Diana tak bisa berdiam diri di kamar. Sudah hampir 2 jam Arsa berada di dalam ruang kerja Tama—Sang Ayah. Dengan perasaan khawatir, Diana menunggu Arsa keluar dari ruangan tersebut. Ia mondar-mandir dengan perasaan khawatir di depan pintu ruangan itu. Sudah memakan waktu cukup lama, biasanya hanya sampai 30 menit ataupun 1 jam. Tapi ini hampir 2 jam.
Diana tak bisa mendengar suara yang berada di dalam karena ruangan tersebut kedap suara. Mereka juga tak berani untuk melawan perintah Tama, apa lagi untuk mendongkrak masuk.
Seperti yang dikatakan Arsa, mereka boneka Tama. Pria paruh baya itu begitu kejam dan setiap perkataan atau perintahnya tak bisa ditolak.
Cklek
Pintu ruangan itu terbuka, keluarlah Tama beserta anak buahnya dari ruangan itu, "Arsa mana?" tanya langsung Diana.
Tama menghiraukan pertanyaannya istrinya dan pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja. Arka masuk, semua barang di sana berantakan. Pecahan
Mereka berdua memutuskan untuk berbicara di rooftop. Kedua lelaki itu diam seribu bahasa, tak ada satu pun yang membuka suara. Sibuk akan pikiran masing-masing."Sejak kapan Arsa menyembunyikan penyakitnya?" celetuk Arka.Gibran menghela napas panjang, "Dia bilang sejak 5 tahun lalu. Gua juga baru tau.""Kenapa kamu ga kasih tau saya atau keluarga, ini penyakit mematikan kamu tau!" ujar Arka, nada bicara lelaki itu mulai meninggi. Ia tak bisa mengontrol emosinya.Laki-laki jangkung itu mendengus kecil. Ia mendekat ke arah Arka dan menarik kerah baju kemeja lelaki itu, "Gua aja baru tau ini. Lo bayangin dia nyembunyiin ini lima tahun. Lo sebagai anggota keluarga kenapa ga tau, semestinya lo tau anjing!"Arka menutup matanya, menyesali semuanya, "Lo tau Arsa pecandu alkohol karena kalian bangsat! Dia begitu karena pangen diperhatiin sama orang tuanya," timpalnya."Ga guna buat menyesal, sekarang sudah terjadi. Kalian ga bisa bua
Flashback"Arsa! Keluar kamu!" teriak Pria berkepala tiga itu saat memasuki rumah membuat seluruh penghuni rumah yang mendengarnya ketakutan."Arsa!" teriaknya lagi. Tak ada satupun yang berani muncul di depan Pria yang sedang tersulut emosi.Arka dan Arsa yang baru pulang dari sekolah tersenyum gembira satu sama lain seperti tidak ada yang terjadi. Netra Tama dan kedua anaknya bertemu. Tama menghampiri Arsa, anak umur 10 tahun itu memberikan senyuman manisnya ke arah sang ayah."Selamat siang ayah aku dan Arsa—" ucapan Arka terpotong tatkala Tama menarik Arsa dengan paksa ke ruang kerjanya.Arka yang terkejut melihat itu langsung berusaha menarik tangan Arsa dengan sekuat tenaga, "Ayah, Arsa mau dibawa kemana?!" tanyanya sembari menarik tangan saudara kembarnya.Diana yang baru memasuki rumah dan baru saja pulang dari kegiatannya berbelanja terkejut melihat pem
FlashbackDelapan tahun laluArsa memarkirkan motornya di garasi rumah. Ia membuka pintu utama dan terlihat Tama sedang menunggunya di sofa ruang tamu. Arsa yang melihat itu hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk menghiraukan Tama.Ia berjalan dan mengacuhkan Tama. Akan tetapi baru beberapa langkah sebuah buku tebal mendarat tepat di kepalanya. Arsa langsung menoleh ke arah Tama, siapa lagi yang melemparinya kalau bukan Ayahnya sendiri. "Di sekolah apa kamu ga diajarkan untuk bertatakrama? Di mana etika kamu, di depan orang tua seperti itu. Lihat penampilan kamu yang begitu urakan tak terurus, membuat malu saja."Laki-laki dengan pakaian SMA itu berusaha untuk menahan emosinya, walaupun tanga
Gibran berjalan bolak-balik di depan ruang UGD, ia sedang menelepon seseorang. Seperkian detik kemudian panggilan tersebut terjawab membuat Gibran senang setengah mati, "Halo, ada apa Bran?" tanya seorang laki-laki di seberang telepon."Tentang pendonor yang mati otak kemarin lo bilang, bisa ga hatinya buat teman gua, kalau ada gua langsung terbang ke Jakarta sekerang, soalnya penting Bro," ucapnya.Helaan napas terdengar dari panggilan itu, "Sorry Bran, lo telat. Ada yang lebih membutuhkan soalnya. Mereka juga tiba-tiba majuin waktunya, gua lupa kabarin lo," jelasnya.Gibran seketika kepalanya mengadah ke atas, ia mendengus kesal, "Gua juga membutuhkan, To," ujarnya."Iya gua tau, sorry. Ini juga keputusan keluarga pasien, gua ga bisa nuntut lebih," balasnya
Laki-laki bertubuh bongsor itu memicingkan matanya menatap Gibran, yang tengah berlari sambil memegang ponsel genggamnya. Arka melihat ke arah bunda yang sedang duduk di sampingnya, "Arka ke toilet dulu ya, Bun," cetusnya dan langsung diangguki oleh Diana–sang ibunda.Arka mempercepat langkahnya menyusul Gibran yang sudah mulai menjauh dari pandangannya. Sesampainya di koridor yang lumayan sepi, Gibran berhenti dan langsung menjawab panggilan telepon tersebut."Halo, Dok, ada apa?" celetuknya.Arka mendengar samar-samar suara Gibran. Ia mulai mendekat beberapa langkah dari Gibran, agar terdengar perbincangan dari sambungan telepon itu.Ia menyembunyikan tubuhnya di balik sekat tembok koridor dan tangga. Ia masih setia berdiri di sana, telinganya sudah terpasang dengan baik untuk mendengarkan perbincangan Gibran saat itu, "Arsa! Dia kembali sadar!"Mendengar kalimat yang dilontarkan di seberang telepon, Arka menautkan kedu
Arka meminta Arsa untuk menemuinya di kafetaria, yang memang dekat dari rumah mereka. Terlihat seorang pemuda mulai memasuki kafetaria tersebut, dengan raut wajah yang sangat marah, ia benar-benar sudah naik pitam sedari tadi.Tatapan matanya juga terlihat sangat tajam, seperti hendak membunuh seseorang. Netranya menjelajahi setiap sudut kafe tersebut, panggilan tak asing yang membuatnya langsung menoleh, terlihat seorang pemud kini tengah menyapanya.Dengan tangan yang terkepal erat, Arsa mulai berjalan cepat ke arah Arka. Sampainya di depan kembarannya itu, ia langsung menyetarakan keplan tangannya dengan wajah Arka–sang kembaran.Atensi seluruh pengunjung kafe mulai menatap ke arah mereka berdua, dengan raut wajah yang cukup terkejut. Pukulan itu belum mendarat di wajah Arka, masih setia di depan wajah kembarannya itu.
Athanasia mendudukkan bokongnya di kursi taman yang berada tepat di bawah pohon beringin. Ia terdiam sejenak dengan mata yang sudah bengkak. Air mata yang terus-menerus mengalir membuat jemarinya menghapus jejak air matanya. Kepalanya terus menunduk menatap tanah dengan perasaan gusar, menunggu sang kekasih datang."Sia," panggil seseorang dengan suara yang begitu amat ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Arsa.Athanasia mengangkat wajahnya menatap laki-laki yang berdiri dan tersenyum ke arahnya, senyuman lelaki itu membuat hatinya seperti tersayat bilah pisau yang tajam. Seketika air matanya mengalir begitu saja tanpa permisi. Athanasia berdiri sembari menghapus air matanya."Maaf ngebuat lo khawatir. Seharusnya dari awal kita ga—" Ucapan Arsa terpotong tatkala Athanasia berlari ke arahnya dan langsung memeluk tubuhnya ta
Sesudah mengantarkan Athanasia pulang, Arsa balik ke rumah sakit, raut wajahnya berubah seketika. Gibran yang masih berada di sana menyadari itu, "Lebih baik jujur walau begitu menyakitkan, dari pada terus-terusan dipendam," celetuknya.Arsa menghela napas, ia duduk di sofa yang berada di sudut ruangan. Ia termenung, memikirkan kejadian hari ini. Kenapa begitu menyedihkan menjadi dirinya."Gua pulang ya, bokap gua udah neleponin dari tadi," cetus Gibran dan dibalas dengan anggukan oleh Arsa.Gibran memasuki ponselnya ke dalam saku celana, "Kalau ada apa-apa telepon gua," ujarnya dan Arsa hanya mengangguk menjawabnya.Gibran melihat tingkah laku Arsa, menghela napasnya, "Jawab iya kali anjir. Lo mikirin Athanasia?" tanyanya.Arsa memijat pelipi
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam