mbak Venya menatap langit-langit kamar rawat dengan tatapan yang tidak kumengerti. Ia tersenyum sesaat dan menghirup udara ke dalam tenggorokannya, hingga dadanya terlihat meninggi. Kemudian kembali ke keadaan semula. Terus terang aku belum banyak tahu tentang Mbak Venya. Karena memang belum sempat bertanya apa-apa pada Mas Dion. Bertanya pada Mbak Venya pun aku tak berani, kesannya aku mengingatkan keadaannya kini. Sesungguhnya ia terlihat lemah dengan tatapan yang sayu. Namun, ia tetap berusaha ceria seperti biasa. Walau wajah cantiknya tidak memudar, meski tanpa polesan make up, tapi aku tahu, ia tidak sedang baik-baik saja.
“Aku senang mengenalmu, Vi.” ucapnya kemudian dengan intonasi pelan, nyaris tak bisa kudengar, andai aku tidak menyimaknya dengan baik. Mbak Venya menatapku dengan tatapan teduh disertai senyuman. “tapi, Maaf. Kamu harus berkorban banyak untuk, Mbak,” sambungnya lagi. Aku membalas tatapan itu dengan sebuah senyuman, sebagai sebuah isyarat aku ikhlas p
nah, ada kejutan nih dari Venya. ayo dibaca kelanjutannya
“Kau adalah adik yang sangat aku sayangi, Viona,” ucapnya lagi. Aku masih membatu dengan pikiran tak menentu. “Bukan Cuma anakku, tapi aku juga ingin kau merawat Mas Dion dengan baik. Cintailah ia dengan tulus seperti rasa cintamu sebelumnya,” ucap wanita itu lagi dengan air mata menggenang di sudut netranya. Aku makin ternganga dengan kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir tipisnya yang masih terlihat seksi meski dalam kon disi pucat.“Maksud Mbak Apa?” tanyaku“Setelah aku mati, menikahlah dengan Mas Dion, jaga ia dan anakku untukku.”Deg!Bumi serasa bergetar hebat saat kalimat itu dengan sempurna tertangkap pendengatanku. Bagaimana mungkin Mbka Venya mengucapan kalimat itu?Itu yang tadi aku rasakan ketika Mbak Venya sempat mengucapkan kalimat itu ditengah pembicaraanku dengannya. Walau tidak memperjelas keadaan, sebenarnya aku sangat terusik dengan permohonannya itu. Namun, dihadapannya,
Aku membeli es krim kesukaan bayu dan kembali menghampiri Mas Dion yang tadi kutinggalkan di bangku taman. Namun, langkahku terhenti saat melihat Mas Dion terlihat sedang panic sambil menggenggam handphone yang diletakkan di samping daun telinganya. Ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang dengan wajah serius. Berdiri di dekat bangku taman sambil meletakkan satu tangannya di pinggang.“Okey! Aku akan segera ke sana!” ucapnya yang dapat kutangkap setelah aku berada di dekatnya.“Ada apa, Mas?” tanyaku sambil menatap padanya. Ada sebuah perasaan malu kurasakan saat menatap wajah itu. wajah yang dulu sangat mempesonakanku, tapi ia kini telah menjadi pasangan halal kakakku sendiri. Aku seperti merasakan satu perasaan yang salah yang pernah kumiliki terhadap suami dari kakakku sendiri. Ya, Allah! Takdir terkadang memang tidak teruduga. Ia sering membawa kita pada tempat yang tak terpikirkan sebelumnya sama sekali. Aku malu pernah mencintai lelak
Seorang dokter dan seorang suster kembali keluar dari pintu yang sebelumnya tertutup rapat. Kami serentak menoleh ke arah pintu yang terkuak, yang mengeluarkan bunyi decitan itu. Aku langsung bangkt. Demikian juga Mas Dion dan Mama Mbak Venya yang sedari tadi menekur di bangku tunggu sambil menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan. Kami serentak maju beberapa langkah menghampiri dokter itu. Bahkan Mas Dion sudah berada dengan jarak satu meter di dekat dokter muda yang tampan itu.“Bagaimana, Dok? Apakah bayi kami telah lahir? Bagaimana bisa?” tanyanya dengan nada heran.Dokter muda itu menghembuskan napas berat sambil memejamkan mata untuk beberapa saat. Kemudian, menatap Mas Dion dan Mama Mbak Venya bergantian.“Maaf, saya perlu berbicara dengan salah seorang pihak keluarga Dokter Venya. Dengan siapa saya bisa bicara?” tanyanya sambil menatap dengan wajah penuh tanya pada Mas Don dan Mama Mbak Venya. Aku yang akhirnya melangkah mendek
Seorang lelaki berwajah tampan dan bertubuh tegap melangkah ke arahku dan Mas Dion. Lelaki yang ditemani wanita paruh baya itu berbelok dari persimpangan yang ada di belakangku. Ternyata ia melihatku ketika melangkah melintasi persimpangan itu. Karena ia berasal dari arah kiriku. Wajahnya terlihat menahan geram menatapku kemudian Mas Dion yang ada di sampingku. Sementara, wanita yang berjalan di sampingnya menatap dengan wajah tegang. Wanita itu bermata sembab dan berusaha menahan lengan lelak itu. Tanpa di duga, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Mas Dion yang tetap menatapnya tenang.Aku terperanjat melihat hal itu. Demikian juga wanita yang ada di sebelahnya. Ia bahkan sempat berteriak ketika lelaki itu mendekat dan melayangkan sebuah pukulan di wajah Mas Dion. Seakan ingin menghentikan gerakan lelaki yang ada di sampingnya. Sementara, Bayu yang berada di sampingku juga tak luput dari keterkejutan. Ia terlihat ketakutan dan berbalik menyembunyikan wajah di tubuhku
“Vi, Mbak senang kamu masih di sini,” ucap Mbak Venya kala aku mendampinginya saat ia sudah berada di tempat yang baru. Ia mash terlihat lemah. Namun, beberapa selang sudah tidak terpasang di tubuhnya. Mas Dion duduk di sisi kanannya, sementara aku berada di sisi kiri. Ia tersenyum padaku kemudian pada Mas Dion.“Aku ingin Mbak cepat sembuh,” ujarku. Ia kembali tersenyum padaku. Mas Dion meraih jemarinya dan mengusap punggung tangan Mbak Venya.“Mengapa kamu selalu berusaha menyembunyikan semua dariku, Ve? Bukankah aku suamimu, aku berhak tahu tentang semuanya,” sela Mas Dion dengan tatapan penuh kasih. Mbak Venya kembali tersenyum.“Aku cuma tidak anak keberadaan anak kita terancam, Mas. Aku ingin bayi kita baik-baik saja,” sambungnya lagi. Mas Dion bangkit dari duduknya dan mengecup kening Mbak Venya hangat. Kemudian, kembali duduk di bangku yang ada di samping ranjang Mbak Venya. Mbak Venya memejamkan mata
Usai menjaga Mbak Venya beberapa hari dan sempat juga menjaga bayinya di ruang rawat bayi, aku kembali ke rumah. Usaha yang telah hampir semnggu kutinggalkan tidak kuketahui lagi bagaimana perkembangannya. Kepulanganku ke kampung halaman yang sempat kuberitahukan pada Mama, ternyata juga diketahui oleh Mas Danny. Sesampai di rumah, aku sudah disambut dengan kehadirannya di ruang tamuku. Ia menatapku dengan wajah tenang. Seonggok undangan pernkahan telah tergeletak di atas meja tamuku. Aku menatapinya dengan keheranan .“Mas Danny?” tanyaku dengan langkah terhenti beberapa langkah dari pintu rumahku. Bayu yang langsung riang melihat kemunculan Mama di pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, langsung saja melepaskan genggamanku. Ia memeluk Mama dengan hangat yang dibalas Mama dengan manis pula.“Sayang, cucu Oma. Oma kangen,” ucap Mama sambil memeluk Bayu. Kemudian membawa Bayu ke dalam, meninggalkan aku dan Mas Danny yang masih menatapku deng
“Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia