Home / Romansa / Ujung Senja / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Ujung Senja: Chapter 51 - Chapter 60

89 Chapters

Kenyataan yang Ketahuan

Aku bukan tak ingin menemani Mega pulang ke Jakarta, tetapi aku tahu persis isi kepala orang-orang di sini. Janda yang ditinggal mati itu tak pantas menunjukkan diri sebelum kering kuburan suaminya. Tak peduli, seberapa berat hidup yang dijalaninya. Kadang aku berpikir, bagaimana seorang perempuan bekerja menghadapi pikiran buruk masyarakat, sebab dia harus keluar rumah untuk bekerja walaupun kuburan suaminya belum kering. Jika tidak, maka dapurnya tidak ngebul. Di Jakarta adalah hal biasa bagi perempuan yang kehilangan suami untuk bekerja kembali. Paling tidak tujuh hari setelah berkabung. Jika ada yang nyinyir paling hanya sekelompok kecil yang kurang kerjaan, dan akan reda dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Aku jadi sedikit malu. Dulu, waktu aku masih sekolah, aku pernah menyindir Hayati, teman sekelasku yang ibunya bekerja. Saat itu, Hayati baru saja kehilangan ayahnya. Belum lagi empat puluh hari, ibu Hayati yang bekerja di pabrik kembali mondar-m
last updateLast Updated : 2021-09-17
Read more

Kabar-Kabar

Hari masih muda, matahari belum lagi menampakkan diri sepenuhnya saat aku menjemur kain di halaman samping rumah Bang Arham. Dulu, kegiatan ini menjadi tugas Bang Azlan, abang sulungku. Di rumah Emak, kami terbiasa membagi tugas secara adil, dan tugasku adalah memasak.   Aku mengelap tangan basah ke bagian bawah baju. Mataku memindai seluruh bagian halaman ini yang masih sama dengan kondisi tiga puluh tahun lalu. Bang Arham tak melakukan banyak renovasi pada rumah ini, hanya lantainya saja yang sudah keramik dan atapnya ditukar menjadi model baru, selebihnya sama saja. Bukannya masuk ke rumah, aku malah duduk di bawah pohon rambutan besar. Sebuah kursi kayu panjang terletak di bawahnya. Dulu aku sangat terampil memanjat pohon ini. Mengambil rambutan dan membagikannya untuk teman-teman dekatku.   Kursi kayu ini bukan kursi yang sama dengan yang Bah buat dulu. Namun, sudah diperbarui. Lebih bagus dan kokoh. Pasti nyaman sekali duduk di sini so
last updateLast Updated : 2021-09-18
Read more

Fitnah

“Ra, sarapan.” Pintu kamarku diketuk saat aku baru saja memasukkan sebagian pakaian ke dalam koper. Nanti malam acara kenduri empat puluh hari meninggalnya Bang Asman, berarti tak lama lagi aku bisa pulang ke Jakarta. Rasanya tak sabar meninggalkan tempat yang mengingatkanku kepada almarhum suamiku. Lebih menyakitkan ketika aku berjumpa dengan Kak Unai—salah satu kakak Bang Asman—tatapannya seolah ingin menenggelamkanku ke laut mati.  Entah bualan apa yang diceritakan Bang Asman kepada keluarganya sehingga mereka membenciku. Padahal mereka tahu Bang Asman meninggal bersama seorang perempuan di dalam mobil. Kadang kuasa dan harta memang membuat seseorang lupa dengan hati nurani.  “Ra.” Sekali lagi Kak Hanum mengetuk pintu. “Akak buat pulut dengan pisang goreng. Sedap.”  “Iyo, Kak. Kejab.” Aku bergegas membuka pintu, tak ingin membiarkan Kak Hanum m
last updateLast Updated : 2021-09-19
Read more

Pertemuan Setelah Tiga Puluh Tahun

Pagi ini aku terbangun dengan kondisi hati yang masih buruk. Penghinaan keluarga Bang Asman tadi malam masih terngiang-ngiang di telingaku. Tuduhan yang sangat jahat mereka lontarkan. Ya Tuhan, rasanya penderitaanku selama tiga puluh tahun ini ingin aku katakan kepada mereka. Agar mereka tahu Bang Asman tak pernah mencecahkan sedikit pun kebahagiaan ke dalam hidupku.   Aku keluar kamar, hendak mencari Kak Hanum. Mengobrol dengannya mungkin bisa menenangkan perasaanku. Aku menemukan kakak iparku itu di dapur.   “Eraa nak balek, Kak,” kataku pada Kak Hanum.”   “Ngapo cepat betul? Belum puas Akak bercerita samo Era.”   Kak Hanum adalah perempuan yang luar biasa baiknya. Saat ia menikah dengan Bang Arham, aku tidak pulang. Saat aku datang, dia menyambutku dengan tangan terbuka, bersikap ramah dan rajin mengajakku bercakap-cakap.   “Era tak sedap hati, Kak. Kakak tau sendiri macam man
last updateLast Updated : 2021-09-20
Read more

Memaafkan Segalanya

Aku memasukkan lembaran baju terakhir ke dalam koper. Bawaanku tak terlalu banyak sebenarnya, hanya sebuah koper berukuran sedang. Namun, beberapa oleh-oleh untuk Mega dan Meri berhasil membuat bawaanku menggunung. Aku hanya berharap perjalanan esok hari lancar. Prosesnya pasti panjang karena aku harus melakukan pemeriksaan swab terlebih dahulu.    “Ra.” Bang Arham mengetuk pintu kamar.    Aku membuka pintu dan mendapati lelaki itu menatapku dengan sorot mata sedih. “Dah siap bereskan baju?”   “Sudah, Bang. Masuklah!” Aku melebarkan daun pintu.    Bang Arham menyusulku duduk di pinggir tempat tidur. Kami membisu beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing.    “Tak ada yang berubah, kan, Ra?” ujarnya setelah kami saling diam. “Abang tak nak mengubah rumah Bah. Biolah macam gini aja. Kalau engkau atau abang-abang rindu dengan bah dan emak, bisa datang k
last updateLast Updated : 2021-09-21
Read more

Pulang

Pukul lima pagi aku sudah bersiap-siap. Memang, matahari belum keluar dari peraduannya, tetapi aku tak ingin terlambat naik pesawat siang nanti. Andai ada orang yang mengantarku ke Pekanbaru, pasti aku tak harus bersiap dari pagi buta begini. Sayang, tak ada satu pun dari abang-abangku yang memiliki kendaraan roda empat itu. Jadinya, Bang Arham mencarikan mobil sewaan untukku.   “Ngapo bising ni?” Bang Arham bangun sambil mengucek-ngucek matanya.   “Bang, Era, kan, nak balek. Bangunlah cepat. Entah bilo kito dapat jumpo dio lagi.” Kak Hanum tampak kesal melihat ulah suaminya.   “Astaghfirullah, iyo e. Kejab. Aku Subuh dulu.”   “Engkau, pun, entah ngapo pesan pesawat pagi, Ra. Dah tahu rumah kito jauh dari bandara.”   “Mega yang pesan, Kak. Era lupa bilang. Tapi enggak kepagian, Kak. Jam sebelas masih bisalah dikejar.”   “Eh, Bang, mano kotak oleh-oleh untuk M
last updateLast Updated : 2021-09-22
Read more

Janji, Bisakah Aku?

Aku membuang pandang ke luar jendela, melihat pemandangan gersang di sepanjang jalan yang kami lewati. Aku sudah lupa, bagaimana bentuk jalan ini tiga puluh tahun lalu. Apakah masih sama? Atau memang sudah berubah? Namun dulu jalan ini belum ada. Kami meninggalkan Siak dengan menaiki kapal feri.   Ingatanku kembali ke masa lalu. Saat Bah masih ada dan aku duduk di bangku SMA. Saat itu aku sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Pekanbaru. Ibukota provinsi itu seperti mimpi yang sangat ingin digapai oleh gadis remaja polos sepertiku. Kala itu, Bah akan dinas ke Pekanbaru, maka aku melancarkan serangan merengek untuk ikut. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sana, aku terperangah. Tak ada hutan belantara seperti di tempatku tinggal. Pekanbaru lebih ramai, mobil lalu lalang di jalan raya. Juga ada swalayan besar yang menjual banyak barang.   Sekarang, Siak sudah jauh lebih maju. Semua yang ada di Pekanbaru, pun ada di sana. Tak sulit l
last updateLast Updated : 2021-09-23
Read more

Lamaran Kedua

Aku memasang sabuk pengaman sesuai dengan instruksi keselamatan yang sedang diperagakan oleh pramugari. Penumpang pesawat tidak terlalu ramai. Aku hanya duduk sendiri di bangku yang harusnya diisi tiga orang ini. Pesawat komersial berlogo burung Garuda yang aku naiki memang paling nyaman. Mega mengerti aku sudah lama sekali tidak naik pesawat terbang seorang diri, jadi dia memilih yang terbaik untukku.    Sesaat sebelum pesawat lepas landas, aku kembali teringat kejadian bersama Fahmi di bandara.    “Janji, ya. Engkau tak akan menikah dengan lelaki lain lepas ini. Aku menunggu engkau siap, Ra.”    Kalimat Fahmi saat berpisah di bandara tadi terngiang di telingaku. Manis sekali lelaki itu. Rasanya, kalau tak ingat Mega, atau keluarga Bang Arham, aku ingin mengiakan permintaannya sekarang juga. Namun, aku cukup sadar diri. Akal sehatku masih berjalan. Bagaimanapun perlakuan Bang Asman padaku, orang tak akan
last updateLast Updated : 2021-09-24
Read more

Pernyataan Kedua

“Jangan ngambek, dong! Aku enggak mau kalah cepat dari lelaki yang buat kamu tersenyum tadi.”    Suaranya lagi-lagi menggangguku. Kalau tidak memikirkan sopan santun, aku ingin membuka sepatu dan melemparkannya ke muka Dayu. Bocah itu menggodaku? Astaga. Aku tak pernah berpikir akan menjalin hubungan dengan brondong pahit seperti dia. Amit-amit, ya, Tuhan. Meskipun rambutku masih hitam semua, aku cukup sadar diri dan selalu ingat bahwa aku sudah tua. Dayu lebih cocok dengan Mega. Namun, aku tak akan melepas anak gadisku untuk lelaki sepertinya.    “Mau makan dulu?” Dia masih berusaha mengajakku berbicara.    “Sudah makan tadi,” jawabku tawar.    “Oke. Aku anterin kamu ke mana? Lolita?”    Dari mana dia tahu aku punya Lolita? Rasanya aku tak pernah berbicara apa-apa kepadanya. Sikapnya yang sok akrab itu bukannya membuatku senang, aku malah cenderung was-w
last updateLast Updated : 2021-09-25
Read more

Berbincang-bincang

Lolita tampak sepi saat aku baru tiba. Setelah membayar ongkos taksi, aku bergegas masuk ke dalam. Ternyata di dalam cukup ramai. Semua pegawai sedang melayani pelanggan. Meri sedang duduk di kursi kasir saat aku berjalan ke arahnya. Sahabatku itu mengangkat wajah dan nyaris berteriak saat melihat kedatanganku.  “Astaga! Kapan dateng?” Dia menghambur memelukku.  “Barusan. Naik taksi.” Aku membalas pelukannya sambil susah payah menahan air mata.  Meri mengenalku sangat baik. Aku yakin dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja saat mendengar nada suaraku. “Kita naik?” tanyanya lembut.  Aku mengangguk. Lantai dua Lolita adalah tempat yang paling aman untuk kami saling curhat. Kafe milikku itu tidak ramai. Pesanan lebih banyak datang dari bawah. Jarang sekali ada customer yang datang khusus untuk makan. Kecuali jika langganan salon membawa suami atau
last updateLast Updated : 2021-09-26
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status