Laki-laki bertubuh bongsor masuk ke dalam halaman rumahnya. Matahari mulai menampakkan cahayanya, begitu juga satpam rumahnya yang sudah berganti shift dan para pembantu rumah yang mulai mengerjakan pekerjaan.
Setelah memarkirkan motornya di bagasi, Arsa memasuki pintu utama. Ia membukanya dengan kuat membiarkan suara pintu menggelegar mengisi seluruh ruangan. Tama yang masih sarapan di temani oleh Arka serta Diana. Awalnya mereka makan dengan khidmat, tetapi ketika mendengar suara pintu, gerakan mereka berhenti dan menatap lurus ke arah pintu utama yang menampilkan Arsa.
Laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan santai melewati ruang makan. Suara batuk dari Tama mampu memberhentikan langkah seorang Arsa, "Dari mana saja kamu?" tanya Tama sembari kembali menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.
"Bukan urusan anda," jawabnya dan kembali melangkahkan kakinya.
Tama langsung menoleh menatap tajam Arsa yang dengan santainya menaiki anak tangga. "Sekali d
Arsa menunggu namanya dipanggil, minggu ini adalah jadwalnya konsultasi ke Dokter Daniel dengan ditemani oleh Athanasia. Awalnya ia menolak karena ditemani oleh gadisnya, ia takut Athanasia mengetahui betapa pendek umurnya.Karena Athanasia yang begitu keras kepala memaksa untuk ikut, akhirnya Arsa memperbolehkannya dengan alasan ia menunggu di luar. Athanasia pun menyetujuinya.Sembari menunggu namanya dipanggil, Arsa memupuk pelan kepala gadisnya yang berada di pundaknya. Gadisnya itu terlalu lama menunggu sampai tertidur di pundaknya."Arsa Putra Pangestu," panggil seseorang resepsionis rumah sakit. Arsa menoleh ke arah Athanasia yang masih tertidur.Dengan pelan Arsa menggoyangkan tubuh Athanasia untuk membangunkannya. Untung gadis itu cepat bangun, ia mengucek matanya sambil menerjapkan matanya melihat sekitar."Pasien Arsa Putra Pangestu," panggilnya lagi.Arsa mengangkat tangannya, "Saya Sus, sebentar," jawabnya. Athanasia sontak lang
Terlihat Diana yang sedang membersihkan kamar putranya–Arka itu pun tiba-tiba menoleh ke arah pintu coklat yang berada di ujung lorong, yang tak lain adalah kamarnya Arsa. Entah mengapa ia tertarik untuk masuk ke dalam kamar tersebut.Walaupun ia tahu Arsa melarang orang-orang yang berada di rumah untuk masuk ke dalam kamarnya, tanpa terkecuali Diana—sang ibunda.Tangannya tergerak untuk membuka kenop pintu. Gelap, hanya itu yang ia lihat, karena sang pemilik belum pulang ke rumah. Ia mulai menekan saklar lampu yang ada di sana. Ruangan serba hitam dan beberapa pernak-pernik serta botol alkohol terpampang jelas memenuhi seisi kamar.Ia beralih ke arah rak buku kecil berdebu yang berada tepat di samping ranjang, sejuta kenangan berada di sini. Kalau diingat-ingat, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak masuk ke dalam kamar ini.Diana tergerak untuk membersihkannya, ia mulai membersihkan debu yang berada di tempat-tempat tertentu. Walaupun berdebu,
Radit sedang asyik main PlayStation bersama di rumah dengan sepupunya sehabis pulang dari apartemen Satria, karena permainannya tidak seru dan itu membuatnya tidak fokus ke permainan, dikarenakan Radit sejak tadi kalah dengan sepupunya yang masih bocah berumur empat belas tahun."Ah lo mah Bang, ga asik anjir," seru anak remaja yang sedang duduk di sampingnya sambil memakan cemilan yang disediakan oleh ibunya.Radit mendecak sebal dan membanting stick PlayStation tersebut, "Bodo amat deh, gua cape. Main sendiri aja lo cil," sahutnya sambil rebahan di kasur tercintanya."Mending gua tidur," sambungnya.Saat ingin masuk ke dalam dunia mimpi, ponselnya yang berada di samping sepupunya berdering, "Bang ada telepon!" pekik bocah laki-laki tanpa memalingkan pandangannya dari layar komputer."Ambilin dah, mager."Bocah itu hanya mendecih tanpa memalingkan pandangannya dari permainan tersebut, "Ambil sendiri lah, lo kan punya tangan s
Radit sampai di rumahnya, raut wajahnya ditekuk, penampilannya acak-acakan serta mata yang sembab. Radit memasuki pintu utama dan memperlihatkan ibunya sedang santai membaca majalah. Ibunya Radit menoleh kepada anaknya yang baru saja datang dengan penampilan urak-urakan.Radit memasuki kamarnya sembari memijit pelipisnya. Ia menghiraukan ibunyayang sudah memanggilnya berulang kali. Sesampainya di kamar, ia mendudukkan bokongnya di pinggir ranjang, tangannya ditaruh di belakang guna menompang tubuh, kepalanya mendongak ke atas dan matanya menutup perlahan.Ia tak mengira bahwa sahabatnya yang ia kira adalah pelindung untuk para temannya ternyata menyimpan rahasia yang cukup besar selama ini dari mereka. Radit hanya bisa menghela napasnya dengan gusar, hatinya begitu sakit mendengar kalau Arsa mempunyai penyakit yang amat serius
Radit tengah mengantar Arsa keliling rumah sakit, katanya untuk mencari udara segar karena suntuk di ruangan.Saat tengah berjalan di koridor rumah sakit, tiba-tiba langkah Arsa terhenti melihat dua orang sedang menuju ke arahnya dari ujung koridor. Radit memincingkan pandangan matanya menatap dua orang dengan setelan pakaian yang rapi.Pandangan mata Radit menatap Arsa dan dua orang itu secara bergantian. Ia menatap lamat dua orang yang mendekati mereka, seperti ia mengenal siapa orang itu.Dua pria yang berada di ujung lorong tadi sudah ada tepat di depan mereka. Tepat di depan Arsa, seorang pria paruh baya dengan setelan jas serta dasi yang terpasang rapi tengah menatap Arsa dengan serius. "Kita perlu bicara," celetuknya.Radit menatap ke arah Arsa, seolah meminta penjelasan dari temannya. Arsa mengangguk setuju dengan perkataan pria tersebut dan menatap ke Radit seolah memberi isyarat untuk meninggalkannya."Tapi kondisi lo kayak gi
Selepas menjenguk Arsa ke rumah sakit. Athanasia dan Brian pergi ke pemakaman umum tempat peristirahatan terakhir seorang yang dipanggil mama olehnya. Tak lupa sebelum berkunjung Athanasia membeli satu buket bunga Krisan berwarna putih, kata papa ini bunga kesukaan mama.Sampainya di pemakaman umum, mereka berdua kompak turun bersama. Brian memandu jalan untuk Athanasia, sang putri. Perlu waktu beberapa menit untuk sampai di tempat mama tinggal.Makam berwarna hitam dengan corak putih membuatnya terkesan indah. Mereka berdua berjongkok guna menyapa sang kekasih dambaan hati.Athanasia menaruh bunga krisan tepat di gundukan yang telah ditumbuhi rumput. Dengan senyuman merekah dari mereka yang ditampilkan hanya untuk mama. Begitu juga Brian yang menampilkan senyumnya hanya untuk Siska perempuan yang dicintainya dari tiga puluh tahun yang lalu sampai sekarang.Senyum mereka tak pernah pudar menatap makam di depannya. Tangan Athanasia tergerak mengusap pelan
Satria memasuki apartemennya dan ternyata sepi tak ada siapapun di sana. Ia juga sudah menelepon teman-temannya, tapi tak ada satupun respon dari mereka. Akhirnya ia masuk dan duduk di sofa sembari mengirimkan pesan ke grup obrolan mereka.————SUKSES DULU, SOBSatria : Gue lagi di apartemen, kok sepi?Satria : Nih grup juga sepi amat, kayak ga ada penghuninya.Satria : Woi, pada di alam barzah semua ya?Satria : Sinting, gue ngetik sendiri.Satria : Respon kek j4nc0k.Radit : Ada apa sih kawan, bawa santai aja brodi.Satria : Apartemen kosong gini, kalian pada ke mana?Radit : Di rumah lah.Satria : Bohong, gue ke rumah lo tadi.Radit : Barusan pulangSatria : Gibran sama Arsa mana, liburan ya.Gibran : Asal aja.
Arsa dan Gibran terdiam melihat Satria yang berada di luar ruangan. Di belakangnya ada Radit yang terdiam tanpa melihat ke arah mereka. Mata Satria sudah memerah karena menahan air mata.Satria terdiam menatap kondisi temannya yang sedang terbaring lemah di ranjang pasien. Arsa mengangkat tubuhnya untuk bangkit dari posisinya. Satria mencoba untuk menahan air matanya yang membendung di pelupuk mata, tanpa sadar bulir air mata mulai mengalir tanpa permisi.Laki-laki berkulit tan itu masih terdiam di tempatnya, air mata terus mengalir tanpa henti. Satria menutup matanya menggunakan telapak tangannya untuk menutupi tangisnya.Arsa tertunduk melihat teman-teman yang menyembunyikan rasa sedih mereka di depannya. Gibran yang membalikkan tubuhnya ke arah dinding, Radit yang enggan masuk ke dalam ruangan, dan begitu pula Satria.Jujur, mereka lah satu-satunya keluarga yang Arsa miliki, orang-orang yang masih setia dengannya sampai detik ini. Mereka me
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam