Home / Romansa / Athanasia / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Athanasia: Chapter 31 - Chapter 40

61 Chapters

Bab XXXI

Diana tak bisa berdiam diri di kamar. Sudah hampir 2 jam Arsa berada di dalam ruang kerja Tama—Sang Ayah. Dengan perasaan khawatir, Diana menunggu Arsa keluar dari ruangan tersebut. Ia mondar-mandir dengan perasaan khawatir di depan pintu ruangan itu. Sudah memakan waktu cukup lama, biasanya hanya sampai 30 menit ataupun 1 jam. Tapi ini hampir 2 jam.Diana tak bisa mendengar suara yang berada di dalam karena ruangan tersebut kedap suara. Mereka juga tak berani untuk melawan perintah Tama, apa lagi untuk mendongkrak masuk.Seperti yang dikatakan Arsa, mereka boneka Tama. Pria paruh baya itu begitu kejam dan setiap perkataan atau perintahnya tak bisa ditolak.CklekPintu ruangan itu terbuka, keluarlah Tama beserta anak buahnya dari ruangan itu, "Arsa mana?" tanya langsung Diana.Tama menghiraukan pertanyaannya istrinya dan pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja. Arka masuk, semua barang di sana berantakan. Pecahan
Read more

Bab XXXII

Mereka berdua memutuskan untuk berbicara di rooftop. Kedua lelaki itu diam seribu bahasa, tak ada satu pun yang membuka suara. Sibuk akan pikiran masing-masing."Sejak kapan Arsa menyembunyikan penyakitnya?" celetuk Arka.Gibran menghela napas panjang, "Dia bilang sejak 5 tahun lalu. Gua juga baru tau.""Kenapa kamu ga kasih tau saya atau keluarga, ini penyakit mematikan kamu tau!" ujar Arka, nada bicara lelaki itu mulai meninggi. Ia tak bisa mengontrol emosinya.Laki-laki jangkung itu mendengus kecil. Ia mendekat ke arah Arka dan menarik kerah baju kemeja lelaki itu, "Gua aja baru tau ini. Lo bayangin dia nyembunyiin ini lima tahun. Lo sebagai anggota keluarga kenapa ga tau, semestinya lo tau anjing!" Arka menutup matanya, menyesali semuanya, "Lo tau Arsa pecandu alkohol karena kalian bangsat! Dia begitu karena pangen diperhatiin sama orang tuanya," timpalnya."Ga guna buat menyesal, sekarang sudah terjadi. Kalian ga bisa bua
Read more

Bab XXXIII

Flashback"Arsa! Keluar kamu!" teriak Pria berkepala tiga itu saat memasuki rumah membuat seluruh penghuni rumah yang mendengarnya ketakutan."Arsa!" teriaknya lagi. Tak ada satupun yang berani muncul di depan Pria yang sedang tersulut emosi.Arka dan Arsa yang baru pulang dari sekolah tersenyum gembira satu sama lain seperti tidak ada yang terjadi. Netra Tama dan kedua anaknya bertemu. Tama menghampiri Arsa, anak umur 10 tahun itu memberikan senyuman manisnya ke arah sang ayah."Selamat siang ayah aku dan Arsa—" ucapan Arka terpotong tatkala Tama menarik Arsa dengan paksa ke ruang kerjanya.Arka yang terkejut melihat itu langsung berusaha menarik tangan Arsa dengan sekuat tenaga, "Ayah, Arsa mau dibawa kemana?!" tanyanya sembari menarik tangan saudara kembarnya.Diana yang baru memasuki rumah dan baru saja pulang dari kegiatannya berbelanja terkejut melihat pem
Read more

Bab XXXIV

Flashback Delapan tahun laluArsa memarkirkan motornya di garasi rumah. Ia membuka pintu utama dan terlihat Tama sedang menunggunya di sofa ruang tamu. Arsa yang melihat itu hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk menghiraukan Tama.Ia berjalan dan mengacuhkan Tama. Akan tetapi baru beberapa langkah sebuah buku tebal mendarat tepat di kepalanya. Arsa langsung menoleh ke arah Tama, siapa lagi yang melemparinya kalau bukan Ayahnya sendiri. "Di sekolah apa kamu ga diajarkan untuk bertatakrama? Di mana etika kamu, di depan orang tua seperti itu. Lihat penampilan kamu yang begitu urakan tak terurus, membuat malu saja."Laki-laki dengan pakaian SMA itu berusaha untuk menahan emosinya, walaupun tanga
Read more

Bab XXXV

Gibran berjalan bolak-balik di depan ruang UGD, ia sedang menelepon seseorang. Seperkian detik kemudian panggilan tersebut terjawab membuat Gibran senang setengah mati, "Halo, ada apa Bran?" tanya seorang laki-laki di seberang telepon."Tentang pendonor yang mati otak kemarin lo bilang, bisa ga hatinya buat teman gua, kalau ada gua langsung terbang ke Jakarta sekerang, soalnya penting Bro," ucapnya.Helaan napas terdengar dari panggilan itu, "Sorry Bran, lo telat. Ada yang lebih membutuhkan soalnya. Mereka juga tiba-tiba majuin waktunya, gua lupa kabarin lo," jelasnya.Gibran seketika kepalanya mengadah ke atas, ia mendengus kesal, "Gua juga membutuhkan, To," ujarnya."Iya gua tau, sorry. Ini juga keputusan keluarga pasien, gua ga bisa nuntut lebih," balasnya
Read more

Bab XXXVI

Laki-laki bertubuh bongsor itu memicingkan matanya menatap Gibran, yang tengah berlari sambil memegang ponsel genggamnya. Arka melihat ke arah bunda yang sedang duduk di sampingnya, "Arka ke toilet dulu ya, Bun," cetusnya dan langsung diangguki oleh Diana–sang ibunda.Arka mempercepat langkahnya menyusul Gibran yang sudah mulai menjauh dari pandangannya. Sesampainya di koridor yang lumayan sepi, Gibran berhenti dan langsung menjawab panggilan telepon tersebut."Halo, Dok, ada apa?" celetuknya. Arka mendengar samar-samar suara Gibran. Ia mulai mendekat beberapa langkah dari Gibran, agar terdengar perbincangan dari sambungan telepon itu.Ia menyembunyikan tubuhnya di balik sekat tembok koridor dan tangga. Ia masih setia berdiri di sana, telinganya sudah terpasang dengan baik untuk mendengarkan perbincangan Gibran saat itu, "Arsa! Dia kembali sadar!" Mendengar kalimat yang dilontarkan di seberang telepon, Arka menautkan kedu
Read more

Bab XXXVII

Arka meminta Arsa untuk menemuinya di kafetaria, yang memang dekat dari rumah mereka. Terlihat seorang pemuda mulai memasuki kafetaria tersebut, dengan raut wajah yang sangat marah, ia benar-benar sudah naik pitam sedari tadi.Tatapan matanya juga terlihat sangat tajam, seperti hendak membunuh seseorang. Netranya menjelajahi setiap sudut kafe tersebut, panggilan tak asing yang membuatnya langsung menoleh, terlihat seorang pemud kini tengah menyapanya.Dengan tangan yang terkepal erat, Arsa mulai berjalan cepat ke arah Arka. Sampainya di depan kembarannya itu, ia langsung menyetarakan keplan tangannya dengan wajah Arka–sang kembaran.Atensi seluruh pengunjung kafe mulai menatap ke arah mereka berdua, dengan raut wajah yang cukup terkejut. Pukulan itu belum mendarat di wajah Arka, masih setia di depan wajah kembarannya itu.
Read more

Bab XXXVIII

Athanasia mendudukkan bokongnya di kursi taman yang berada tepat di bawah pohon beringin. Ia terdiam sejenak dengan mata yang sudah bengkak. Air mata yang terus-menerus mengalir membuat jemarinya menghapus jejak air matanya. Kepalanya terus menunduk menatap tanah dengan perasaan gusar, menunggu sang kekasih datang."Sia," panggil seseorang dengan suara yang begitu amat ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Arsa.Athanasia mengangkat wajahnya menatap laki-laki yang berdiri dan tersenyum ke arahnya, senyuman lelaki itu membuat hatinya seperti tersayat bilah pisau yang tajam. Seketika air matanya mengalir begitu saja tanpa permisi. Athanasia berdiri sembari menghapus air matanya."Maaf ngebuat lo khawatir. Seharusnya dari awal kita ga—" Ucapan Arsa terpotong tatkala Athanasia berlari ke arahnya dan langsung memeluk tubuhnya ta
Read more

Bab XXXIX

Sesudah mengantarkan Athanasia pulang, Arsa balik ke rumah sakit, raut wajahnya berubah seketika. Gibran yang masih berada di sana menyadari itu, "Lebih baik jujur walau begitu menyakitkan, dari pada terus-terusan dipendam," celetuknya.Arsa menghela napas, ia duduk di sofa yang berada di sudut ruangan. Ia termenung, memikirkan kejadian hari ini. Kenapa begitu menyedihkan menjadi dirinya."Gua pulang ya, bokap gua udah neleponin dari tadi," cetus Gibran dan dibalas dengan anggukan oleh Arsa.Gibran memasuki ponselnya ke dalam saku celana, "Kalau ada apa-apa telepon gua," ujarnya dan Arsa hanya mengangguk menjawabnya.Gibran melihat tingkah laku Arsa, menghela napasnya, "Jawab iya kali anjir. Lo mikirin Athanasia?" tanyanya.Arsa memijat pelipi
Read more

Bab XL

Laki-laki bertubuh bongsor masuk ke dalam halaman rumahnya. Matahari mulai menampakkan cahayanya, begitu juga satpam rumahnya yang sudah berganti shift dan para pembantu rumah yang mulai mengerjakan pekerjaan.Setelah memarkirkan motornya di bagasi, Arsa memasuki pintu utama. Ia membukanya dengan kuat membiarkan suara pintu menggelegar mengisi seluruh ruangan. Tama yang masih sarapan di temani oleh Arka serta Diana. Awalnya mereka makan dengan khidmat, tetapi ketika mendengar suara pintu, gerakan mereka berhenti dan menatap lurus ke arah pintu utama yang menampilkan Arsa.Laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan santai melewati ruang makan. Suara batuk dari Tama mampu memberhentikan langkah seorang Arsa, "Dari mana saja kamu?" tanya Tama sembari kembali menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya."Bukan urusan anda," jawabnya dan kembali melangkahkan kakinya.Tama langsung menoleh menatap tajam Arsa yang dengan santainya menaiki anak tangga. "Sekali d
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status