“Ra, sarapan.” Pintu kamarku diketuk saat aku baru saja memasukkan sebagian pakaian ke dalam koper. Nanti malam acara kenduri empat puluh hari meninggalnya Bang Asman, berarti tak lama lagi aku bisa pulang ke Jakarta. Rasanya tak sabar meninggalkan tempat yang mengingatkanku kepada almarhum suamiku. Lebih menyakitkan ketika aku berjumpa dengan Kak Unai—salah satu kakak Bang Asman—tatapannya seolah ingin menenggelamkanku ke laut mati.
Entah bualan apa yang diceritakan Bang Asman kepada keluarganya sehingga mereka membenciku. Padahal mereka tahu Bang Asman meninggal bersama seorang perempuan di dalam mobil. Kadang kuasa dan harta memang membuat seseorang lupa dengan hati nurani.
“Ra.” Sekali lagi Kak Hanum mengetuk pintu. “Akak buat pulut dengan pisang goreng. Sedap.”
“Iyo, Kak. Kejab.” Aku bergegas membuka pintu, tak ingin membiarkan Kak Hanum m
Pagi ini aku terbangun dengan kondisi hati yang masih buruk. Penghinaan keluarga Bang Asman tadi malam masih terngiang-ngiang di telingaku. Tuduhan yang sangat jahat mereka lontarkan. Ya Tuhan, rasanya penderitaanku selama tiga puluh tahun ini ingin aku katakan kepada mereka. Agar mereka tahu Bang Asman tak pernah mencecahkan sedikit pun kebahagiaan ke dalam hidupku. Aku keluar kamar, hendak mencari Kak Hanum. Mengobrol dengannya mungkin bisa menenangkan perasaanku. Aku menemukan kakak iparku itu di dapur. “Eraa nak balek, Kak,” kataku pada Kak Hanum.” “Ngapo cepat betul? Belum puas Akak bercerita samo Era.” Kak Hanum adalah perempuan yang luar biasa baiknya. Saat ia menikah dengan Bang Arham, aku tidak pulang. Saat aku datang, dia menyambutku dengan tangan terbuka, bersikap ramah dan rajin mengajakku bercakap-cakap. “Era tak sedap hati, Kak. Kakak tau sendiri macam man
Aku memasukkan lembaran baju terakhir ke dalam koper. Bawaanku tak terlalu banyak sebenarnya, hanya sebuah koper berukuran sedang. Namun, beberapa oleh-oleh untuk Mega dan Meri berhasil membuat bawaanku menggunung. Aku hanya berharap perjalanan esok hari lancar. Prosesnya pasti panjang karena aku harus melakukan pemeriksaan swab terlebih dahulu. “Ra.” Bang Arham mengetuk pintu kamar. Aku membuka pintu dan mendapati lelaki itu menatapku dengan sorot mata sedih. “Dah siap bereskan baju?” “Sudah, Bang. Masuklah!” Aku melebarkan daun pintu. Bang Arham menyusulku duduk di pinggir tempat tidur. Kami membisu beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Tak ada yang berubah, kan, Ra?” ujarnya setelah kami saling diam. “Abang tak nak mengubah rumah Bah. Biolah macam gini aja. Kalau engkau atau abang-abang rindu dengan bah dan emak, bisa datang k
Pukul lima pagi aku sudah bersiap-siap. Memang, matahari belum keluar dari peraduannya, tetapi aku tak ingin terlambat naik pesawat siang nanti. Andai ada orang yang mengantarku ke Pekanbaru, pasti aku tak harus bersiap dari pagi buta begini. Sayang, tak ada satu pun dari abang-abangku yang memiliki kendaraan roda empat itu. Jadinya, Bang Arham mencarikan mobil sewaan untukku. “Ngapo bising ni?” Bang Arham bangun sambil mengucek-ngucek matanya. “Bang, Era, kan, nak balek. Bangunlah cepat. Entah bilo kito dapat jumpo dio lagi.” Kak Hanum tampak kesal melihat ulah suaminya. “Astaghfirullah, iyo e. Kejab. Aku Subuh dulu.” “Engkau, pun, entah ngapo pesan pesawat pagi, Ra. Dah tahu rumah kito jauh dari bandara.” “Mega yang pesan, Kak. Era lupa bilang. Tapi enggak kepagian, Kak. Jam sebelas masih bisalah dikejar.” “Eh, Bang, mano kotak oleh-oleh untuk M
Aku membuang pandang ke luar jendela, melihat pemandangan gersang di sepanjang jalan yang kami lewati. Aku sudah lupa, bagaimana bentuk jalan ini tiga puluh tahun lalu. Apakah masih sama? Atau memang sudah berubah? Namun dulu jalan ini belum ada. Kami meninggalkan Siak dengan menaiki kapal feri. Ingatanku kembali ke masa lalu. Saat Bah masih ada dan aku duduk di bangku SMA. Saat itu aku sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Pekanbaru. Ibukota provinsi itu seperti mimpi yang sangat ingin digapai oleh gadis remaja polos sepertiku. Kala itu, Bah akan dinas ke Pekanbaru, maka aku melancarkan serangan merengek untuk ikut. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sana, aku terperangah. Tak ada hutan belantara seperti di tempatku tinggal. Pekanbaru lebih ramai, mobil lalu lalang di jalan raya. Juga ada swalayan besar yang menjual banyak barang. Sekarang, Siak sudah jauh lebih maju. Semua yang ada di Pekanbaru, pun ada di sana. Tak sulit l
Aku memasang sabuk pengaman sesuai dengan instruksi keselamatan yang sedang diperagakan oleh pramugari. Penumpang pesawat tidak terlalu ramai. Aku hanya duduk sendiri di bangku yang harusnya diisi tiga orang ini. Pesawat komersial berlogo burung Garuda yang aku naiki memang paling nyaman. Mega mengerti aku sudah lama sekali tidak naik pesawat terbang seorang diri, jadi dia memilih yang terbaik untukku. Sesaat sebelum pesawat lepas landas, aku kembali teringat kejadian bersama Fahmi di bandara. “Janji, ya. Engkau tak akan menikah dengan lelaki lain lepas ini. Aku menunggu engkau siap, Ra.” Kalimat Fahmi saat berpisah di bandara tadi terngiang di telingaku. Manis sekali lelaki itu. Rasanya, kalau tak ingat Mega, atau keluarga Bang Arham, aku ingin mengiakan permintaannya sekarang juga. Namun, aku cukup sadar diri. Akal sehatku masih berjalan. Bagaimanapun perlakuan Bang Asman padaku, orang tak akan
“Jangan ngambek, dong! Aku enggak mau kalah cepat dari lelaki yang buat kamu tersenyum tadi.” Suaranya lagi-lagi menggangguku. Kalau tidak memikirkan sopan santun, aku ingin membuka sepatu dan melemparkannya ke muka Dayu. Bocah itu menggodaku? Astaga. Aku tak pernah berpikir akan menjalin hubungan dengan brondong pahit seperti dia. Amit-amit, ya, Tuhan. Meskipun rambutku masih hitam semua, aku cukup sadar diri dan selalu ingat bahwa aku sudah tua. Dayu lebih cocok dengan Mega. Namun, aku tak akan melepas anak gadisku untuk lelaki sepertinya. “Mau makan dulu?” Dia masih berusaha mengajakku berbicara. “Sudah makan tadi,” jawabku tawar. “Oke. Aku anterin kamu ke mana? Lolita?” Dari mana dia tahu aku punya Lolita? Rasanya aku tak pernah berbicara apa-apa kepadanya. Sikapnya yang sok akrab itu bukannya membuatku senang, aku malah cenderung was-w
Lolita tampak sepi saat aku baru tiba. Setelah membayar ongkos taksi, aku bergegas masuk ke dalam. Ternyata di dalam cukup ramai. Semua pegawai sedang melayani pelanggan. Meri sedang duduk di kursi kasir saat aku berjalan ke arahnya. Sahabatku itu mengangkat wajah dan nyaris berteriak saat melihat kedatanganku.“Astaga! Kapan dateng?” Dia menghambur memelukku.“Barusan. Naik taksi.” Aku membalas pelukannya sambil susah payah menahan air mata.Meri mengenalku sangat baik. Aku yakin dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja saat mendengar nada suaraku. “Kita naik?” tanyanya lembut.Aku mengangguk. Lantai dua Lolita adalah tempat yang paling aman untuk kami saling curhat. Kafe milikku itu tidak ramai. Pesanan lebih banyak datang dari bawah. Jarang sekali ada customer yang datang khusus untuk makan. Kecuali jika langganan salon membawa suami atau
"Dia mantan gue, bok. Ngajak balikan juga. Duh, pusing gue. Gue enggak pengin kawin lagi. Serius.” Aku mengelap mulut setelah menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Adrian. Segelas air putih pun tandas tak bersisa. Rasanya kenyang sekali. Aku jarang makan banyak. Selera makanku sudah patah sejak bertahun-tahun yang lalu. “Gokil lu ye. Baru aja lepas dari ikatan yang antre dah rame.” “Ah, lebay lu! Antre apaan?” “Fahmi cakep enggak?” “Gimana ya? Gagah sih, kulitnya cokelat. Polisi dia. Duda.” Semoga penjelasanku ini memuaskan rasa ingin tahu Meri. “Wow, high quality, Nek. Lu bungkus dah sebelum berondong manis merongrong lu lagi.” Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan asal Meri. Bungkus? Emang Fahmi nasi Padang? “Eh, Ra, lu enggak ingat ibu-ibu yang kemarin gue ceritain? “Ibu-i
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se
Sepanjang jalan pulang kami habiskan dalam diam. Fahmi tampak sedikit kecewa karena aku tak memberi jawaban atas permintaannya. Jika menilik ke dalam hatiku, jelas saja jawaban iya yang terpatri di sana. Namun, aku harus menimbang perasaan Mega. Siapkah dia dengan kehadiran Fahmi?Aku tidak ragu, sedikit pun tidak. Katakanlah aku berlebihan, tetapi tidak dicintai oleh suami sendiri itu memang menyakitkan. Parut luka di dalam hatiku sepertinya tak pernah hilang. Ketika Fahmi datang, membalut satu persatu luka-luka yang kurasa, bagaimana bisa aku berkata tidak untuk semua permintaannya? Aku menginginkannya. Aku ingin merasakan kebahagiaan dicintai, dibutuhkan, dan didambakan oleh suami. Aku ingin hubungan yang timbal balik.Fahmi tak banyak cakap setelah makan malam itu. Hanya sekali dia menunjukkan bukti transfer pembayaran rumah sebesar seratus juta. Aku mengerti, jauh-jauh dia datang ke sini untuk mendapatkan kepastian, aku malah masih berdiri
Mega sudah pamit sejak tadi. Mbak Mur pun sudah pulang karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal aku sendiri di rumah. Menunggu kedatangan Fahmi, sambil menenangkan debar yang tak kunjung pudar. Aku seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Menanti Fahmi seolah menunggu pacar pertama yang datang membawa setangkai mawar tanda cinta. Aku sudah berkali-kali bercermin, memastikan pakaianku, riasanku, dan tatanan rambutku sudah cukup pantas dia lihat. Jangan sampai dia melihat sesuatu yang tak menyenangkan dari diriku. Tak lama, aku mendengar suara pintu pagar terbuka. Mungkin itu Fahmi. Aku bergegas berlari hendak membuka pintu. Benar saja, lelaki bertubuh gagah itu masuk sambil menenteng tas tangan dan menggeret sebuah koper berukuran kecil. Aku membuka pintu, melempar senyum manis ke arahnya. Fahmi mempercepat langkahnya. Ketika sudah dekat, dia mencium pipiku sekilas, membuat perasaanku bergelombang. Sudah lam
Aku mengambil sebuah novel dari rak buku. Menghabiskan waktu membaca pasti menyenangkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi itu. Mungkin agak siang aku ke Lolita. Sekadar datang untuk mengobrol dengan Meri. Akhir-akhir ini perasaanku lebih tenang. Sebagian barang sudah dimasukkan dalam kardus. Mbak Mur pun telah membawa pulang barang-barang yang dia inginkan. Aku tak ingin rumah baruku penuh sesak. Mbak Mur memang sudah tidak bisa bekerja lagi denganku sebab jarak rumahnya dengan rumah baru kami sangat jauh. Namun, dia sudah berencana akan menjual kue bersama anaknya.“Saya enggak mau cari kerja sama majikan lain, Bu. Belum tentu baik seperti Ibu.” Begitu katanya kepadaku.Ah, aku lupa, harusnya aku menghubungi Fahmi, memberi tahunya mengenai persetujuan Mega.Tak ada nada sambung saat aku menekan nomor Fahmi. Ke mana lelaki itu? Tak biasanya ponsel miliknya mati. Mungkin baterai HP-nya habis, atau dia sedang