“Jangan ngambek, dong! Aku enggak mau kalah cepat dari lelaki yang buat kamu tersenyum tadi.”
Suaranya lagi-lagi menggangguku. Kalau tidak memikirkan sopan santun, aku ingin membuka sepatu dan melemparkannya ke muka Dayu. Bocah itu menggodaku? Astaga. Aku tak pernah berpikir akan menjalin hubungan dengan brondong pahit seperti dia. Amit-amit, ya, Tuhan. Meskipun rambutku masih hitam semua, aku cukup sadar diri dan selalu ingat bahwa aku sudah tua. Dayu lebih cocok dengan Mega. Namun, aku tak akan melepas anak gadisku untuk lelaki sepertinya.
“Mau makan dulu?” Dia masih berusaha mengajakku berbicara.
“Sudah makan tadi,” jawabku tawar.
“Oke. Aku anterin kamu ke mana? Lolita?”
Dari mana dia tahu aku punya Lolita? Rasanya aku tak pernah berbicara apa-apa kepadanya. Sikapnya yang sok akrab itu bukannya membuatku senang, aku malah cenderung was-w
Keep pantengin ya, teman-teman. Jangan lupa vote 💜
Lolita tampak sepi saat aku baru tiba. Setelah membayar ongkos taksi, aku bergegas masuk ke dalam. Ternyata di dalam cukup ramai. Semua pegawai sedang melayani pelanggan. Meri sedang duduk di kursi kasir saat aku berjalan ke arahnya. Sahabatku itu mengangkat wajah dan nyaris berteriak saat melihat kedatanganku.“Astaga! Kapan dateng?” Dia menghambur memelukku.“Barusan. Naik taksi.” Aku membalas pelukannya sambil susah payah menahan air mata.Meri mengenalku sangat baik. Aku yakin dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja saat mendengar nada suaraku. “Kita naik?” tanyanya lembut.Aku mengangguk. Lantai dua Lolita adalah tempat yang paling aman untuk kami saling curhat. Kafe milikku itu tidak ramai. Pesanan lebih banyak datang dari bawah. Jarang sekali ada customer yang datang khusus untuk makan. Kecuali jika langganan salon membawa suami atau
"Dia mantan gue, bok. Ngajak balikan juga. Duh, pusing gue. Gue enggak pengin kawin lagi. Serius.” Aku mengelap mulut setelah menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Adrian. Segelas air putih pun tandas tak bersisa. Rasanya kenyang sekali. Aku jarang makan banyak. Selera makanku sudah patah sejak bertahun-tahun yang lalu. “Gokil lu ye. Baru aja lepas dari ikatan yang antre dah rame.” “Ah, lebay lu! Antre apaan?” “Fahmi cakep enggak?” “Gimana ya? Gagah sih, kulitnya cokelat. Polisi dia. Duda.” Semoga penjelasanku ini memuaskan rasa ingin tahu Meri. “Wow, high quality, Nek. Lu bungkus dah sebelum berondong manis merongrong lu lagi.” Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan asal Meri. Bungkus? Emang Fahmi nasi Padang? “Eh, Ra, lu enggak ingat ibu-ibu yang kemarin gue ceritain? “Ibu-i
Lelaki itu ditutupi kabut tebal. Tubuhnya kering serupa ranting yang sudah berhari-hari terbakar terik matahari. Aku menatap dari kejauhan, enggan mendatanginya. Mulutnya berteriak memanggil namaku. Melantunkan kata maaf beribu. Aku bergeming, masih berdiri sangat jauh dari sosoknya.Kemudian, lelaki itu merangkak-rangkak menuju ke arahku. Aku tak menunggu, tetapi kakiku seperti beku. Tubuhku serasa terikat tambang. Ada apa ini? Aku tak berani melihatnya yang semakin dekat, aku memejamkan mata, memalingkan muka, berharap lelaki ini tak pernah datang lagi.Namun, dia nyata. Dia ada. Dia sudah tiba di dekatku. Tepat di kakiku, lelaki itu bersujud. Untuk apa? Rasanya tak ada lagi yang harus dimaafkan. Semua sudah selesai. Masalah apa pun yang pernah ada antara kami sudah lama berlalu.“Maafkan aku.” Dia meraung. Mencium kakiku berulang-ulang. Aku menggeser kaki ke kiri, takut air matanya membua
Aku terbangun mendengar suara ketukan di pintu. Mataku terasa lengket, rasanya tidurku belum cukup karena terbangun tengah malam tadi. Namun, ketukan pintu semakin keras. Mega kenapa sih? Mengapa mendesakku begini? Dengan tubuh masih limbung, aku berjalan ke arah pintu. Mungkin begini rasanya mabuk. Kepala pusing, mata tak bisa dibuka, dan cara jalan persis balita yang baru belajar melangkah. Aku membuka pintu dan mendapati Mega sedang berdiri di sana dengan wajah waswas. Dia langsung menghambur memelukku. “Mega pikir Mama kenapa-napa. Dipanggil dari tadi enggak jawab. Mega takut banget, Ma. Lain kali enggak usah kunci pintu!” Dia berkata lebih dengan nada memerintah. Kasihan sekali gadisku. Pasti rasa trauma karena kehilangan ayah masih belum hilang sepenuhnya. “Iya, Nak. Besok Mama enggak akan kunci kamar lagi.” Aku menangkup kedua pipinya dengan penuh rasa sayang.
Akhirnya tugas kami selesai. Adrian mematikan laptop setelah memastikan semua data yang dimasukkan sudah benar. Dalam hati aku memuji loyalitas kedua anak buahku ini. Sejak kafe buka, belum pernah aku ganti karyawan. Mereka setia mendampingi. “Je pesen nasi goreng, dong. Lima ya, dibungkus aja.” Aku berkata kepada Jeje yang sedang sibuk memindahkan kerupuk ke dalam stoples besar. “Siap, Bu.” Dia bergerak cepat memasak pesananku. Aku melirik jam. Masih pukul tiga, Mega dan Mbak Mur pasti belum selesai perawatan. Perawatan lengkap memakan waktu tiga sampai empat jam. Sesekali Mbak Mur harus menyenangkan diri. Setiap hari dia berkutat dengan dapur saja. Aku pun jika menjadi dia pasti jenuh. Jadi aku memutuskan untuk memesan nasi goreng. Kasihan Mbak Mur kalau harus masak lagi setelah lelah hari ini. Nanti sampai di rumah, aku tinggal menyuruhnya memasukkan bahan mentah ke kulkas. Aku mer
“Harta apa, ya?” Aku mengumpulkan keberanian mendebat perempuan berwajah tegas itu. “Apa pun hubungan kamu dengan Bang Asman di masa lalu, itu tidak ada hubungannya dengan saya!”Brak! Dengan berani perempuan itu menggebrak meja. Sangat keras hingga membuat Dayu terlompat dari kursinya. Aku mengangkat dagu, berusaha menantang mata garangnya. Meskipun jantungku sudah tak tenang di dalam sana, aku tak ingin menunjukkan ketakutan.“Yang sopan, Mbak!” bentak Dayu. “Ini kafe, bukan rumah kamu. Kalau di rumah kamu sendiri, silakan main kasar!”Perempuan itu memelotot ke arah Dayu. “Kamu siapa? Calon suami barunya?”“Kalau iya kenapa? Salah? Kan jelas suaminya sudah meninggal. Beda sama kamu, mau-maunya jadi simpanan suami orang!”Aku menarik lengan Dayu, tak ingin melihatnya berdebat dengan perempuan itu. Terlebih
Aku terbaring di ranjang dengan pikiran tak tenang. Sudah pukul sebelas malam, tetapi jangankan kantuk, rasa capek pun tidak ada. Padahal batinku lelah menghadapi semua kenyataan ini. Aku sadar, aku ini perempuan lemah hati. Bukan tak mungkin aku akan mengiakan permintaan Tari pada akhirnya. Aku tidak suka keributan. Berebutan harta seperti ini adalah sesuatu yang asing dalam hidupku. Seumur hidup, harta peninggalan Emak saja tidak pernah kami perebutkan. Semua berjalan tanpa ada pertentangan. Bang Arham memberi seperangkat perhiasan emas milik Emak sebagai kenang-kenangan untukku. Tak ada saudara yang protes walaupun mereka tidak mendapat bagian yang sama. “Tak apo, Ra. Engkau adik bungsu kami, betino pulak. Dah sewajarnya engkau dapat lebih.” Begitu kata mereka. Lalu, aku bingung menghadapi masalah ini. Gaji Bang Asman itu hakku, aku tahu. Namun, jika Tari bersikeras, menuntut, bahkan melakukan teror yang menggan
Meskipun tidak bisa tidur semalam, aku tetap terbangun pukul lima pagi. Setelah salat, aku turun ke dapur menyiapkan sarapan untuk Mega. Aku tak perlu memasak yang sulit, Mega tak pernah rewel soal masakan. Pukul enam pagi Mega sudah keluar kamar. Gadisku sudah berpakaian rapi dengan seragam kerjanya. “Masak apa, Ma?” tanya Mega sambil duduk di salah satu kursi meja makan. “Salad buah, Meg. Males banget masak nasi goreng.” Aku meletakkan semangkuk salad buah di atas meja. “Enakan makan beginian pagi-pagi. Kalau nasi goreng Mega suka ngantuk.” Aku menyusul duduk, berhadapan dengan Mega yang sedang mengaduk salad dalam mangkuknya. “Bawa mobil enggak? Mama numpang dong sampai Lolita.” “Enggak, Ma. Malas banget. Mega ikut mobil hotel. Ntar sopirnya datang ke sini jemput Mega.” “Enak banget sih. Mama dulu pengin banget kerja, tap
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se
Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri
Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam
Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang