Home / Romansa / Ujung Senja / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Ujung Senja: Chapter 31 - Chapter 40

89 Chapters

Keluar Kandang

Sepanjang jalan menuju kantor Bang Asman kami membisu. Aku menatap ke luar jendela, enggan bercakap dengannya. Lelaki itu selalu menyulut api kemarahan dalam hatiku. Bang Asman sepertinya tak ada niat mengajakku berbicara. Dia menyetir sambil bersenandung, mengikuti lagu yang diputar radio.  Aku dan pikiranku sibuk merencanakan bagaimana nanti aku harus bersikap di depan teman-teman kantor Bang Asman. Ini pertemuan kami yang pertama, dan tak mungkin aku bersikap seenaknya seperti di rumah. Mungkin aku harus menyalami mereka satu persatu, atau meminta Bang Asman mengenalkanku kepada seluruh peserta. Ah, persetan, aku tak perlu membuat siapa pun terkesan.  Tak lama, mobil Bang Asman memasuki area kantor. Ternyata tidak jauh dari rumah. Aku sempat melirik arloji tadi, kami hanya menghabiskan tiga puluh menit di perjalanan. Jadi agak aneh memang kalau selama ini Bang Asman selalu pulang tengah malam.  Seumur pernikahan kami, baru kali ini Bang Asma
last updateLast Updated : 2021-08-03
Read more

Bertemu Orang Baru

Khafid mendekatiku. Senyum belum lepas dari bibir seksinya. Seksi? Iya, aku menilai bibir penuh berwarna merah jambu itu seksi. Astaga! Rasanya aku ingin memukul diri sendiri. Bisa-bisanya aku menilai seorang lelaki seksi. Jalang sekali.  “Anggota baru?” Khafid bertanya dengan nada simpatik.  “Istri Pak Asman, Pak.”  “Wow. Pantaslah disembunyikan terus dalam lubang semut. Secantik ini ternyata. Hai, Bu, kenalin saya Khafid.”  Pak Khafid mengulurkan tangannya kepadaku. Tak mungkin aku membiarkan tangan itu hampa di udara. Mau tak mau, aku menyambutnya.  “Saya Era, Pak.”  Pak Khafid tersenyum. “Sayang sekali kita telat ketemunya, Ra. Kalau aku duluan ketemu kamu, aku bisa pastikan kamu lebih milih aku daripada Asman.”  Suara sorakan memenuhi gendang telingaku. Percakapan macam apa ini? Aku sungguh merasa murahan karena Pak Khafid bertindak seperti itu, tetapi aku tak punya cukup keberanian untuk
last updateLast Updated : 2021-08-05
Read more

Lelaki dan Lelaki

Wina membuka pintu berwarna cokelat yang tampak kokoh. Aroma Bang Asman memenuhi Indra penciumanku. Wajah tampannya sedang serius menghadap komputer. Beberapa lembar kertas terhampar di atas meja kerjanya.   Sebenarnya, bekerja di bagian apa dia di kantor ini? Kami memang sudah lima tahun menikah, tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya.   Aku lihat nama yang tertera di mejanya.   Tengku Asman, SE Staff SDM     Ruangan ini cukup besar, dan sepertinya bukan Bang Asman sendiri yang menghuni tempat ini. Aku perhatikan ada sekitar enam atau tujuh meja kosong. Wajar saja tempat ini sudah sepi. Matahari nyaris tenggelam di luar sana.   Aku sedikit menggigil. Pendingin udara di ruangan ini sepertinya menyala maksimal. Bang Asman memang tak tahan panas.   Setelah puas menyisir keseluruhan isi ruangan ini, mataku kembali menyusuri wajah
last updateLast Updated : 2021-08-06
Read more

Lelah

Sepanjang jalan tak ada lagi pembicaraan antara aku dan Khafid. Aku lebih banyak menoleh ke arah jendela. Menyaksikan pepohonan yang memenuhi sisi jalan protokol, sambil membayangkan kampung nun jauh di mata. Ada kerinduan yang tak pernah hilang dalam hatiku untuk menginjakkan kaki di Siak kembali. Paling tidak, melihat Emak. Aku menepis semua harapan. Bagiku, melihat kampung halaman kembali secara langsung adalah angan yang jauh dari kenyataan. Entah bagaimana bentuknya sekarang. Apakah masih ramai remaja yang menghabiskan waktu di pinggir sungai Siak? Atau jalanan tanah yang sering menyebabkan aku terjatuh mungkin sudah ditutup aspal. Entahlah. “Kita harus belok ke mana?” tanya Khafid. Aku menatap ke depan. Terkejut karena kami sudah sampai di persimpangan sebelum masuk jalan rumahku. “Kamu tahu rumahku?” Aku bertanya takjub. Bagaimana tidak, seluruh perjalanan ini aku habis
last updateLast Updated : 2021-08-31
Read more

Bang Arham

Waktu berlalu cepat. Tak terasa Mega sudah duduk di kelas dua sekolah dasar. Aku semakin tua. Ah, tetapi umur 27 rasanya belumlah terlalu tua. Andai aku bekerja, pastilah karierku sedang bagus-bagusnya. Sayang sekali, walaupun aku sudah mencari pekerjaan dengan mengandalkan staf Bang Asman, belum ada satu pun yang menerimaku.  Untunglah Bang Asman masih seroyal yang dulu. Dia memberi uang gaji utuh untukku, ditambah penghasilan tambahan yang aku tak tahu dia dapatkan dari mana. Prinsipku, yang penting aku memiliki uang cukup untuk melakukan semua hal yang aku senangi. Hidupku sudah tidak bahagia, aku tak ingin terlalu menderita. Setidaknya ada satu hal yang membuatku tersenyum.  Tak lupa aku menabung dengan memberi beberapa perhiasan setiap bulan. Aku tahu, karier Bang Asman tak akan selamanya. Suatu saat dia akan pensiun, dan dengan hubungan kami yang semakin lama semakin memburuk, tidak mungkin aku mengajaknya berdiskusi mengenai
last updateLast Updated : 2021-09-01
Read more

Membuang Limbah Duka

Bang Asman memang benar-benar keterlaluan. Dia menyabotase waktu Bang Arham hingga tak bersisa sedikit pun untukku. Sudah tiga hari Bang Arham diajaknya berkeliling. Kemudian mereka pulang dengan berbagai macam oleh-oleh untuk keluarga di kampung. Sungguh cara yang licik untuk menghilangkan kesempatanku berbicara empat mata dengan Bang Arham.    Aku bahkan belum tahu tujuan Bang Arham datang kemari. Mau apa lelaki bertubuh tinggi itu datang? Dan apakah tidak masalah beliau izin lama dari pekerjaannya? Aku bingung, sangat bingung hingga detik ini.    Akan tetapi, Tuhan tampaknya masih sayang kepadaku. Pagi ini, telepon rumah berdering saat aku sedang menyiapkan teh hangat dan bubur ayam untuk sarapan kedua lelaki yang sedang ngobrol di teras. Bang Asman tergopoh-gopoh mengangkat panggilan itu. Setelah berbicara dengan si penelepon, Bang Asman bersiap pergi.   Aku melihat dia berkali-kali meminta maaf kepada Bang
last updateLast Updated : 2021-09-02
Read more

Membuang Lula-Luka

Sudut Teras pada pukul sepuluh pagi terbilang sepi. Kafe yang sepertinya baru buka ini kosong. Aku dan Bang Arham adalah pengunjung pertama. Aku menatap sekeliling kafe bernuansa kuning tersebut. Aku cukup sering menghabiskan waktu di sini, karena ibu-ibu yang menjadi temanku di sekolah Mega sering mengajak ke sini. “Duduk di mano?” tanya Bang Arham. “Situ ajolah, Bang. Jauh dari orang.” Aku menunjuk meja di sudut kafe. Cukup jauh dari pendengaran para pelayan, dan bukan tempat duduk favorit pengunjung. Bang Arham menatap keseluruhan area kafe. Tampaknya dia cukup nyaman berada di sini. Syukurlah kalau begitu. Aku ingin berbicara sangat panjang dengannya. Kondisi tempat yang menyenangkan menjadi hal yang penting bagi kami. “Tak apo kan, Bang?” “Taklah. Sedap nampaknya.” “Duduk situ kita, Bang.” Aku menarik tanga
last updateLast Updated : 2021-09-03
Read more

Bercerita Lebih Banyak

Hujan perlahan reda. Jatuhnya tak sederas lima belas menit yang lalu. Aku masih duduk di sudut Kafe Sudut Teras, berhadapan dengan Bang Arham yang sedang memanggil pelayan sekali lagi.  Aku melirik jam tangan, sudah pukul dua belas siang. Mungkin dia sudah lapar lagi. Maklumlah, untuk perut seorang laki-laki, roti bakar setangkup itu tak akan bisa memenuhi seluruh bagian lambungnya.  Aku mendengar Bang Arham memesan nasi goreng spesial. Ditambah jus alpukat. Aku tak bisa menyembunyikan senyum. Makanan porsi kuli itu pasti dia perlukan untuk tetap waras mendengar semua cerita tragis.  “Mengapo kau tersenyum? Pasti nak mengejek porsi makan Abang, ye?”  Aku tertawa. Beban dalam dada yang sudah berkurang membuatku merasa mudah untuk mengekpresikan perasaan. “Betullah darah tu tak dapat bohong. Bisa pulak Abang tahu apa yang Era pikir.”  Bang Arham tertawa. “Kalau roti bakar, itu tak makanan bagi Abang d
last updateLast Updated : 2021-09-04
Read more

Bertahan

“Pikir panjang, Ra. Abang mengerti, sangat mengerti engkau tidak bahagia.” Lelaki berwajah lembut itu berkata pelan. Nada suaranya penuh tekanan dan kehati-hatian. “Tapi, kalau engkau balek ke kampung, engkau nak buat apo?”    Pertanyaan Bang Asman Terngiang-ngiang di telingaku. Seperti kaset yang rusak karena terlalu banyak diputar oleh pemiliknya. Aku menatap Bang Arham dengan rasa tidak percaya. Mengapa dia tega mematahkan semangatku?  “Bang, mengapa Abang meragukan rencana Era?”  “Abang tidak meragukan rencana engkau. Abang hanya membuka pikiran engkau sendiri, Ra. Emak dan Bah sudah tidak ada. Abang-abang sudah memiliki kehidupan masing-masing. Engkau nak balek kampung, membawa Mega. Lalu?”  Lalu apa? “Siapa yang nak kasih kalian makan? Abang bukan tak mau, Ra. Kalau hanya sekadar makan, Abang masih bisa. Tapi bagaimana sekolah Mega, engkau sudah biasa hidup senang di sini.” 
last updateLast Updated : 2021-09-05
Read more

Melepas

Aku tersenyum, memutuskan untuk mulai membuka diri. Menyibukkan hari agar tubuhku lelah dan tak memiliki kekuatan lagi untuk melihat sikap buruk Bang Asman.“Hei, ngapo engkau ni.” Bang Arham muncul di dekatku. “Senyum-senyum sendiri. Dah gila konon.” Aku tertawa dan mengajak Bang Asman untuk segera menjemput Mega. Tak butuh waktu lama, kami tiba di sekolah Mega. Sepanjang jalan, tak aku temui kemacetan lalu lintas. “Era!” Sebuah suara memanggilku dari kejauhan. Aku menoleh ke arah si pemilik suara, Meri. “Meri.” Aku melambaikan tangan. “Lu ke mana aja sih?” Meri bersungut. “Tadi gue sama temen-temen nongkrong di Hang Jebat.” “Gue sama abang gue juga nongkrong di Sudut Teras.” Bang Arham menahan tawa mendengar ucapanku. Dia terbiasa mendengarku berbicara de
last updateLast Updated : 2021-09-06
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status