Sepanjang jalan menuju kantor Bang Asman kami membisu. Aku menatap ke luar jendela, enggan bercakap dengannya. Lelaki itu selalu menyulut api kemarahan dalam hatiku. Bang Asman sepertinya tak ada niat mengajakku berbicara. Dia menyetir sambil bersenandung, mengikuti lagu yang diputar radio.
Aku dan pikiranku sibuk merencanakan bagaimana nanti aku harus bersikap di depan teman-teman kantor Bang Asman. Ini pertemuan kami yang pertama, dan tak mungkin aku bersikap seenaknya seperti di rumah. Mungkin aku harus menyalami mereka satu persatu, atau meminta Bang Asman mengenalkanku kepada seluruh peserta. Ah, persetan, aku tak perlu membuat siapa pun terkesan.
Tak lama, mobil Bang Asman memasuki area kantor. Ternyata tidak jauh dari rumah. Aku sempat melirik arloji tadi, kami hanya menghabiskan tiga puluh menit di perjalanan. Jadi agak aneh memang kalau selama ini Bang Asman selalu pulang tengah malam.
Seumur pernikahan kami, baru kali ini Bang Asma
Era bertemu lelaki lain. Apakah Asman cemburu? Agak eneg emang ngeliat kelakuan Asman. Support terus Ujung Senja ya. Sarangheođ
Khafid mendekatiku. Senyum belum lepas dari bibir seksinya. Seksi? Iya, aku menilai bibir penuh berwarna merah jambu itu seksi. Astaga! Rasanya aku ingin memukul diri sendiri. Bisa-bisanya aku menilai seorang lelaki seksi. Jalang sekali. âAnggota baru?â Khafid bertanya dengan nada simpatik. âIstri Pak Asman, Pak.â âWow. Pantaslah disembunyikan terus dalam lubang semut. Secantik ini ternyata. Hai, Bu, kenalin saya Khafid.â Pak Khafid mengulurkan tangannya kepadaku. Tak mungkin aku membiarkan tangan itu hampa di udara. Mau tak mau, aku menyambutnya. âSaya Era, Pak.â Pak Khafid tersenyum. âSayang sekali kita telat ketemunya, Ra. Kalau aku duluan ketemu kamu, aku bisa pastikan kamu lebih milih aku daripada Asman.â Suara sorakan memenuhi gendang telingaku. Percakapan macam apa ini? Aku sungguh merasa murahan karena Pak Khafid bertindak seperti itu, tetapi aku tak punya cukup keberanian untuk
Wina membuka pintu berwarna cokelat yang tampak kokoh. Aroma Bang Asman memenuhi Indra penciumanku. Wajah tampannya sedang serius menghadap komputer. Beberapa lembar kertas terhampar di atas meja kerjanya. Sebenarnya, bekerja di bagian apa dia di kantor ini? Kami memang sudah lima tahun menikah, tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya. Aku lihat nama yang tertera di mejanya. Tengku Asman, SE Staff SDM Ruangan ini cukup besar, dan sepertinya bukan Bang Asman sendiri yang menghuni tempat ini. Aku perhatikan ada sekitar enam atau tujuh meja kosong. Wajar saja tempat ini sudah sepi. Matahari nyaris tenggelam di luar sana. Aku sedikit menggigil. Pendingin udara di ruangan ini sepertinya menyala maksimal. Bang Asman memang tak tahan panas. Setelah puas menyisir keseluruhan isi ruangan ini, mataku kembali menyusuri wajah
Sepanjang jalan tak ada lagi pembicaraan antara aku dan Khafid. Aku lebih banyak menoleh ke arah jendela. Menyaksikan pepohonan yang memenuhi sisi jalan protokol, sambil membayangkan kampung nun jauh di mata. Ada kerinduan yang tak pernah hilang dalam hatiku untuk menginjakkan kaki di Siak kembali. Paling tidak, melihat Emak.Aku menepis semua harapan. Bagiku, melihat kampung halaman kembali secara langsung adalah angan yang jauh dari kenyataan. Entah bagaimana bentuknya sekarang. Apakah masih ramai remaja yang menghabiskan waktu di pinggir sungai Siak? Atau jalanan tanah yang sering menyebabkan aku terjatuh mungkin sudah ditutup aspal. Entahlah.“Kita harus belok ke mana?” tanya Khafid.Aku menatap ke depan. Terkejut karena kami sudah sampai di persimpangan sebelum masuk jalan rumahku.“Kamu tahu rumahku?” Aku bertanya takjub. Bagaimana tidak, seluruh perjalanan ini aku habis
Waktu berlalu cepat. Tak terasa Mega sudah duduk di kelas dua sekolah dasar. Aku semakin tua. Ah, tetapi umur 27 rasanya belumlah terlalu tua. Andai aku bekerja, pastilah karierku sedang bagus-bagusnya. Sayang sekali, walaupun aku sudah mencari pekerjaan dengan mengandalkan staf Bang Asman, belum ada satu pun yang menerimaku.Untunglah Bang Asman masih seroyal yang dulu. Dia memberi uang gaji utuh untukku, ditambah penghasilan tambahan yang aku tak tahu dia dapatkan dari mana. Prinsipku, yang penting aku memiliki uang cukup untuk melakukan semua hal yang aku senangi. Hidupku sudah tidak bahagia, aku tak ingin terlalu menderita. Setidaknya ada satu hal yang membuatku tersenyum.Tak lupa aku menabung dengan memberi beberapa perhiasan setiap bulan. Aku tahu, karier Bang Asman tak akan selamanya. Suatu saat dia akan pensiun, dan dengan hubungan kami yang semakin lama semakin memburuk, tidak mungkin aku mengajaknya berdiskusi mengenai
Bang Asman memang benar-benar keterlaluan. Dia menyabotase waktu Bang Arham hingga tak bersisa sedikit pun untukku. Sudah tiga hari Bang Arham diajaknya berkeliling. Kemudian mereka pulang dengan berbagai macam oleh-oleh untuk keluarga di kampung. Sungguh cara yang licik untuk menghilangkan kesempatanku berbicara empat mata dengan Bang Arham. Aku bahkan belum tahu tujuan Bang Arham datang kemari. Mau apa lelaki bertubuh tinggi itu datang? Dan apakah tidak masalah beliau izin lama dari pekerjaannya? Aku bingung, sangat bingung hingga detik ini. Akan tetapi, Tuhan tampaknya masih sayang kepadaku. Pagi ini, telepon rumah berdering saat aku sedang menyiapkan teh hangat dan bubur ayam untuk sarapan kedua lelaki yang sedang ngobrol di teras. Bang Asman tergopoh-gopoh mengangkat panggilan itu. Setelah berbicara dengan si penelepon, Bang Asman bersiap pergi. Aku melihat dia berkali-kali meminta maaf kepada Bang
Sudut Teras pada pukul sepuluh pagi terbilang sepi. Kafe yang sepertinya baru buka ini kosong. Aku dan Bang Arham adalah pengunjung pertama. Aku menatap sekeliling kafe bernuansa kuning tersebut. Aku cukup sering menghabiskan waktu di sini, karena ibu-ibu yang menjadi temanku di sekolah Mega sering mengajak ke sini.“Duduk di mano?” tanya Bang Arham.“Situ ajolah, Bang. Jauh dari orang.” Aku menunjuk meja di sudut kafe. Cukup jauh dari pendengaran para pelayan, dan bukan tempat duduk favorit pengunjung.Bang Arham menatap keseluruhan area kafe. Tampaknya dia cukup nyaman berada di sini. Syukurlah kalau begitu. Aku ingin berbicara sangat panjang dengannya. Kondisi tempat yang menyenangkan menjadi hal yang penting bagi kami.“Tak apo kan, Bang?”“Taklah. Sedap nampaknya.”“Duduk situ kita, Bang.” Aku menarik tanga
Hujan perlahan reda. Jatuhnya tak sederas lima belas menit yang lalu. Aku masih duduk di sudut Kafe Sudut Teras, berhadapan dengan Bang Arham yang sedang memanggil pelayan sekali lagi. Aku melirik jam tangan, sudah pukul dua belas siang. Mungkin dia sudah lapar lagi. Maklumlah, untuk perut seorang laki-laki, roti bakar setangkup itu tak akan bisa memenuhi seluruh bagian lambungnya. Aku mendengar Bang Arham memesan nasi goreng spesial. Ditambah jus alpukat. Aku tak bisa menyembunyikan senyum. Makanan porsi kuli itu pasti dia perlukan untuk tetap waras mendengar semua cerita tragis. âMengapo kau tersenyum? Pasti nak mengejek porsi makan Abang, ye?â Aku tertawa. Beban dalam dada yang sudah berkurang membuatku merasa mudah untuk mengekpresikan perasaan. âBetullah darah tu tak dapat bohong. Bisa pulak Abang tahu apa yang Era pikir.â Bang Arham tertawa. âKalau roti bakar, itu tak makanan bagi Abang d
âPikir panjang, Ra. Abang mengerti, sangat mengerti engkau tidak bahagia.â Lelaki berwajah lembut itu berkata pelan. Nada suaranya penuh tekanan dan kehati-hatian. âTapi, kalau engkau balek ke kampung, engkau nak buat apo?âPertanyaan Bang Asman Terngiang-ngiang di telingaku. Seperti kaset yang rusak karena terlalu banyak diputar oleh pemiliknya. Aku menatap Bang Arham dengan rasa tidak percaya. Mengapa dia tega mematahkan semangatku? âBang, mengapa Abang meragukan rencana Era?â âAbang tidak meragukan rencana engkau. Abang hanya membuka pikiran engkau sendiri, Ra. Emak dan Bah sudah tidak ada. Abang-abang sudah memiliki kehidupan masing-masing. Engkau nak balek kampung, membawa Mega. Lalu?â Lalu apa? âSiapa yang nak kasih kalian makan? Abang bukan tak mau, Ra. Kalau hanya sekadar makan, Abang masih bisa. Tapi bagaimana sekolah Mega, engkau sudah biasa hidup senang di sini.â
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. âTadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.â âKakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,â ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. âBukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.â Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. âEngkau tahu tak.â Dia memegang tanganku. âMalam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se
Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri
Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam
Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang