Home / Romansa / Ujung Senja / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Ujung Senja: Chapter 71 - Chapter 80

89 Chapters

Duka Tanpa Jeda

“Kenapa?” tanya Meri dengan nada khawatir melihat perubahan raut wajahku.  “Ada orang nagih utang di rumah. Gue harus balik.” Aku meraih tas di meja, melangkah terburu-buru ke tangga. Astaga, aku hampir melupakan Fahmi, aku berbalik lagi.  “Gue anterin?”  “Enggak usah.” Aku menoleh ke arah Fahmi. “Yuk, Mi, buruan!”    “Lu enggak mungkin nyetir dalam keadaan kacau begini,” desak Meri.    Aku berpikir sebentar. Mungkin Meri memang benar. “Oke, deh. Yuk!” “Oke.” Lelaki itu beranjak. Masih sempat aku lihat dia meletakkan uang seratus ribu di atas meja untuk membayar pesanan kami.  Kami melangkah menuruni tangga dalam diam. Pikiranku berkecamuk. Siapa yang menagih utang? Mengapa Bang Asman meninggalkan banyak masalah? Tidak cukupkah hidupku menderita selama bersamanya? Setelah tiada pun dia masih membuatku sakit kepala. Di luar dugaan, salon rama
last updateLast Updated : 2021-10-07
Read more

Mencari Solusi

Aku terisak di pelukan Mega. Rasanya kedua kakiku seperti tak bertulang. Untuk menopang badan sendiri pun tak sanggup. Mega meletakkan kedua tangannya di punggungku. Mulutnya tak bersuara. Aku tahu, mungkin dia marah sebab melihatku berpelukan dengan lelaki lain di rumah ayahnya, tetapi Mega harus dewasa dalam memandang masalah ini. Dia sebaiknya tahu akar masalahnya.  “Kamu kenapa diam?” Aku melepas pelukan dan mendapati wajahnya tampak tak senang.  “Siapa itu, Ma?” Dia bertanya dingin.  “Kenalkan, saya Fahmi. Teman mamamu dari Siak.” Dengan penuh percaya diri Fahmi mengulurkan tangannya kepada Mega. Mega menyambut uluran tangan Fahmi dengan wajah tegang. Jelas sekali dia tak senang dengan pertemuan awal ini. Namun itu menjadi tidak penting sekarang. Apa pun reaksi Mega terhadap hubunganku dan Fahmi, aku tak peduli lagi.  “Mama kenapa nangis?” Wajah cantiknya mulai melunak.  “Tadi ada o
last updateLast Updated : 2021-10-08
Read more

Tergemap

Saat aku mengeringkan rambut, terdengar suara obrolan Mega dan Dayu di luar. Sepertinya berasal dari meja makan. Aku mempercepat gerakan. Tak enak rasanya membiarkan Mega berduaan dengan lelaki itu.  Pintu kamar aku buka. Serentak Mega dan Dayu menoleh ke arahku. Dayu langsung melemparkan senyum manis. Aku melengos dan memilih duduk di sebelah Mega.  Di atas meja sudah terhidang kopi dan kue. Aku menatap kedua orang itu satu persatu, menunggu mereka berbicara lagi.  “Ternyata Mas Dayu enggak kenal sama Indri, Ma.” Mega langsung melaporkan begitu melihat sorot mataku.  “Iya, Day?” Aku mengkonfirmasi. Setidaknya aku harus menunjukkan bahwa aku memiliki perhatian.  “Iya, Ra. Aku kenal beberapa ... teman perempuan Bapak, tapi enggak ada yang namanya Indri.”  Aku mengangguk. Berarti aku harus menghapus nama Dayu dari daftar orang yang bisa memberi bantuan.  “Tapi nanti a
last updateLast Updated : 2021-10-09
Read more

Kenyataannya ....

Aku turun dari mobil dengan rasa ragu. Jantungku di dalam sana memompa darah lebih cepat. Siapkah aku? Jujur aku akan berkata tidak, tetapi Dayu dan Mega memberi semangat. Mega yang awalnya tak setuju, kini malah berpihak pada Dayu. Aku mengalah. Sudahlah, aku akan usahakan.  Aku melangkah menuju tempat yang telah disepakati. Perempuan berkerudung cokelat itu menatap ke arahku. Aku jarang salah menilai orang. Perempuan ini bukan jenis perempuan yang bisa diperlakukan sembarangan. Dia punya sikap dan ketegasan. Pasti dia akan mempertahankan semua miliknya hingga titik darah penghabisan.  “Indri?” tanyaku berbasa-basi. Perempuan ini berdiri, mengulurkan tangan padaku dengan senyum terukir di bibir.  “Senang bertemu denganmu.” Dia mempersilakanku duduk dengan isyarat mata. “Sejak dulu aku ingin berkenalan, tapi Asman tak pernah memberi kesempatan.”  Aku tersenyum canggung sambil duduk di depannya. Di meja s
last updateLast Updated : 2021-10-09
Read more

Mencari-Cari

“Udahlah, lu tinggal di atas aja.” Meri memberi saran. Saat ini kami sedang makan siang di luar. Lolita sedang sepi, jadi kami menyempatkan diri cuci mata ke mal. Sudah lama sekali kami tidak melakukannya. “Maksud lu Lolita?” Aku mengkonfirmasi.  “Iya. Lantai tiga kan kosong.”  Aku terdiam. Aku dan Mega sudah berusaha mencari kontrakan, tetapi belum ada yang pas di hati. Sebenarnya, bisa saja kami membeli rumah dengan menguras uang tabungan, tetapi rumah murah dan berada di lokasi yang strategis mana ada.“Bosen dong gue. Tinggal di Lolita, kerja di Lolita.”“Yang penting ada tempat berteduh, kan?”Iya. Meri memang benar. Lolita itu ruko milik Andi, suami Meri. Kami tidak pernah membayar uang sewa sekali pun. Namun, kalau aku yang tinggal di sana, tentu akan lain ceritanya. Aku pasti merasa sungka
last updateLast Updated : 2021-10-10
Read more

Berbeda Pendapat

“Gimana, Ma?” tanya Mega setelah dia kembali ke depan. Sepertinya Meri belum berhasil bicara dengannya.  “Hem, kayaknya terlalu banyak yang harus kita perbaiki, Meg.”   “Begitu? Bisa pelan-pelan kan, Ma? Yang penting ada tempat berteduh dulu.” Mega mengucapkan kalimat itu dengan wajah penuh keyakinan. Seolah-olah biaya untuk memoles rumah ini bisa kami dapatkan dengan mudah. Aku yakin, kami harus menggelontorkan uang yang tidak sedikit agar merasa nyaman di tempat ini.  “Kalau nyari di dekat sini, emang beginilah kondisinya, Ma.” Mega berkata kepadaku, matanya memindai seluruh ruangan yang sudah kusam. Pintu kamar pun sepertinya telah keropos. Mungkin pemiliknya sudah terlalu lama membiarkan rumah ini kosong.  “Iya, sih, Meg.”  “Waktu kita enggak banyak, Ma. Uang kita pun semakin lama semakin berkurang. Kalau enggak cepat, ujung-ujungnya kita enggak bakal dapat apa-apa.”  Aku ha
last updateLast Updated : 2021-10-11
Read more

Mengurai Benang Kusut

Pagi-pagi aku bangun seperti biasa. Setelah Salat Subuh, aku menyiapkan sarapan untuk Mega. Mega belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat, atau mungkin dia sedang bersiap-siap di kamar. Aku sudah hafal kebiasaannya, keluar kamar jika sudah selesai berpakaian.  Aku memilih roti bakar untuk makan pagi kami. Selai cokelat kesukaan Mega aku persiapkan. Juga segelas teh hangat tawar. Aku berusaha melupakan kejadian tadi malam. Anggap saja kejadian itu tidak ada. Anggap saja Mega tidak pernah mengucapkan kalimat yang menyakitiku.  Pintu kamar Mega terkuak. Dia keluar dengan pakaian rapi. Wajahnya yang dipoles dengan make-up tipis sangat cantik. Matanya tak melihat ke arahku sedikit pun. Aku berusaha bersabar. Dia masih muda, emosinya jelas saja lebih labil dari diriku. Maka aku menegurnya terlebih dahulu.  “Makan, Meg.”  Mega tak memberi respons. Dia malah sibuk memilih sepatu. Aku mengais kesabaran yang rasanya
last updateLast Updated : 2021-10-12
Read more

Menemukanmu

Mega menunggu di lobi hotelnya dengan wajah gelisah. Dari jauh aku melihat gadis itu mondar-mandir, sesekali dia menyugar rambut. Begitu mobil Dayu berhenti, dia masuk dan duduk di jok belakang. Kami sama-sama membisu, hanya alunan musik yang mengisi kekosongan udara. “Mau makan di mana, Meg?” tanya Dayu sembari melirik Mega dari kaca spion. “Tanyakan sama Mama aja.” “Tante, mau makan apa?” Aku hampir terkikik geli mendengar Dayu memanggilku tante. Saking terbiasanya mendengar dia memanggilku Era, perutku mual begitu dia memanggilku tante.  “Tante ngikut aja.” Aku membahasakan diri dengan panggilan yang dia sematkan kepadaku. Meskipun aku ingin tertawa lepas, tapi aku tahan semua. Senyum tipis tersungging di bibir Dayu mendengar aku mengikutinya memanggil tante ke diriku sendiri, dapat aku lihat
last updateLast Updated : 2021-10-13
Read more

Jalan Keluar

Sesaat sebelum Mega turun di hotel, aku memastikan kepulangannya. Kami kan sudah baikan, masa dia masih ngambek dan tidak mau pulang   “Nanti malam kamu pulang jam berapa?” tanyaku sambil menoleh ke belakang.    “Biasa, Ma. Jam tujuhan.”    Aku mengangguk lega. Jawaban itu mengindikasikan bahwa dia tidak jadi menginap di hotel.    “Ya udah. Mama balik ke Lolita ya.”   Mega melambaikan tangannya kemudian berbalik masuk ke dalam hotel. Dayu melajukan mobilnya kembali di jalan raya.    “Langsung ke Lolita?” Dia bertanya.    “Iya. Mau ke mana lagi?” Aku menjawab ketus. Setelah kami tinggal berdua, sulit sekali untuk bermanis kata dengannya.    “Jangan marah-marah, Ra. Nanti cantikmu hilang.”    Dengar, kan? Dia memanggilku tante hanya kamuflase di depan Mega. Setelah
last updateLast Updated : 2021-10-14
Read more

Menghapus Jarak

Hari Minggu adalah hari bersantai sedunia untuk Mega. Tentu saja berbanding terbalik denganku. Lolita biasanya sangat ramai pada hari Sabtu dan Minggu. Biasanya, aku memberi pilihan untuk Jeje dan Adrian mengenai hari libur. Terserah mereka pilih hari apa. Namun, jika mereka memilih tetap bekerja, maka aku akan memberi kompensasi uang lembur yang jumlahnya lumayan. Sering kali Jeje dan Adrian memilih full bekerja seminggu. Kecuali sakit, atau ada acara keluarga. Seperti Minggu ini. Mereka mengatakan tetap bekerja pada hari Minggu. Maka, aku memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara dengan Mega mengenai Fahmi dan penawarannya. Hubunganku dan Mega sudah lebih baik sekarang. Sejak aku memberi panjar untuk rumah kemarin, mood Mega lebih stabil. Dia jadi sering menghabiskan waktu untuk mengobrol denganku. Pukul delapan pagi, Mbak Mur sudah selesai memasak sarapan. Kue buatan anaknya pun terhidang di meja. Rencananya pagi ini akan
last updateLast Updated : 2021-10-15
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status