Home / Romansa / Ujung Senja / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Ujung Senja: Chapter 61 - Chapter 70

89 Chapters

Menduga-duga

"Dia mantan gue, bok. Ngajak balikan juga. Duh, pusing gue. Gue enggak pengin kawin lagi. Serius.”   Aku mengelap mulut setelah menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Adrian. Segelas air putih pun tandas tak bersisa. Rasanya kenyang sekali. Aku jarang makan banyak. Selera makanku sudah patah sejak bertahun-tahun yang lalu.   “Gokil lu ye. Baru aja lepas dari ikatan yang antre dah rame.”   “Ah, lebay lu! Antre apaan?”   “Fahmi cakep enggak?”   “Gimana ya? Gagah sih, kulitnya cokelat. Polisi dia. Duda.” Semoga penjelasanku ini memuaskan rasa ingin tahu Meri.   “Wow, high quality, Nek. Lu bungkus dah sebelum berondong manis merongrong lu lagi.”   Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan asal Meri. Bungkus? Emang Fahmi nasi Padang?   “Eh, Ra, lu enggak ingat ibu-ibu yang kemarin gue ceritain?   “Ibu-i
last updateLast Updated : 2021-09-27
Read more

Bad Dream

Lelaki itu ditutupi kabut tebal. Tubuhnya kering serupa ranting yang sudah berhari-hari terbakar terik matahari. Aku menatap dari kejauhan, enggan mendatanginya. Mulutnya berteriak memanggil namaku. Melantunkan kata maaf beribu. Aku bergeming, masih berdiri sangat jauh dari sosoknya.  Kemudian, lelaki itu merangkak-rangkak menuju ke arahku. Aku tak menunggu, tetapi kakiku seperti beku. Tubuhku serasa terikat tambang. Ada apa ini? Aku tak berani melihatnya yang semakin dekat, aku memejamkan mata, memalingkan muka, berharap lelaki ini tak pernah datang lagi.  Namun, dia nyata. Dia ada. Dia sudah tiba di dekatku. Tepat di kakiku, lelaki itu bersujud. Untuk apa? Rasanya tak ada lagi yang harus dimaafkan. Semua sudah selesai. Masalah apa pun yang pernah ada antara kami sudah lama berlalu.  “Maafkan aku.” Dia meraung. Mencium kakiku berulang-ulang. Aku menggeser kaki ke kiri, takut air matanya membua
last updateLast Updated : 2021-09-28
Read more

Mengulang Dari Awal

Aku terbangun mendengar suara ketukan di pintu. Mataku terasa lengket, rasanya tidurku belum cukup karena terbangun tengah malam tadi. Namun, ketukan pintu semakin keras. Mega kenapa sih? Mengapa mendesakku begini?   Dengan tubuh masih limbung, aku berjalan ke arah pintu. Mungkin begini rasanya mabuk. Kepala pusing, mata tak bisa dibuka, dan cara jalan persis balita yang baru belajar melangkah.   Aku membuka pintu dan mendapati Mega sedang berdiri di sana dengan wajah waswas. Dia langsung menghambur memelukku.   “Mega pikir Mama kenapa-napa. Dipanggil dari tadi enggak jawab. Mega takut banget, Ma. Lain kali enggak usah kunci pintu!” Dia berkata lebih dengan nada memerintah.   Kasihan sekali gadisku. Pasti rasa trauma karena kehilangan ayah masih belum hilang sepenuhnya.   “Iya, Nak. Besok Mama enggak akan kunci kamar lagi.” Aku menangkup kedua pipinya dengan penuh rasa sayang.
last updateLast Updated : 2021-09-29
Read more

Akhirnya Bertemu Juga

Akhirnya tugas kami selesai. Adrian mematikan laptop setelah memastikan semua data yang dimasukkan sudah benar. Dalam hati aku memuji loyalitas kedua anak buahku ini. Sejak kafe buka, belum pernah aku ganti karyawan. Mereka setia mendampingi.   “Je pesen nasi goreng, dong. Lima ya, dibungkus aja.” Aku berkata kepada Jeje yang sedang sibuk memindahkan kerupuk ke dalam stoples besar.   “Siap, Bu.” Dia bergerak cepat memasak pesananku.   Aku melirik jam. Masih pukul tiga, Mega dan Mbak Mur pasti belum selesai perawatan. Perawatan lengkap memakan waktu tiga sampai empat jam. Sesekali Mbak Mur harus menyenangkan diri. Setiap hari dia berkutat dengan dapur saja. Aku pun jika menjadi dia pasti jenuh.   Jadi aku memutuskan untuk memesan nasi goreng. Kasihan Mbak Mur kalau harus masak lagi setelah lelah hari ini. Nanti sampai di rumah, aku tinggal menyuruhnya memasukkan bahan mentah ke kulkas. Aku mer
last updateLast Updated : 2021-09-30
Read more

Perempuan Bang Asman

“Harta apa, ya?” Aku mengumpulkan keberanian mendebat perempuan berwajah tegas itu. “Apa pun hubungan kamu dengan Bang Asman di masa lalu, itu tidak ada hubungannya dengan saya!” Brak! Dengan berani perempuan itu menggebrak meja. Sangat keras hingga membuat Dayu terlompat dari kursinya. Aku mengangkat dagu, berusaha menantang mata garangnya. Meskipun jantungku sudah tak tenang di dalam sana, aku tak ingin menunjukkan ketakutan. “Yang sopan, Mbak!” bentak Dayu. “Ini kafe, bukan rumah kamu. Kalau di rumah kamu sendiri, silakan main kasar!” Perempuan itu memelotot ke arah Dayu. “Kamu siapa? Calon suami barunya?” “Kalau iya kenapa? Salah? Kan jelas suaminya sudah meninggal. Beda sama kamu, mau-maunya jadi simpanan suami orang!” Aku menarik lengan Dayu, tak ingin melihatnya berdebat dengan perempuan itu. Terlebih
last updateLast Updated : 2021-10-01
Read more

Menjadi Bijak

Aku terbaring di ranjang dengan pikiran tak tenang. Sudah pukul sebelas malam, tetapi jangankan kantuk, rasa capek pun tidak ada. Padahal batinku lelah menghadapi semua kenyataan ini.   Aku sadar, aku ini perempuan lemah hati. Bukan tak mungkin aku akan mengiakan permintaan Tari pada akhirnya. Aku tidak suka keributan. Berebutan harta seperti ini adalah sesuatu yang asing dalam hidupku. Seumur hidup, harta peninggalan Emak saja tidak pernah kami perebutkan. Semua berjalan tanpa ada pertentangan. Bang Arham memberi seperangkat perhiasan emas milik Emak sebagai kenang-kenangan untukku. Tak ada saudara yang protes walaupun mereka tidak mendapat bagian yang sama.   “Tak apo, Ra. Engkau adik bungsu kami, betino pulak. Dah sewajarnya engkau dapat lebih.” Begitu kata mereka.   Lalu, aku bingung menghadapi masalah ini. Gaji Bang Asman itu hakku, aku tahu. Namun, jika Tari bersikeras, menuntut, bahkan melakukan teror yang menggan
last updateLast Updated : 2021-10-02
Read more

Bicara Empat Mata

Meskipun tidak bisa tidur semalam, aku tetap terbangun pukul lima pagi. Setelah salat, aku turun ke dapur menyiapkan sarapan untuk Mega. Aku tak perlu memasak yang sulit, Mega tak pernah rewel soal masakan.   Pukul enam pagi Mega sudah keluar kamar. Gadisku sudah berpakaian rapi dengan seragam kerjanya.   “Masak apa, Ma?” tanya Mega sambil duduk di salah satu kursi meja makan.   “Salad buah, Meg. Males banget masak nasi goreng.” Aku meletakkan semangkuk salad buah di atas meja.   “Enakan makan beginian pagi-pagi. Kalau nasi goreng Mega suka ngantuk.”   Aku menyusul duduk, berhadapan dengan Mega yang sedang mengaduk salad dalam mangkuknya. “Bawa mobil enggak? Mama numpang dong sampai Lolita.”   “Enggak, Ma. Malas banget. Mega ikut mobil hotel. Ntar sopirnya datang ke sini jemput Mega.”   “Enak banget sih. Mama dulu pengin banget kerja, tap
last updateLast Updated : 2021-10-03
Read more

Membuat Keputusan, Memerlukan Seseorang

“Menurutmu begitu.” Dia bertanya dengan suara pelan. “Aku harus ke kampungnya? Kalau keluarga Mas Asman menolak, bagaimana?” Tari duduk gelisah di tempatnya.    “Saya tidak menemukan ide yang lebih baik, Tar. Jujur, saya tak mau mengabulkan keinginan kamu. Mungkin kamu pikir saya egois, tapi saya harus menimbang kepentingan Mega.” Aku mengambil napas panjang. “Dia berhak atas milik ayahnya. Saya tidak pernah mengambil uang itu sepeser pun, saya menyimpannya untuk Mega.” “Lalu bagaimana dengan Danu? Aku yakin Mega tak butuh uang itu.” Tari terisak. “Kalian sudah sangat mapan, sementara kami serba kekurangan.”    Aku menatapnya iba, tetapi aku tak ingin menyerah. Jika menuruti hati, aku akan memberikan segalanya dan semua urusan ini selesai. Namun, bagaimana dengan Mega? Dia yang paling berhak atas semua milik ayahnya.  “Danu bukan urusan saya, Tar. Saya tidak tahu kamu menikah dengan Bang Asman, jadi tid
last updateLast Updated : 2021-10-04
Read more

Jadi, Jadian?

Aku terpaksa menekan pedal gas dalam-dalam, sebab kesal melihat sikap Dayu yang kekanakan. Bisa-bisanya lelaki itu bersikeras mengikutiku untuk menemui Fahmi. Apa urusannya dengan Fahmi? Memuakkan!  “Apa gunanya kamu ikut?” tanyaku tadi.  “Aku hanya ingin tahu wajah sainganku, Ra. Aku harus yakin dulu kamu enggak akan terpikat sama dia.” Dengan santai dia menjawab.  Aku ingin mengulek mulutnya dengan sambal setan. Jelas saja dia tak bisa dibandingkan dengan Fahmi. Dayu tak lebih dari seorang bayi yang coba-coba menggodaku, Fahmi lelaki matang, yang jelas dia memiliki tempat istimewa di hatiku.  Namun aku malas mendebat. Biarkan saja dia dengan semua pikirannya.  Aku memasuki area hotel empat puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan aku diam membisu, agar Dayu tahu aku tak senang dengan sikapnya. Namun, lelaki itu seolah menutup mata. Bukannya bertanya atau cemas melihatku mengendarai mobil bak kuda ngamuk, Da
last updateLast Updated : 2021-10-05
Read more

Melangkah

Fahmi dengan segala argumentasinya berhasil memaksaku untuk mengajaknya bertemu Mega. Aku tahu, setelah pengakuan tadi hubungan kami akan menjadi lebih dekat, tapi aku khawatir Mega marah kepadaku. Dia sudah bilang belum siap dengan kehadiran orang lain dalam hidup kami.  Semua menjadi makin rumit ketika aku menghubungi Dayu, lelaki itu ternyata menunggu di lobi dengan wajah kusut. Aku sedikit takut melihat ekspresi masamnya. Terlebih saat melihat Fahmi mengikutiku. Pasti hatinya sangat dongkol.  “Kamu enggak ke mana-mana?” tanyaku.  “Mau ke mana! Nanti kamu pulang gimana?” Dayu menjawab ketus. Fahmi hanya tersenyum melihat tingkahnya.  “Mana kunci mobilku?”  Dayu menyerahkan benda persegi itu.  “Aku mau pulang. Kamu ikut? Aku anterin ke kantor, ya?”  “Hem.” Dia menjawab kesal.  Terpaksa aku memboyong dua lelaki beda usia itu bersamaku. Tujuan perta
last updateLast Updated : 2021-10-06
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status