“Kenapa?” tanya Meri dengan nada khawatir melihat perubahan raut wajahku.
“Ada orang nagih utang di rumah. Gue harus balik.” Aku meraih tas di meja, melangkah terburu-buru ke tangga. Astaga, aku hampir melupakan Fahmi, aku berbalik lagi. “Gue anterin?” “Enggak usah.” Aku menoleh ke arah Fahmi. “Yuk, Mi, buruan!”“Lu enggak mungkin nyetir dalam keadaan kacau begini,” desak Meri.
Aku berpikir sebentar. Mungkin Meri memang benar. “Oke, deh. Yuk!”
“Oke.” Lelaki itu beranjak. Masih sempat aku lihat dia meletakkan uang seratus ribu di atas meja untuk membayar pesanan kami. Kami melangkah menuruni tangga dalam diam. Pikiranku berkecamuk. Siapa yang menagih utang? Mengapa Bang Asman meninggalkan banyak masalah? Tidak cukupkah hidupku menderita selama bersamanya? Setelah tiada pun dia masih membuatku sakit kepala.Di luar dugaan, salon ramaHidup Era belum juga bahagia 😭 tapi kalian harus tetap bahagia. Semoga terhibur dengan tulisanku. Jangan lupa vote dan dukungan untuk Ujung Senja.
Aku terisak di pelukan Mega. Rasanya kedua kakiku seperti tak bertulang. Untuk menopang badan sendiri pun tak sanggup. Mega meletakkan kedua tangannya di punggungku. Mulutnya tak bersuara. Aku tahu, mungkin dia marah sebab melihatku berpelukan dengan lelaki lain di rumah ayahnya, tetapi Mega harus dewasa dalam memandang masalah ini. Dia sebaiknya tahu akar masalahnya. “Kamu kenapa diam?” Aku melepas pelukan dan mendapati wajahnya tampak tak senang. “Siapa itu, Ma?” Dia bertanya dingin. “Kenalkan, saya Fahmi. Teman mamamu dari Siak.” Dengan penuh percaya diri Fahmi mengulurkan tangannya kepada Mega. Mega menyambut uluran tangan Fahmi dengan wajah tegang. Jelas sekali dia tak senang dengan pertemuan awal ini. Namun itu menjadi tidak penting sekarang. Apa pun reaksi Mega terhadap hubunganku dan Fahmi, aku tak peduli lagi. “Mama kenapa nangis?” Wajah cantiknya mulai melunak. “Tadi ada o
Saat aku mengeringkan rambut, terdengar suara obrolan Mega dan Dayu di luar. Sepertinya berasal dari meja makan. Aku mempercepat gerakan. Tak enak rasanya membiarkan Mega berduaan dengan lelaki itu. Pintu kamar aku buka. Serentak Mega dan Dayu menoleh ke arahku. Dayu langsung melemparkan senyum manis. Aku melengos dan memilih duduk di sebelah Mega. Di atas meja sudah terhidang kopi dan kue. Aku menatap kedua orang itu satu persatu, menunggu mereka berbicara lagi. “Ternyata Mas Dayu enggak kenal sama Indri, Ma.” Mega langsung melaporkan begitu melihat sorot mataku. “Iya, Day?” Aku mengkonfirmasi. Setidaknya aku harus menunjukkan bahwa aku memiliki perhatian. “Iya, Ra. Aku kenal beberapa ... teman perempuan Bapak, tapi enggak ada yang namanya Indri.” Aku mengangguk. Berarti aku harus menghapus nama Dayu dari daftar orang yang bisa memberi bantuan. “Tapi nanti a
Aku turun dari mobil dengan rasa ragu. Jantungku di dalam sana memompa darah lebih cepat. Siapkah aku? Jujur aku akan berkata tidak, tetapi Dayu dan Mega memberi semangat. Mega yang awalnya tak setuju, kini malah berpihak pada Dayu. Aku mengalah. Sudahlah, aku akan usahakan. Aku melangkah menuju tempat yang telah disepakati. Perempuan berkerudung cokelat itu menatap ke arahku. Aku jarang salah menilai orang. Perempuan ini bukan jenis perempuan yang bisa diperlakukan sembarangan. Dia punya sikap dan ketegasan. Pasti dia akan mempertahankan semua miliknya hingga titik darah penghabisan. “Indri?” tanyaku berbasa-basi. Perempuan ini berdiri, mengulurkan tangan padaku dengan senyum terukir di bibir. “Senang bertemu denganmu.” Dia mempersilakanku duduk dengan isyarat mata. “Sejak dulu aku ingin berkenalan, tapi Asman tak pernah memberi kesempatan.” Aku tersenyum canggung sambil duduk di depannya. Di meja s
“Udahlah, lu tinggal di atas aja.” Meri memberi saran.Saat ini kami sedang makan siang di luar. Lolita sedang sepi, jadi kami menyempatkan diri cuci mata ke mal. Sudah lama sekali kami tidak melakukannya.“Maksud lu Lolita?” Aku mengkonfirmasi.“Iya. Lantai tiga kan kosong.”Aku terdiam. Aku dan Mega sudah berusaha mencari kontrakan, tetapi belum ada yang pas di hati. Sebenarnya, bisa saja kami membeli rumah dengan menguras uang tabungan, tetapi rumah murah dan berada di lokasi yang strategis mana ada.“Bosen dong gue. Tinggal di Lolita, kerja di Lolita.”“Yang penting ada tempat berteduh, kan?”Iya. Meri memang benar. Lolita itu ruko milik Andi, suami Meri. Kami tidak pernah membayar uang sewa sekali pun. Namun, kalau aku yang tinggal di sana, tentu akan lain ceritanya. Aku pasti merasa sungka
“Gimana, Ma?” tanya Mega setelah dia kembali ke depan. Sepertinya Meri belum berhasil bicara dengannya. “Hem, kayaknya terlalu banyak yang harus kita perbaiki, Meg.” “Begitu? Bisa pelan-pelan kan, Ma? Yang penting ada tempat berteduh dulu.” Mega mengucapkan kalimat itu dengan wajah penuh keyakinan. Seolah-olah biaya untuk memoles rumah ini bisa kami dapatkan dengan mudah. Aku yakin, kami harus menggelontorkan uang yang tidak sedikit agar merasa nyaman di tempat ini. “Kalau nyari di dekat sini, emang beginilah kondisinya, Ma.” Mega berkata kepadaku, matanya memindai seluruh ruangan yang sudah kusam. Pintu kamar pun sepertinya telah keropos. Mungkin pemiliknya sudah terlalu lama membiarkan rumah ini kosong. “Iya, sih, Meg.” “Waktu kita enggak banyak, Ma. Uang kita pun semakin lama semakin berkurang. Kalau enggak cepat, ujung-ujungnya kita enggak bakal dapat apa-apa.” Aku ha
Pagi-pagi aku bangun seperti biasa. Setelah Salat Subuh, aku menyiapkan sarapan untuk Mega. Mega belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat, atau mungkin dia sedang bersiap-siap di kamar. Aku sudah hafal kebiasaannya, keluar kamar jika sudah selesai berpakaian. Aku memilih roti bakar untuk makan pagi kami. Selai cokelat kesukaan Mega aku persiapkan. Juga segelas teh hangat tawar. Aku berusaha melupakan kejadian tadi malam. Anggap saja kejadian itu tidak ada. Anggap saja Mega tidak pernah mengucapkan kalimat yang menyakitiku. Pintu kamar Mega terkuak. Dia keluar dengan pakaian rapi. Wajahnya yang dipoles dengan make-up tipis sangat cantik. Matanya tak melihat ke arahku sedikit pun. Aku berusaha bersabar. Dia masih muda, emosinya jelas saja lebih labil dari diriku. Maka aku menegurnya terlebih dahulu. “Makan, Meg.” Mega tak memberi respons. Dia malah sibuk memilih sepatu. Aku mengais kesabaran yang rasanya
Mega menunggu di lobi hotelnya dengan wajah gelisah. Dari jauh aku melihat gadis itu mondar-mandir, sesekali dia menyugar rambut. Begitu mobil Dayu berhenti, dia masuk dan duduk di jok belakang. Kami sama-sama membisu, hanya alunan musik yang mengisi kekosongan udara.“Mau makan di mana, Meg?” tanya Dayu sembari melirik Mega dari kaca spion.“Tanyakan sama Mama aja.”“Tante, mau makan apa?”Aku hampir terkikik geli mendengar Dayu memanggilku tante. Saking terbiasanya mendengar dia memanggilku Era, perutku mual begitu dia memanggilku tante.“Tante ngikut aja.”Aku membahasakan diri dengan panggilan yang dia sematkan kepadaku. Meskipun aku ingin tertawa lepas, tapi aku tahan semua.Senyum tipis tersungging di bibir Dayu mendengar aku mengikutinya memanggil tante ke diriku sendiri, dapat aku lihat
Sesaat sebelum Mega turun di hotel, aku memastikan kepulangannya. Kami kan sudah baikan, masa dia masih ngambek dan tidak mau pulang “Nanti malam kamu pulang jam berapa?” tanyaku sambil menoleh ke belakang. “Biasa, Ma. Jam tujuhan.” Aku mengangguk lega. Jawaban itu mengindikasikan bahwa dia tidak jadi menginap di hotel. “Ya udah. Mama balik ke Lolita ya.” Mega melambaikan tangannya kemudian berbalik masuk ke dalam hotel. Dayu melajukan mobilnya kembali di jalan raya. “Langsung ke Lolita?” Dia bertanya. “Iya. Mau ke mana lagi?” Aku menjawab ketus. Setelah kami tinggal berdua, sulit sekali untuk bermanis kata dengannya. “Jangan marah-marah, Ra. Nanti cantikmu hilang.” Dengar, kan? Dia memanggilku tante hanya kamuflase di depan Mega. Setelah
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se
Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri
Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam
Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang