Home / Romansa / Athanasia / Bab XLVII

Share

Bab XLVII

Author: nadjae
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Satria memasuki apartemennya dan ternyata sepi tak ada siapapun di sana. Ia juga sudah menelepon teman-temannya, tapi tak ada satupun respon dari mereka. Akhirnya ia masuk dan duduk di sofa sembari mengirimkan pesan ke grup obrolan mereka.

————

SUKSES DULU, SOB 

Satria : Gue lagi di apartemen, kok sepi?

Satria : Nih grup juga sepi amat, kayak ga ada penghuninya.

Satria : Woi, pada di alam barzah semua ya?

Satria : Sinting, gue ngetik sendiri.

Satria : Respon kek j4nc0k.

Radit : Ada apa sih kawan, bawa santai aja brodi.

Satria : Apartemen kosong gini, kalian pada ke mana?

Radit : Di rumah lah.

Satria : Bohong, gue ke rumah lo tadi.

Radit : Barusan pulang

Satria : Gibran sama Arsa mana, liburan ya.

Gibran : Asal aja.

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Athanasia   Bab XLVIII

    Arsa dan Gibran terdiam melihat Satria yang berada di luar ruangan. Di belakangnya ada Radit yang terdiam tanpa melihat ke arah mereka. Mata Satria sudah memerah karena menahan air mata.Satria terdiam menatap kondisi temannya yang sedang terbaring lemah di ranjang pasien. Arsa mengangkat tubuhnya untuk bangkit dari posisinya. Satria mencoba untuk menahan air matanya yang membendung di pelupuk mata, tanpa sadar bulir air mata mulai mengalir tanpa permisi.Laki-laki berkulit tan itu masih terdiam di tempatnya, air mata terus mengalir tanpa henti. Satria menutup matanya menggunakan telapak tangannya untuk menutupi tangisnya.Arsa tertunduk melihat teman-teman yang menyembunyikan rasa sedih mereka di depannya. Gibran yang membalikkan tubuhnya ke arah dinding, Radit yang enggan masuk ke dalam ruangan, dan begitu pula Satria.Jujur, mereka lah satu-satunya keluarga yang Arsa miliki, orang-orang yang masih setia dengannya sampai detik ini. Mereka me

  • Athanasia   Bab XLIX

    Tama membuka pintu utama rumahnya dengan keras, napasnya memburu tak karuan. Seluruh pekerja di rumahnya tak berani menghampiri tuannya tersebut. Tak ada yang tahu dengan siapa pria paruh baya itu marah, tak ada sebab pulang tiba-tiba membanting pintu. Ia mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu, dengan kasar ia menarik dasinya dan membuang ke sembarang arah. "Bi Minah!" teriaknya membuat seluruh pekerja mengindik ketakutan. Bi Minah yang dipanggil dengan cepat menghampiri sang tuan yang sedang duduk sembari meneguk segelas air mineral, "Mana Arka?" tanyanya. "Den Arka tadi keluar dengan nyonya, Tuan," jawabnya. Tama mendecak kecil mendengarnya. "Bagaimana dengan Arsa, sudah pulang?" t

  • Athanasia   Bab L

    Diana melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang gelap, tangannya mencari saklar lampu di sana dan menekannya. Terakhir saat memasuki kamar ini ia dimarahi oleh sang pemilik kamar, putranya sendiri. Walaupun sudah hampir tiga minggu kamar ini tak berpenghuni, semua barangnya masih terawat. Diana yang membersihkannya, walaupun ia kerap kali dapat kecaman dari sang pemilik. Langkah kakinya beralih ke botol alkohol yang terpampang jelas di atas rak buku, banyak jenis berjejeran di sana. Ia beralih ke meja belajar Arsa dan membuka satu persatu laci. Saat ia membuka salah satu laci, ia mendapatkan sebuah buku diary berwarna merah muda. Ia berpikir tak mungkin Arsa yang memilikinya, ia membuka dengan perlahan lilitan tali berwarna merah muda yang menutupi buku tersebut. Ia membuka buku itu dan terlihat jelas tulisan nama Athanasia Joyie Widyatama di halaman depan. Diana tersenyum, ternyata putranya mempunyai pacar. Halaman demi ha

  • Athanasia   Bab LI

    Sesampainya di rumah sakit, Satria membopong tubuh besar Arsa dan membawanya ke ruang unit gawat darurat, merebahkan tubuh Arsa di salah satu ranjang kosong yang berada di sana. Dokter Daniel dengan terburu-buru langsung mendorong tubuh Satria dan dengan cepat memeriksa kondisi tubuh Arsa. Athanasia dan Radit masih histeris menatap tubuh Arsa dari kejauhan. Air mata Athanasia tak bisa berhenti, gadis itu tetap terisak melihat kekasihnya terbaring lemah di atas ranjang pasien. Bukan seperti ini yang Athanasia inginkan Tuhan. Gadis cantik itu tak berhenti berdoa demi kesadaran sang kekasih. Ia memilih duduk di luar UGD, mulutnya tak berhenti mengucapkan kalimat doa. Ia masih percaya kalau kekasihnya orang yang paling kuat yang ia kenal. Ia masih merasakan betap dingin tubuh Arsa saat ia pegang.

  • Athanasia   Bab LII

    Tama mengetuk ruang belajar Arka, tak ada balasan dari dalam. Akhirnya ia membukakan pintu dan tak ada putranya di dalam. Tama pun beralih melangkahkan kakinya menuju ke kamar Arka yang berada di lantai dua.Tanpa ketukan darinya, ia pun langsung membukakan pintu kamar Arka dengan keras. Ternyata orang yang ia cari tak ada di dalam kamarnya. Ia pun langsung turun ke bawah dan beralih ke kamarnya dan melihat Diana sedang duduk di kursi meja riasnya sembari memakaikan lotion ke tangannya."Mana anak kamu Arka?" tanyanya ke Diana.Wanita berkepala lima tersebut, ia tetap melumuri seluruh tangannya dengan lotion tanpa menoleh sedikitpun ke arah Tama. "Ke kampus," jawabnya singkat."Ke kampus malam-malam begini. Mau ngapain dia?!" ketus Tama.Diana bangkit dari kursinya dan menatap sinis ke arah Tama yang berada di pintu, "Katanya mengambil sesuatu yang ketinggalan, aku gatau," sahutnya.Tama menghembuskan napasnya dengan kasar, "Pasti anak

  • Athanasia   Bab LIII

    Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam

  • Athanasia   Bab LIV

    Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me

  • Athanasia   Bab LV

    Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke

Latest chapter

  • Athanasia   Epilog

    Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath

  • Athanasia   Bab LX

    Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k

  • Athanasia   Bab LIX

    Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.

  • Athanasia   Bab LVIII

    Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu

  • Athanasia   Bab LVII

    Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men

  • Athanasia   Bab LVI

    Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik

  • Athanasia   Bab LV

    Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke

  • Athanasia   Bab LIV

    Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me

  • Athanasia   Bab LIII

    Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam

DMCA.com Protection Status